Fatwapedia.com – Permasalahan ruh adalah permasalahan ghaib, yang tersembunyi bagi kita hakikatnya, kecuali jika kita mendapatkan sebagian keterangannya melalui jalan wahyu. Allah Subhanahu wa Ta’alaa berfirman :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (QS. Al Israa` : 85).
Al-‘Alamah Muhammad bin Shoolih al-Utsaimin Rahimahullah dalam kitabnya “Syarah al-‘Aqiidah as-Safaariniyyah” (hal. 442) berkata ketika menjelaskan tentang rahasia ruh :
“Ruh itu perkaranya menakjubkan, tidak mungkin untuk meliputinya dan tidak mungkin untuk memberikan batasan tentang deskripsinya selama-lamanya…namun bersamaan dengan keterangan ini, kami mengimani apa saja yang datang dari al-Kitab dan as-Sunnah tentang sifat-sifatnya” –selesai-.
Kemudian terkait dengan judul artikel, maka Syaikhul Islam Ibnul Qoyyim Rahimahullah telah berupaya menghadirikan pembahasan seputar ruh dalam kitabnya yang kontroversial yang berjudul “ar-Ruuh”. Kitab ini menjadi perbincangan dikalangan ulama, karena seolah-olah Syaikhul Islam Ibnul Qoyyim yang dikenal rigid dalam memahami sunnah nabawiyyah berani secara terbuka memastikan sebuah pendapat yang permasalahan itu ranahnya butuh kepada keterangan wahyu yang gamblang, misalnya dalam masalah yang hendak kita bahas ini. oleh sebab itu, ada beberapa ulama yang sempat meragukan bahwa kitab ar-Ruh ditulis oleh Imam Ibnul Qoyyim Rahimahullah, sebagiannya lagi mencoba memberikan udzur bahwa ketika menulis hal itu, Imam Ibnul Qoyyim belum belajar kepada gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah, sehingga wajar saja jika ada kejanggalan-kejanggalan yang terdapat dalam buku tersebut. Akan tetapi tidak sedikit juga ulama yang menegaskan bahwa kitab ini memang ditulis oleh Syaikhul Ibnul Qoyyim dan setelah beliau belajar juga kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan bukti beberapa kali beliau menukil pendapat gurunya dalam buku tersebut. Namun sebagai seorang ahlus sunnah, kita meyakini semua orang bisa diambil dan bisa dibuang pendapatnya, selain Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa Salaam, karena apa yang berasal dari Beliau wajib kita terima dengan penuh penerimaan, sehingga tidak ada beban sama sekali, jika memang ada pendapat beliau yang bertentangan dengan sunnah yang shahihah, maka sunnah lebih didahulukan dari siapapun juga, sebagaimana berulang kali ditegaskan oleh Imam Ibnul Qoyyim sendiri.
Imam al-Albani memiliki ucapan yang sangat pedas tapi mujarab, tatkala mengomentari salah satu pendapat ganjil Imam Ibnul Qoyyim dalam kitabnya “ar-Ruh” yang kemudian dijadikan senjata oleh ahli bid’ah, yang mereka sangka dapat membendung ahlus sunnah, beliau Rahimahullah berkata :
وقد استغل هذا القول كثير من المبتدعة، واتخذوه ذريعة في محاربة السنة، واحتجوا بالشيخ وتلميذه على أنصار السنة وأتباعها، وجهل أولئك المبتدعة أو تجاهلوا أن أنصار السنة، لا يقلدون في دين الله تعالى رجلا بعينة كما يفعل اولئك! ولا يؤثرون على الحق الذى تبين لهم قول أحد من العلماء مهما كان اعتقادهم حسنا في علمه وصلاحه، وأنهم إنما ينظرون إلى القول لا إلى القائل، وإلى الدليل، وليس إلى التقليد، جاعلين نصب أعينهم قول امام دار الهجرة (ما منا من أحد إلا رد ورد عليه إلا صاحب هذا القبر)! وقال: (كل أحد يؤخذ من قوله ويرد إلا صاحب هذا القبر).
“Kebanyakan ahlu bid’ah sibuk dengan pendapat tersebut, mereka menjadikannya sebagai senjata untuk memerangi sunnah, mereka berdalil dengan Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnul Qoyyim untuk melawan penolong sunnah dan para pengikutnya, ahlu bid’ah tersebut bodoh atau pura-pura bodoh bahwa ansharus sunnah tidak bertaklid dalam masalah agama Allah kepada person tertentu, sebagaimana yang biasa mereka lakukan!, anshorus sunnah tidak terpengaruh untuk berpegang kepada kebenaran karena penjelasan salah seorang ulama sekalipun aqidahnya dan amal sholihnya bagus, mereka hanyalah melihat kepada pendapatnya bukan kepada siapa yang mengatakannya, melihat kepada dalilnya bukan kepada taklid, mereka jadikan dalam pandangannya, ucapan Imam Darul Hijrah : “tidak ada seorang pun dari kami, kecuali dapat diambil dan ditolak ucapannya, kecuali penghuni kubur ini”, dan beliau berkata : “setiap orang dapat diambil dan ditolak ucapannya, kecuali penghuni kubur ini (yang dimaksud Imam Malik Rahimahullah adalah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa Salaam” (Ahkaamul Janaiz (hal. 175)).
Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah membawakan Kalam Ilahi terkait hal diatas :
ٱللَّهُ يَتَوَفَّى ٱلْأَنفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَٱلَّتِى لَمْ تَمُتْ فِى مَنَامِهَا ۖ فَيُمْسِكُ ٱلَّتِى قَضَىٰ عَلَيْهَا ٱلْمَوْتَ وَيُرْسِلُ ٱلْأُخْرَىٰٓ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.” (QS. Az-Zumar : 42).
Imam Ibnul Qayyim membawakan penafsiran Ibnu Abbas radhiyallahu anhumâ dari riwayat Ibnu Mandah, dimana beliau radhiyallahu anhu berkata :
بلغني أن أرواحُ الأحياءِ والأمواتِ تلتقي في المنامِ فيتساءَلونَ بَيْنَهم فيُمسِكُ اللهُ أرواحَ الموتى ويُرسِلُ أرواحَ الأحياءِ إلى أجسادِها
“Telah sampai kepadaku bahwa ruh-ruhnya orang yang hidup saling bertemu dengan ruh-ruhnya orang yang mati dalam mimpinya, mereka saling bertanya diantara mereka. Lalu Allah menahan ruhnya orang yang mati dan melepaskan ruhnya orang yang hidup ke jasadnya kembali.”
Imam al-Haitsami rahimahullah dalam “Majma’u az-Zawâ`id” (VII/103) berkata :
رجاله رجال الصحيح
“Para perawinya adalah para perawi hadits shahih.”
Na’am, kita terima riwayat ini shahih sanadnya sampai kepada Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhumaa, namun perkataan beliau “balaghani” (telah sampai kepadaku), maka ini mengisyaratkan bahwa hal ini tidak marfu’ kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Kemudian makna yang benar untuk ayat diatas adalah disampaikan sendiri oleh Imam Ibnul Qayyim dari guru beliau yang sangat masyhur yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah bahwa ruh yang ditahan dan yang dilepas yang dimaksud ayat ini adalah wafatnya orang yang tidur semuanya. Jika memang ajalnya sudah sampai, maka orang yang tertidur tidak bangun-bangun lagi karena ruhnya ditahan oleh Rabbunâ Tabâraka wa Ta’âlâ, namun jika belum datang ajalnya, maka ruhnya akan dilepas.
Pentahqiq kitab “ar-Rûh” yakni asy-Syaikh ‘Ishâm ad-dîn ash-Shâbabithiy hafizhahullah mengatakan bahwa pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah inilah yang benar karena didukung oleh hadits shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang bersabda :
إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ فِرَاشَهُ فَلْيَنْفُضْهُ بِصَنِفَةِ ثَوْبِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، وَلْيَقُلْ : بِاسْمِكَ رَبِّ وَضَعْتُ جَنْبِي وَبِكَ أَرْفَعُهُ، إِنْ أَمْسَكْتَ نَفْسِي فَاغْفِرْ لَهَا، وَإِنْ أَرْسَلْتَهَا فَاحْفَظْهَا بِمَا تَحْفَظُ بِهِ عِبَادَكَ الصَّالِحِينَ
“Jika kalian mendatangi pembaringan….(Ya Allah) jika Engkau menahan jiwaku, maka ampunilah dan jika Engkau melepaskannya, maka jagalah ia dengan apa yang Engkau telah menjaga dengannya dari kalangan hamba-hambaMu yang shalih.” (Muttafaqun alaih).
Oleh sebab itu, kepastian bahwa jika seseorang bermimpi kemudian dalam mimpinya bertemu dengan orang yang sudah meninggal dunia, bahwa itu pasti berjumpa, maka ini adalah perkara ghaib yang kita tawaquf terhadap nash yang shahih lagi sharih.
Syaikhul Islam Ibnul Qayyim, sangat membela pendapat bahwa ruhnya orang yang tidur benar-benar bertemu dengan ruhnya orang yang meninggal, sebagaimana orang-orang yang hidup juga saling bertemu. Beliau membawakan kisah yang sangat banyak sekali terkait seorang yang bermimpi bertemu dengan orang yang sudah mati, lalu orang yang mati tersebut memberitahunya tentang sesuatu, setelah terjaga, orang yang mimpi tadi menemukan kebenaran persis seperti apa yang diberitahu oleh orang yang mati. Akan tetapi, sekali lagi, kami tetap berpegang kepada prinsip bahwa perkara seperti ini adalah termasuk perkara yang ghaib yang sandarannya kepada wahyu Ilahi dan sabda NabiNya, jika tidak ada informasi dari keduanya, maka kami tidak berbicara apa yang tidak kami ketahui.
Na’am, barangkali pendapat Imam bin Baz rahimahullah berikut, adalah pendapat yang moderat, beliau rahimahullah pernah berfatwa :
ولا مانع حسًّا ولا شرعًا أن تلتقي الأرواح، لكن لا أعلم نصًّا واضحًا في هذا الأمر، ولكن ما ذكره العلماء وما يقع من المرائي الكثيرة يشهد لهذا بالصحة، فقد بلغنا مراءٍ كثيرة من العُدُول تدل على تلاقي الأرواح، والله جلَّ وعلا هو على كل شيءٍ قدير سبحانه وتعالى
“Tidak terlarang secara inderawi maupun syar’i terjadi perjumpaan ruh orang yang mati dengan yang hidup (didalam mimpi), namun saya belum tahu NASH YANG GAMBLANG terkait masalah ini, apa yang disebutkan oleh para ulama dan testimoni orang-orang yang mengalaminya sangat banyak yang itu semua menunjukkan kebenaran hal ini, telah sampai kepada kami beberapa kali dari orang-orang yang terpercaya yang menunjukkan perjumpaan ruh tersebut, dan Allah Jalla wa ‘Alâ maha berkuasa atas segala sesuatu.” (https://binbaz.org.sa/fatwas/20863/).
Dengan bahasa lain, yang saya tangkap dari penjelasan asy-Syaikh bin Baz rahimahullah bahwa untuk memastikan bahwa jika seorang bermimpi lalu bertemu dengan orang yang mati, maka itu pasti bertemu dengan ruh orang yang mati sesungguhnya, maka tidak ada petunjuk nash yang gamblang yang memastikan hal ini, namun jika Allah berkehendak mempertemukan kita dalam mimpi dengan orang-orang yang sudah mati, maka tidak ada yang bisa menghalanginya. Jadi bertemunya ruh orang yang hidup dalam mimpinya dengan ruh orang yang mati bisa saja benar dan itu memungkinkan. Wallahu Ta’âlâ a’lam.
Abu Sa’id Neno Triyono