Apakah Suara Allah Merupakan Makhluk?

Apakah Suara Allah Merupakan Makhluk?

Oleh: Muhammad Ode Wahyu
Ahlussunnah waljama’ah berkeyakinan bahwa Allah Azza wajalla berkalam (berbicara). Kalam Allah –Azza wajalla- dalam keyakinan Ahlussunnah walajama’ah memiliki suara dan huruf. Ini berbeda dengan keyakinan beberapa kelompok lain yang menyimpang dalam islam.
Hal ini berdasarkan beberapa ayat di dalam al-Qur’an dan hadits Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Misalnya, firman Allah -Azza wajalla-:
وَأَنَا ٱخۡتَرۡتُكَ فَٱسۡتَمِعۡ لِمَا يُوحَىٰٓ  
“Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu).” (QS. Thaha: 13)
Juga hadits Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (W. 256 H.) –rahimahullah-:
يَحْشُرُ اللَّهُ العِبَادَ، فَيُنَادِيهِمْ بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ مَنْ بَعُدَ كَمَا يَسْمَعُهُ مَنْ قَرُبَ
“Allah –Azza wajalla- mengumpulkan para hamba, lalu memanggil mereka dengan suara yang di dengar oleh hamba-hambaNya yang jauh, sebagaimana di dengar oleh hamba-hambaNya yang dekat.” (HR. Bukhari)
Dipahami dari ayat dan hadits tersebut bahwa Allah –Azza wajalla- berkalam dengan suara yang dapat didengar. Sebab, lafaz “mendengar” dalam ayat ataupun kata lafaz “suara” dalam hadits sangat begtu jelas dan tegas menunjukkan kalam Allah itu bersuara dan dapat di dengar. 
Keyakinan ini, lagi-lagi ditolak oleh kelompok Jahmiyah dan kelompok yang mengikuti mereka. Mereka berkeyakinan bahwa Allah berbicara tanpa suara.
Imam Abu Abdiirahman Abdullah bin Ahmad bin Hambal (w. 290 H.) berkata:
سَأَلْتُ أَبِي رَحِمَهُ اللَّهُ عَنْ قَوْمٍ، يَقُولُونَ: لَمَّا كَلَّمَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مُوسَى لَمْ يَتَكَلَّمْ بِصَوْتٍ فَقَالَ أَبِي: «بَلَى إِنَّ رَبَّكَ عَزَّ وَجَلَّ تَكَلَّمَ بِصَوْتٍ هَذِهِ الْأَحَادِيثُ نَرْوِيهَا كَمَا جَاءَتْ وَقَالَ أَبِي رَحِمَهُ اللَّهُ: «حَدِيثُ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ» إِذَا تَكَلَّمَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ سُمِعَ لَهُ صَوْتٌ كَجَرِّ السِّلْسِلَةِ عَلَى الصَّفْوَانِ ” قَالَ أَبِي: وَهَذَا الْجَهْمِيَّةُ تُنْكِرُهُ وَقَالَ أَبِي: هَؤُلَاءِ كُفَّارٌ يُرِيدُونَ أَنْ يُمَوِّهُوا عَلَى النَّاسِ
“Aku pernah bertanya pada Ayahku (imam Ahmad bin Hambal –rahimahullah-), tentang satu kaum yang berkata, “Saat Allah –azza wajalla- berbicara dengan Nabi Musa, Allah tidak berbicara dengan suara.” Maka ayahku berkata, “Bahkan sesungguhnya Rabbmu –Azza wajalla- berbicara dengan suara. Ini merupakan hadits-hadits yang kami riwayatkan sebagaimana ia datang.” Ayahku –rahimahullah- juga berkata, “Hadits Ibnu Mas’ud  -radhiyallahu ‘anhu- “Jika Allah –azza wajalla- berbicara, maka akan didngar  suara dariNya seperti suara tarikan rantai di atas batu.” Ayahku berkata, “Hadits ini diingkari oleh kelompok Jahmiyah.” Ayahku berkata, “Mereka (Jahmiyah) adalah kelompok kafir. Mereka ingin menyamarkannya pada manusia,” (Abdullah bin Ahmad, as-Sunnah, Tahqiq Abu Abdillah Adil bin Abdillah Ali Hamdan, hal. 240, Daar al-Lu’lua-Beirut, cet. 5, 1444 H.)
Keyakinan ini telah divonis kufur oleh para ulama, sebagaimana yang dikemukakan oleh imam Ahlussunnah Ahmad bin Hanbal –rahimahullah- di atas. Senada dengan perkataan imam Ahmad bin Hambal –rahimahullah- di atas, imam al-Hafizh Ibnu Baththah al-Ukburi- (w. 378) –rahimahullah- juga berkata:
فَمَنْ أَنْكَرَ أَنَّ اللَّهَ كَلَّمَ مُوسَى كَلَامًا بِصَوْتٍ تَسْمَعُهُ الْأُذُنَانِ وَتَعِيهِ الْقُلُوبُ، لَا وَاسِطَةَ بَيْنَهُمَا، وَلَا تُرْجُمَانَ وَلَا رَسُولَ، فَقَدْ كَفَرَ بِاللَّهِ الْعَظِيمِ وَجَحَدَ بِالْقُرْآنِ
“Siapa saja yang mengingkari Allah –Azza wajalla- berbicara dengan Musa menggunakan kalam yang bersuara dan di dengar oleh kedua telinga, dipahami oleh hati, tidak ada perantara antra keduanya, tanpa terjemah dan tanpa rasul, maka sungguh ia telah kafir terhadap Allah yang Maha Agung serta ingkar terhadap al-Qur’an.” (Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra, tahqiq Abu Abdillah Adil bin Abdillah Ali Hamdan, jilid 2, hal. 337-338, Daar al-Luluah-Libanon, cet. 2, 1439 H).
Diantara kelompok yang berkeyakinan seperti keyakinan Jahmiyah ini adalah kelompok Asya’irah. Mereka juga berkeyakinan bahwa Allah berkalam tanpa suara dan huruf. Bagi mereka, kalam Allah bersifat Nafsi. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan pula oleh Imam al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H.) –rahimahullah-:
وقالت الاشاعرة كلام الله ليس بحرف ولا صوت وأثبتت الكلام النفسي
“Dan kelompok Asya’irah berkata bahwa Kalam Allah itu tidak berhuruf dan tidak pula bersuara. Mereka menetapkan Kalam Nafsi.” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Syarh Sahih Bukhari, juz 13, hal. 566, Daar as-Salam-Riyadh, cet 1, 1421 H)
Sekiranyapun kelompok Asya’irah meyakini Allah –Azza wajalla- berbicara dengan suara, maka bagi mereka, suara Allah merupakan makhluk Allah –Azza wajalla-. Mereka berkata bahwa sesuatu yang disebut sebagai suara Allah –Azza wajalla- hakikatnya adalah suara yang Allah ciptakan di langit atau di pohon atau pada makhluk yang lain. Hadits-hadits yang mengatakan bahwa Allah memanggil dengan suara kalau mau diterima dan dianggap sahih oleh mereka, cukup diartikan memanggil dengan cara menciptakan sebuah suara.
Keyakinan seperti ini juga hakikatnya merupakan keyakinan kelompok Jahmiyah yang dinyatakan kufur oleh para ulama. Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H.) –rahimahullah- dalam kitabnya yang membantah kelompok Jahmiyah, berkata:
فقلنا: لِمَ أنكرتم ذلك؟ قالوا: إن الله لم يتكلم ولا يتكلم. إنما كوَّن شيئًا فعبر عن الله، وخلق صوتًا فأسمع، وزعموا أن الكلام لا يكون إلا من جوف ولسان وشفتين. فقلنا: هل يجوز لمكون أو غير الله أن يقول: {يَا مُوسَى، إِنِّي أَنَا رَبُّكَ} [طه: ١١، ١٢] ، أو يقول: {إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لا إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي} [طه: ١٤] فمن زعم ذلك فقد زعم أن غير الله ادعى الربوبية
“Maka kita katakan pada mereka, “Mengapa kalian mengingkari hal itu?” Mereka berkata, “Sesungguhnya Allah tidak berbicara. Sesungguhnya Allah menciptakan sesuatu lalu ia menyatakan apa yang berasal dari Allah. Allah menciptakan suara lalu Dia memperdengarkannya.” Mereka mengklaim bahwa kalam itu tidak akan terjadi kecuali menggunakan rongga, lisan dan bibir. Oleh karena itu, kita katakan pada mereka, “Bolehkah makhluk atau selain Allah berkata kepada Musa “Wahai Musa, sesungguhnya aku adalah Tuhanmu ? (QS. Thaha: 11-12) atau bolehlah makhluk itu berkata, “Sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku. Tidak ada Tuhan selain Aku, dan tegakkanlah sholat untuk mengingatku.” (QS. Thaha: 14). Barangsiapa yang mengklaim seperti itu, maka sungguh ia telah mengklaim bahwa makhluk atau selain Allah yang mengaku sebagai Tuhan.” (Ahmad bin Hambal, ar-Rad ‘Ala az-Zanadiqah wa al-Jahmiyah, Tahqiq Abu Fihr Wail bin Ahmad bin Muhammad Saif, hal.240, Daar Ibni Abbas-Mesir, cet 1, 1442 H.)
Imam Abu al-Hasan al-Asy’ary (w. 324 H.) –rahimahullah- berkata:
وزادت الجهمية عليهم فزعمت أن كلام الله مخلوق حل في شجرة، وكانت الشجرة حاوية له؛ فلزمهم أن تكون الشجرة بذلك الكلام متكلمة، ووجب عليهم أن مخلوقا من المخلوقين كلم موسى صلى الله عليه وسلم، وأن الشجرة قالت: يا موسى إنني أنا الله لا إله إلا أنا فاعبدني
“Kelompok Jahmiyah menambah (keburukan-pent) atas keyakinan nashrani, yaitu bahwa kalam Allah merupakan makhluk yang dicipta pada pohon. Sehingga, pohon itu mengandung kalam itu. Konsekuensinya, pohon itulah yang berbicara. Hasil keyakinan mereka itu, menwajibkan salah satu dari makhluk-makhluk Allah –Azza wajalla- berbicara dengan Nabi Musa -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan pohon itu berkata: “Wahai Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain aku, maka sembahlah aku.” (Abu al-Hasan al-Asy’ary, al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah, tahqiq Prof. Dr. Muhammad bin Abdul ‘Alim ad-Dasuqi, hal. 88, Zahran Li an-Nasyr-Kairo, cet. 1, 1442 H.)
Ini jelas suatu kekufuran. Sebab, makhluk tidak boleh mengaku sebagai Tuhan dan menyampaikan kepada makhluk lain untuk menyembah dirinya. 
Imam al-Barbahari al-Hanbali (w. 329 H.) –rahimahullah- berkata:
وموسى يسمع من الله الكلام بصوت وقع في مسامعه منه لا من غيره، فمن قال غير هذا فقد كفر.
“Musa telah mendengar kalam dari Allah dengan suara yang masuk ke telinganya dari Allah, bukan dari selainNya. Siapa yang berkata selain ini, maka ia telah kafir.” (Al-Barbahary, Syarh as-Sunnah, tahqiq Dr. Khalid bin Qasim ar-Raddady, hal. 65, Daar al-Atsar-Kairo, cet. 1, 1442 H.)
Imam Abu Ya’la al-Farra al-Hanbali (w. 458 H.) –rahimahullah- berkata:
وَقَالُوا: إِنَّ اللَّهَ كَوَّنَ شَيْئًا فَعَبَّرَ عَنْهُ، وَخَلَقَ صَوْتًا، فَأَسْمَعَ مُوسَى ذَلِكَ الْكَلَامَ، قُلْنَا: هَلْ شَاهَدْتُمُوهُ وَعَايَنْتِمُوُهُ حَتَّى عَلِمْتُمْ أَنَّ هَذَا هَكَذَا كَانَ؟ قَالُوا: لَا، قُلْنَا: بَلَغَكُمْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ذَلِكَ؟ قَالُوا: لَا. قُلْنَا: فَهَلْ أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ذَلِكَ فِي كُتُبِهِ السَّالِفَةِ، أَوْ قَالَهُ نَبِيٌّ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ الْمُتَقَدِّمِينَ؟ قَالُوا: لَا، وَلَكِنَّ الْمَعْقُولَ يَدُلُّ عَلَى مَا قُلْنَاهُ، قُلْنَا: فَهَلْ يَجُوزُ لِمَخْلُوقٍ خَلَقَهُ اللَّهُ وَكَوَّنَهُ أَنْ يَقُولَ {إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي} [طه: 14]؟ فَمَنْ زَعَمَ أَنَّ الْمُكَلِّمَ لِمُوسَى كَانَ غَيْرَ اللَّهِ، فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ اللَّهَ خَلَقَ خَلْقًا ادَّعَى الرُّبُوبِيَّةَ، وَأَنَّ مُوسَى أَجَابَهُ وَعَبَدَهُ مِنْ دُونِهِ
“Para Jahmiyah berkata: “Sesungguhnya Allah –Azza wajalla- menciptakan sesuatu kemudian sesuatu itulah yang mengungkapkan untukNya. Allah –Azza wajalla- menciptakan suara lalu memperdengarkan kepada nabi Musa kalam itu.” Kami katakan, “Apakah kalian melihatnya dengan mata kalian hingga kalian mengetahui bahwa hal ini seperti itu terjadi?” Mereka katakan, “Tidak.” Kami katakan, “Apakah telah sampai pada kalian bahwa Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan hal itu?” mereka berkata, “Tidak.” Kami katakan, “Apakah Allah –Azza wajalla- menurunkan hal itu pada kitab-kitab terdahulu atau ada saorang Nabi dari Nabi-Nabi terdahulu yang mengatakannya?” mereka berkata, “Tidak, tapi akal menunjukkan pada apa yang kami nyatakan itu.”  Maka kami katakan, “Bolehkah makhluk yang Allah ciptakan berkata, “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada sembahan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku, tegakkanlah shalat untuk mengingatku[QS. Thaha: 14]? Barangsiapa yang berkata bahwa yang berbicara pada Musa adalah selain Allah, maka sungguh ia telah berkata bahwa Allah menciptakan makhluk yang mengklaim diri sebagai Tuhan, lalu Musa menjawabnya, dan menyembah selain Allah.” (Abu Ya’la al-Farra, Ibthaal at-Ta’wilaat, tahqiq Muhammad Utsman, hal. 402-403, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, cet. 1, 2009 M.)
Penyebab kelompok Jahmiyah ataupun Asya’irah menolak Allah –Azza wajalla- berbicara secara langsung dengan Nabi Musa –Alaihissalaam- adalah karena mereka mengiaskan Allah dengan makhluk, mengiskan Allah yang ghaib dengan makhluk yang mereka lihat. Bagi mereka, kalau suara Allah terdengar di dunia, itu pasti terjadi karena dihasilkan oleh udara yang keluar dari jisim atau benda dan  seperti itu tidak boleh ada pada Allah. 
Menjawab syubhat ini, Imam Abu Nashr Ubaidillah as-Sijzi (w. 444 H.) –rahimahullah- berkata:
وأما الصوت: فقد زعموا أنه لا يخرج إلا من هواء بين جرمين وذلك لا يجوز وجوده من ذات الله تعالى. والذي قالوه باطل من وجوه: ألا ترى أن النبي صلى الله عليه وسلم ذكر سلام الحجر عليه، وعلم تسبيح الحصا في يده، وتسبيح الطعام، بين يديه، وحنين الجذع عند مفارقته إياه، وما (جاء) لشيء من ذلك هواء منخرق بين جرمين
“Adapun suara, mereka mengklaim bahwa suara itu tidak akan keluar kecuali dari udara yang keluar dari dua benda, dan hal itu tidak boleh ada dalam wujud Allah –Ta’ala. Apa yang mereka katakan ini merupakan sesuatu yang salah dari beberapa sisi. Tidakkah engkau melihat bahwa Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengabarkan ucapan salam batu kepadanya, beliau menjelaskan pula bahwa batu yang ada di tangannya bertasbih, bertasbihnya makanan di hadapannya dan suara tangis batang kurma ketika berpisah dengannya. Suara mereka itu tidak satupun berasal dari udara yang keluar dari dua benda.” (as-Sijzi, ar-Raddu ‘Ala Man ankara al-Harfa Wa ash-Shauth, tahqiq Muhammad Muhibbuddin Abu Zaid, hal. 102-103, Maktabah Umriyah-Kairo, cet 1, 1442 H.)
Kelompok Jahmiyah maupun Asya’irah mencoba menerka-nerka kaifiyah Allah –azza wajalla-, padahal para ulama mendiamkannya karena keterbatasan akal untuk menjangkaunya. Olehnya, mereka hanya mencukupkan diri dengan wahyu. Adapun kelompok Jahmiyah dan yang mengikuti mereka, tidak akan menerima kecuali masuk dalam akal mereka. Padahal, akal manusia sangatlah terbatas. 
Mereka seperti orang-orang yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (w.728 H.) –rahimahullah- yang dinukil oleh imam as-Safarini –rahimahullah- dalam lawami’nya:
ومن لم يقر بما جاء به الرسول حتى يعلمه بعقله فقد أشبه الذين قال الله عنهم: قالُوا لَنْ نُؤْمِنَ حَتَّى نُؤْتى مِثْلَ ما أُوتِيَ رُسُلُ اللَّهِ اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسالَتَهُ «3» ومن سلك هذا السبيل فهو في الحقيقة ليس مؤمنا بالرسول ولا متلقيا عنه الأخبار بشأن الربوبية ولا فرق عنده بين أن يخبر الرسول بشيء من ذلك أو لم يخبر به فإن ما أخبر به إذا لم يعلمه بعقله لا يصدق به بل يتأوله أو يفوضه وما لم يخبر به إن علمه بعقله آمن به،
“Orang yang tidak menetapkan apa yang datang dari Rasulullah -Shallallahu ‘Alahi Wasallam- hingga ia mengetahuinya dengan akalnya, maka ia seperti yang disebutkan dalam firman Allah (yang artinya): “Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata, “Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah.” (QS. Al-An’am: 124). Yang menempuh jalan seperti ini sebenarnya tidaklah beriman kepada Rasul dan juga tidak menerima kabar-kabar darinya tentang sifat Tuhan. Tidak ada bedanya baginya, antara yang dikabarkan oleh Rasul tentang itu atau yang tidak dikabarkan olehnya. Sebab, apa yang dikabarkan oleh Rasul kalau tidak masuk akalnya, ia tidak akan membenarkannya, justru ia akan menakwilkannya atau menafwidhkannya. Dan, apa yang tidak dikabarkan oleh Rasulullah kalau masuk akalnya ia akan terima.” (Ibnu Taimiyah,Syarh al-Akidah al-Ashfahaniyah, tahqiq Abu Umar Fauzi bin Abdul Aziz al-Astsari, hal. 90, Daar al-Imam Ahmad-Kairo, cet. 1, 1432 H.)
Adapun Ahlussunnah waljama’ah, mereka menerima semua yang datang dari Allah –Azza wajalla- dan yang datang dari RasulNya –Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Mereka mengimaninya, membenarkannya dan tidak menyerupakanNya dengan sesuatu apapun. Adapun kaifiyahnya, mereka serahkan sepenuhnya kepada Allah. Sebab wahyu yang sampai pada kita tidak menjelaskan tata cara ataupun bentuk dari apa yang Allah  dan Rasulullah sebutkan.
Imam Abu Nashr Ubaidillah as-Sijzi (w. 444 H.) –rahimahullah- berkata:
وقبل كل شيء ينبغي أن يعلم اعتمادنا في المعتقدات أجمع على السمع، فإذا ورد السمع بشيء قلنا به، ولم نلتفت إلى شبهة يدعيها مخالف
“Yang penting, hendaknya diketahui bahwa sandaran kita dalam keyakinan adalah berdasarkan wahyu. Jika telah ada wahyu yang menjelaskan sesuatu dari apa yang kita katakan, maka kita tidak perlu menoleh pada syubhat yang diklaim oleh orang yang menyelisihinya.”
Semoga Allah menjaga kita semua dan menuntun kita di atas jalan yang benar. aamiin.

Leave a Comment