Fatwapedia.com – Pajak adalah pungutan yang dibebankan oleh pemerintah kepada warga negara atau badan usaha untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan memenuhi kebutuhan publik. Pajak dapat berupa pembayaran dalam bentuk uang atau barang dan dilakukan secara berkala. Pajak memiliki peran penting dalam keuangan negara dan digunakan untuk membiayai berbagai program dan layanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pertahanan, dan keamanan. Pembayaran pajak adalah kewajiban hukum dan dapat dijatuhi sanksi jika tidak dipenuhi.
Pajak dalam bahasa Arab dan istilah fiqh kontemporer disebut Dhariibah. Ia didefinisikan oleh Al-Imam Abu Ja’far Al-Balkhi (w. 362 H):
مَا يَضْرِبُهُ السُّلْطَانُ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَصْلَحَةً لَهُمْ
“Sejumlah uang yang dibebankan pemimpin atas rakyatnya sebagai kemaslahatan bagi mereka.”[1]
Dalam istilah fiqh, tarikan ini juga disebut kharaaj/nawaaib/kulaf sulthaaniyyah/wadzhaaif.
Sebagian ulama menilai bahwa bahwa pajak (tax/dhariibah) hukumnya adalah haram. Di antara dalil yang dipegang para ulama tersebut adalah dua hal:
Pertama: Hadis-hadis tentang ancaman bagi penarik maks seperti sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
“Penarik maks tidak masuk surga.” [HR. Abu Dawud no. 2937][2]
Oleh sejumlah ulama tersebut pajak di zaman modern dimasukkan dalam kategori maks yang terlarang ditarik. Karena itulah mereka menilai bahwa pajak di zaman modern haram ditarik, dan para petugas penarikannya (shaahibu maks/’asysyaar) jatuh dalam dosa besar. Apalagi penarik maks di sejumlah hadis diidentikkan dengan pelaku dosa besar.
Kedua: Ijma’ ulama atas haramnya penarikan maks dari masyarakat, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Imam Ibnu Hazm (w. 456 H):
وَاتَّفَقُوا أَنَّ الْمَرَاصِدَ الْمَوْضُوْعَةَ لِلْمَغَارِمِ عَلَى الطُّرُقِ وَعِنْدَ أَبْوَابِ الْمُدُنِ وَمَا يُؤْخَذُ فِيْ الْأَسْوَاقِ مِنَ الْمُكُوْسِ عَلَى السِّلَعِ الْمَجْلُوْبَةِ مِنَ الْمَارَّةِ وَالتُّجَّارِ ظُلْمٌ عَظِيْمٌ وَحَرَامٌ وَفِسْقٌ
“Para ulama bersepakat bahwa tarikan yang dikenakan di jalan-jalan dan gerbang-gerbang negeri serta di pasar-pasar berupa maks atas komoditas jual-beli dari orang yang melintas dan dari penjual adalah merupakan kezaliman besar, merupakan keharaman, dan merupakan kefasikan.”[3]
Demikianlah kedua dalil di atas. Akan tetapi, bukankah dalam kitab Al-Mustashfaa Al-Imam Al-Ghazali (w. 505 H) jelas membolehkah suatu konsep yang sangat mirip dengan dhariibah/pajak? Beliau menuliskan:
أَمَّا إذَا خَلَتِ الْأَيْدِيْ مِنَ الْأَمْوَالِ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ مَالِ الْمَصَالِحِ مَا يَفِيْ بِخَرَاجَاتِ الْعَسْكَرِ وَلَوْ تَفَرَّقَ الْعَسْكَرُ وَاشْتَغَلُوْا بِالْكَسْبِ لَخِيْفَ دُخُولُ الْكُفَّارِ بِلَادَ الْإِسْلَامِ أَوْ خِيْفَ ثَوَرَانُ الْفِتْنَةِ مِنْ أَهْلِ الْعَرَامَةِ فِيْ بِلَادِ الْإِسْلَامِ، فَيَجُوزُ لِلْإِمَامِ أَنْ يُوَظِّفَ عَلَى الْأَغْنِيَاءِ مِقْدَارَ كِفَايَةِ الْجُنْدِ
“Jika negara sudah tidak memiliki harta dan begitu pula dari kas umum negara tidak ada harta sejumlah yang mencukupi gaji tentara, lantas kalau para tentara dibiarkan mencari penghasilan sendiri maka dikhawatirkan orang-orang kafir akan menjajah negeri-negeri Islam, atau dikhawatirkan akan terjadi kerusuhan dan revolusi, maka boleh bagi khalifah untuk mewajibkan tarikan tertentu dari orang-orang kaya secukupnya.”[4]
Al-Imam Asy-Syathibi (w. 790 H) juga termasuk yang membolehkan penarikan pajak saat negara membutuhkan[5]. Begitu juga pendapat Asy-Syaikh Mahmud Syaltut (w. 1963 M)[6]. Bahkan sebagian ulama Hanafiyyah dengan tegas mengatakan:
مَنْ قَسَّمَ الْجِبَايَاتِ وَالْمُؤَنَ بَيْنَ النَّاسِ عَلَى السَّوِيَّةِ يَكُونُ مَأْجُورًا
“Orang yang membagikan pajak dan subsidi secara proporsional maka ia mendapatkan pahala dari Allah.”[7]
Memang, jika direnungi, pendapat para ulama yang mutlak mengharamkan dhariibah/pajak ternyata kurang akurat. Setidaknya, ditimbang dari beberapa aspek:
Aspek pertama: Maks yang dimaksud dalam hadis-hadis, semisal hadis di atas, berbeda dari dhariibah/pajak. Al-Imam Ibnu ‘Allan (w. 1057 H) bahkan jelaskan bahwa maks lebih khusus sekaligus berbeda dari dhariibah/pajak. Beliau katakan:
الْمَكْسُ الضَّرِيْبَةُ الَّتِيْ يَأْخُذُهَا الْمَاكِسُ
“Maks adalah dhariibah/pajak yang diambil oleh penarik maks.”[8]
Kemudian berarti ada dua kemungkinan pemaknaan Maks dalam hadis-hadis tersebut.
a. Yang dimaksud dengan shaahibu maks/’asysyaar adalah petugas penarik zakat yang menarik zakat tidak sesuai ketentuan. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sendiri menjelaskan pemaknaan tersebut dalam sabda beliau:
إِنْ لَقِيْتُمْ عَشَّارًا فَاقْتُلُوْهُ … الصَّدَقَةُ يَأْخُذُهَا عَلَى غَيْرِ حَقِّهَا
“Jika kalian bertemu dengan penarik maks, maka hukum matilah ia. … yakni zakat yang ditarik tidak sesuai aturan.” [HR. Ath-Thabarani no. 671][9]
‘Asysyaar adalah istilah lain untuk shaahibu maks (penarik maks) sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (w. 852 H)[10]. Dengan pemaknaan maks sebagai penarikan zakat yang tak sesuai aturan Islam inilah, tidak heran, Al-Imam Abu Dawud (w. 275 H) sendiri memasukkan hadis di atas (yakni bahwasanya shaahibu maks tidak masuk surga) dalam bab mengenai petugas penarik zakat[11]. Al-Imam Al-Qurthubi (w. 671 H) juga mengisyaratkan pemaknaan ini[12].
b. Upeti untuk raja dan keluarga kerajaan semata
Al-Imam Ibnu Nujaim (w. 970 H) mengatakan:
وَمَا وَرَدَ مِنْ ذَمِّ الْعَشَّارِ مَحْمُوْلٌ عَلَى مَنْ يَأْخُذُ أَمْوَالَ النَّاسِ ظُلْمًا كَمَا تَفْعَلُهُ الظَّلَمَةُ الْيَوْمَ
“Hadis-hadis yang mencela penarik Maks maksudnya adalah penguasa yang menariki harta manusia secara zalim.”[13]
Beliau lalu mendalilkannya dengan riwayat bahwa Khalifah ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallaahu ‘anhu hendak menunjuk Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu sebagai penarik pajak tanah, Anas mengelak sembari berkata: “Apakah engkau ingin menugaskan aku menarik maks?” ‘Umar balik menjawab: “Tidakkah engkau suka kalau aku tugaskan engkau dengan sebuah tugas yang dahulu Rasulullah tugaskan aku untuknya?”[14]
Jauh sebelum itu, Al-Imam Al-Qasim ibnu Sallam (w. 224 H) sudah katakan:
فَعَلِمْنَا بِهَذَا أَنَّهُ قَدْ كَانَ مِنْ سُنَّةِ الْجَاهِلِيَّةِ
“Tahulah kita bahwasanya pajak yang dilarang adalah yang dahulu merupakan kebiasaan Jahiliyyah.”[15]
Al-Imam Ibnu ‘Abidin (w. 1836 M) sebutkan bahwa para penarik maks di zaman beliau tidak membedakan antara pedagang kecil atau besar, tetap ditariki maks secara sewenang-wenang, bahkan secara paksa di jalanan, lebih buruk dari pada begal[16]. Hal ini disetujui juga oleh sejumlah ulama Maliki modern[17].
Al-Imam An-Nawawi (w. 676 H) juga sebetulnya memaksudkan hal itu. Beliau berkata:
الْمَكْسَ مِنْ أَقْبَحِ الْمَعَاصِي وَالذُّنُوبِ الْمُوبِقَاتِ وَذَلِكَ لِكَثْرَةِ مُطَالَبَاتِ النَّاسِ لَهُ وظلاماتهم عِنْدَهُ وَتَكَرُّرِ ذَلِكَ مِنْهُ وَانْتِهَاكِهِ لِلنَّاسِ وَأَخْذِ أَمْوَالِهِمْ بِغَيْرِ حَقِّهَا وَصَرْفِهَا فِي غَيْرِ وَجْهِهَا
“Maks termasuk seburuk-buruk maksiat dan dosa yang membinasakan karena akan banyak manusia yang menuntut pada hari kiamat dan karena itu adalah mengambil harta orang lain tanpa haqq dan mengalokasikannya tidak semestinya.”[18]
Aspek Kedua: Mengenai dalil kedua pihak yang mengharamkan berupa ijma’, maka tanggapan atasnya dapat diurai dari tiga poin berikut.
a. Ijma’ tersebut adalah tentang keharaman menarik maks sesuai teks hadi-hadis, sedangkan sudah jelas tadi bahwa pajak/dhariibah bukanlah maks yang dimaksudkan dalam hadis-hadis. Otomatis, ijma’ ulama yang disebutkan Al-Imam Ibnu Hazm tadi juga tidaklah terkait dhariibah/pajak.
b. Para ulama lintas madzhab secara eksplisit membolehkan dhariibah/pajak.
Lalu sebagai perwakilan dari Madzhab Syafi’i, Imamul Haramain Al-Juwaini (w. 478 H) tuliskan:
لَا بُدَّ مِنْ تَوْظِيفِ أَمْوَالٍ يَرَاهَا الْإِمَامُ قَائِمَةً بِالْمُؤَنِ الرَّاتِبَةِ، أَوْ مُدَانِيَةً لَهَا، وَإِذَا وَظَّفَ الْإِمَامُ عَلَى الْغَلَّاتِ وَالثَّمَرَاتِ وَضُرُوبِ الزَّوَائِدِ وَالْفَوَائِدِ مِنَ الْجِهَاتِ يَسِيرًا مِنْ كَثِيرٍ، سَهُلَ احْتِمَالُهُ، وَوَفَرَ بِهِ أُهَبُ الْإِسْلَامِ وَمَالُهُ، وَاسْتَظْهَرَ رِجَالُهُ، وَانْتَظَمَتْ قَوَاعِدُ الْمُلْكِ وَأَحْوَالُهُ.
“Haruslah ada penarikan sejumlah harta sesuai besaran yang dipandang bijak oleh khalifah secara rutin. Jika khalifah memberlakukan tarikan sejumlah tertentu dari penghasilan, hasil panen, dan keuntungan-keuntungan lainnya, sedikit saja dari harta yang banyak itu, maka niscaya akan tidak berat ditanggung mereka, namun manfaatnya dirasakan oleh Islam dan menjadi harta bersama, juga niscaya akan kuatlah para tentara dan akan kokohlah pemerintahan dan teraturlah negara.”[19]
Sementara dari Mazhab Hanbali, Al-Qadhi Abu Ya’la (w. 458 H) mewakili dengan berkata:
فَإِنْ كَانَ مُسَوِّغًا فِي الِاجْتِهَادِ لِأَمْرٍ اقْتَضَاهُ لَا يَمْنَعُ الشَّرْعُ مِنْهُ، لِحُدُوْثِ سَبَبٍ سَوَّغَ الشَّرْعُ لِأَجْلِهِ الزِّيَادَةَ أَوِ النُّقْصَانَ، جَازَ
“Jika memang penarikan besaran tertentu itu didasari ijtihad demi suatu perkara yang memang mengharuskannya di mana syariat tidaklah melarang itu, karena ada perkembangan terbaru yang diizinkan syariat berupa peningkatan harta atau berkurangnya harta, maka penarikan ini boleh.”[20]
Lebih tegas lagi, menurut Al-Imam Ibnu ‘Abidin, ulama besar Mazhab Hanafi era Utsmaniyyah, kebolehan hal ini sudah menjadi kesepakatan. Kata beliau:
وَمَا وُظِّفَ لِلْإِمَامِ لِيُجَهِّزَ بِهِ الْجُيُوشَ وَفِدَاءِ الْأَسَارَى بِأَنْ احْتَاجَ إلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَكُنْ فِي بَيْتِ الْمَالِ شَيْءٌ فَوُظِّفَ عَلَى النَّاسِ ذَلِكَ وَالْكَفَالَةُ بِهِ جَائِزَةٌ اتِّفَاقًا
“Besaran harta yang ditarik oleh khalifah untuk kebutuhan militer dan membebaskan tawanan kaum muslimin, jika memang dibutuhkan sementara di kas negara tidak mencukupi, maka tarikan harta tertentu ini dibolehkan.”[21]
Begitu pula Al-Imam Al-Qurthubi dari Madzhab Maliki, menukilkan kesepakatan serupa dalam pernyataan beliau:
وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ إِذَا نَزَلَتْ بِالْمُسْلِمِينَ حَاجَةٌ بَعْدَ أَدَاءِ الزَّكَاةِ فَإِنَّهُ يَجِبُ صَرْفُ الْمَالِ إِلَيْهَا. قَالَ مَالِكٌ رَحِمَهُ اللَّهُ: يَجِبُ عَلَى النَّاسِ فِدَاءُ أَسْرَاهُمْ وَإِنِ اسْتَغْرَقَ ذَلِكَ أَمْوَالَهُمْ. وَهَذَا إِجْمَاعٌ أَيْضًا
“Para ulama telah sepakat bahwa jika ada kebutuhan di tengah kaum muslimin padahal zakat sudah tertunaikan, maka wajiblah ada tarikan harta lagi. Al-Imam Malik (w. 179 H) malah mengatakan: Jika ada kaum muslimin yang ditawan, maka wajiblah kaum muslimin lainnya menebus mereka dengan harta meskipun sampai harta mereka habis untuk itu. Ini juga merupakan ijma’.”[22]
c. Al-Imam Ibnu Hazm yang menukilkan ijma’ haramnya maks sendiri dalam kitab lain membolehkan penarikan dhariibah/pajak. Beliau katakan:
وَأَمَّا الْقِيَامُ بِالْمَجْهُودِ فَفَرْضٌ
“Adapun menarik harta tertentu untuk menghilangkan kesusahan negara, maka wajib.”[23]
Aspek ketiga: Meskipun pada dasarnya tidak boleh mengambil harta orang lain, tetapi ia termasuk mashlahah mursalah (hal baik yang diperintahkan syariat meskipun tidak disebutkan secara khusus). Al-Imam Al-Maliqi (w. 702 H) mengatakan:
تَوْظِيفُ الْخَرَاجِ عَلَى الْمُسْلِمِينَ مِنْ الْمَصَالِحِ الْمُرْسَلَةِ
“Penarikan uang dari kaum muslimin termasuk mashlahah mursalah.”[24]
Malahan ini merupakan kebijakan yang telah dijalankan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam para Shahabat, dan generasi terdahulu, sebagaimana telah berlalu.
Catatan:
Tulisan ini tidak serta merta melegitimasi pajak-pajak yang ditarik secara tidak bijak, begitu pula alokasi pajak yang tak sesuai maslahat, pembiaran BUMN mandul dan merugi hanya karena sudah ada pemasukan dari pajak, apalagi jika sama sekali tidak melibatkan para ulama dalam merumuskannya serta tak ada perhatian untuk memaksimalkan penarikan zakat. Pada akhirnya pajak yang boleh karena kebutuhan itu bisa menjadi haram juga karena faktor-faktor eksternal tadi. Sekalipun demikian, tetaplah wajib atas setiap muslim suatu negara, sekalipun ternyata memang mekanisme pajak negara tersebut mengandung keharaman, untuk tetap disiplin menunaikan pajak dan tidak boleh melakukan manipulasi. Tentu dengan sebisa mungkin melakukan nahi munkar atau menasihati. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أدِّ الأمانَةَ إلى مَنِ ائتَمَنَكَ، ولا تَخُنْ مَنْ خَانَك
“Tunaikanlah amanat orang yang mempercayaimu dan jangan khianati orang yang mengkhianatimu.” [HR. Abu Dawud no. 3535][25]
Beliau juga bersabda:
تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Tetaplah kamu mendengar pemimpin dan menaati, meski hartamu diambil dan punggungmu dipukul.” [HR. Muslim no. 1847][26]. Wallahu A’lam.
Catatan kaki:
[1] Raddul Muhtaar (II/336).
[2] Abu Dawud, Sunan Abii Daawuud (IV/562). Beirut: Dar Ar-Risalah Al-‘Alamiyyah, 2009.
[3] Ibnu Hazm, Maraatib Al-Ijmaa’ (h. 121). Beirut: Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, 1983.
[4] Al-Ghazali, Al-Mustashfaa (h. 177). Beirut: Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, 2003.
[5] Lihat: Nail Al-Ibtihaaj (h. 50).
[6] Lihat: Ghazi ‘Inayah, Al-Maaliyyah Al-‘Aammah wan-Nidzhaam Al-Maaliyy Al-Islaamiyy (h. 419-422). Beirut: Darul Jil, 1990.
[7] Al-Bahr Ar-Raaiq (II/249).
[8] Ibnu ‘Allan, Al-Futuuhaat Ar-Rabbaaniyyah (VII/120). Kairo: Jum’iyyatun Nasyr wat-Ta’lif Al-Azhariyyah, 1933.
[9] Ath-Thabarani, Al-Mu’jam Al-Kabiir (XIX/301). Riyadh: Dar Ash-Shumay’i, 1994.
[10] Al-‘Asqalani, Fath Al-Baarii (I/39). Beirut: Darul Ma’rifah, 1959.
[11] Lihat: Sunan Abii Daawuud (IV/561-562).
[12] Al-Qurthubi, Al-Jaami’ li Ahkaam Al-Qur’aan (X/187). Kairo: Darul Kutubil Mishriyyah, 1964.
[13] Ibnu Nujaim, Al-Bahr Ar-Raaiq (II/249). Beirut: Darul Kitabil Islami, 1997.
[14] Al-Bahr Ar-Raaiq (II/249).
[15] Al-Qasim, Al-Amwaal (h. 638). Beirut: Darul Fikr, 1988.
[16] Lihat: Ibnu ‘Abidin, Raddul Muhtaar (II/311). Beirut: Darul Fikr, 1966.
[17] Lihat: Muhammad ‘Ali, Tahdziib Al-Furuuq (I/141). Riyadh, Dar ‘Alamil Kutub, 1990.
[18] An-Nawawi, Minhaaj Al-Muhadditsiin (XI/203). Beirut: Dar Ihya At-Turats Al-‘Arabi, 1972.
[19] Al-Juwaini, Ghiyaats Al-Umam (h. 283). : Maktabah Imamil Haramain, 2001.
[20] Abu Ya’la, Al-Ahkaam As-Sulthaaniyyah (h. 246). Beirut: Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, 2000.
[21] Raddul Muhtaar (II/336).
[22] Al-Jaami’ li Ahkaamil Qur’aan (II/242).
[23] Ibnu Hazm, Al-Muhallaa (IV/284). Beirut: Darul Fikr, 1980.
[24] Lihat: At-Tinbukti, Nail Al-Ibtihaaj (h. 50-51). Tripoli: Darul Kitab, 2000.
[25] Sunan Abii Daawuud (V/393).
[26] Shahiih Muslim (III/1476).