Fatwapedia.com – Sebagian orang berkata bahwa melaksanakan wasiat orang yang telah meninggal dunia adalah perbuatan yang mengada-ada. Alasannya, karena orang yang telah meninggal dunia itu sudah terputus amalnya, sehingga wasiat itu tidak perlu dilaksanakan.
Tentu saja pernyataan yang demikian itu tidak benar karena bertentangan dengan dalil-dalil yang ada. Persoalan orang yang meninggal dunia telah terputus amalnya, insya Allah akan ada pembahasan tersendiri di blog ini. Namun yang jelas, menjadikan hal itu sebagai dalil untuk tidak melaksanakan wasiat orang yang telah meninggal dunia adalah tidak tepat, dan justru itulah yang mengada-ada. Mengapa? Karena dalil-dalil tentang wasiat dan pelaksanaannya telah diatur dengan jelas di dalam syariat Islam.
Perlu diketahui bahwa wasiat dari seorang yang sudah meninggal dunia telah diatur dalam syariat Islam. Dasar hukumnya bersumber dari Al-Qur’an, Hadits dan Ijma’ para ulama.
Allah Swt berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَاْلأَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, apabila ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan kaum kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 180)
Rasulullah Saw bersabda:
مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ
“Tidaklah seseorang mewasiatkan suatu hak untuk seorang Muslim, lalu wasiatnya belum ditunaikan hingga dua malam, kecuali wasiatnya itu diwajibkan di sisinya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Sa’ad bin Abi Waqqash ra berkata, “Ya Rasulullah, aku memiliki harta dan tidaklah ada yang mewarisinya kecuali hanya seorang anak wanitaku. Apakah (boleh) aku sedekahkan dua pertiga dari hartaku?”
Rasulullah Saw menjawab, “Jangan.”
Aku berkata, “Apakah (boleh) aku sedekahkan setengah darinya?”
Rasulullah Saw menjawab, “Jangan. Sepertiganya saja.”
Selanjutnya beliau Saw bersabda:
وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ إِنَّكَ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ فِي أَيْدِيْهِمْ
“Sepertiga itu banyak. Sesungguhnya engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya (adalah) lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada manusia (yang lain).” (HR Bukhari dan Muslim)
Sedangkan para ulama sudah sepakat (ijma’) bahwa wasiat itu hukumnya sunnah muakkad.
Selain dalam perkara harta (materi), wasiat juga dibolehkan dalam perkara yang bersifat nonmateri, dengan catatan wasiat itu tidak mengandung kemaksiatan kepada Allah atau yang melanggar aturan-aturan syariat. Misalnya, wasiat seorang ayah agar anaknya menghafal Al-Qur’an setelah kematiannya, atau membangun masjid (mushala) yang kemudian diwakafkan atas namanya, atau menyembelih kurban atas namanya, dan sebagainya.
Dalam sebuah riwayat disebutkan:
عَنْ حَنَشٍ عَنْ عَلِيٍِّ أَنَّهُ كَانَ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ أَحَدُهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاْلآخَرُ عَنْ نَفْسِهِ فَقِيْلَ لَهُ فَقَالَ أَمَرَنِيْ بِهِ يَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلاَ أَدَعُهُ أَبَدًا
“Dari Hanasy, dari Ali ra bahwasanya ia berkurban dengan dua ekor kambing, seekor untuk Nabi Saw dan seekor lagi untuk dirinya. Lalu ditanyakan padanya tentang hal itu. Ali ra pun menjawab, “Nabi Saw telah memerintahkan hal itu padaku, maka aku tidak akan meninggalkannya selamanya.” (HR Tirmidzi)
Dari riwayat di atas bisa dilihat bahwa Nabi Saw telah mewasiatkan kepada Ali bin Abu Thalib ra agar berkurban dengan menyembelih 2 ekor kambing, yang satu untuk beliau Saw dan lainnya untuk Ali ra sendiri. Maka jelaslah bahwa dalam hal ini Ali bin Abu Thalib ra memenuhi wasiat seseorang yang telah wafat, yakni Rasulullah Saw.
Coba Anda bandingkan dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa wasiat seseorang yang sudah meninggal dunia tidak perlu dipenuhi karena sudah terputus amalnya. Tentu saja sikap Ali bin Abu Thalib ra yang memenuhi wasiat Rasulullah Saw meskipun beliau telah wafat lebih layak diterima dan sesuai dengan syariat Islam dibandingkan pendapat orang yang mengabaikannya.
Melaksanakan wasiat hukumnya wajib. Jika Anda diwasiatkan oleh seseorang untuk menyampaikan sesuatu, lalu tidak Anda sampaikan, maka Anda berdosa. Tentu saja dengan catatan wasiat itu tidak mengandung kemaksiatan dan melanggar hukum-hukum syariat.
Jika seseorang berwasiat dengan sesuatu yang mengandung maksiat dan melanggar aturan syariat, maka wasiat itu tidak boleh ditunaikan. Misalnya, wasiat yang berisi pemutusan hubungan silaturahim, wasiat agar anaknya tidak diberi warisan, dan sebagainya.
Rasulullah Saw pernah bersabda, “Tidak ada ketaatan dalam sebuah kemaksiatan. Sesungguhnya ketaatan ada dalam perkara-perkara yang baik.” (HR Bukhari)
Dalam riwayat lain disebutkan Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah.” (HR Abu Dawud)
Berdasarkan berbagai keterangan di atas jelaslah bahwa memenuhi wasiat orang yang sudah meninggal dunia adalah wajib, bukan bid’ah atau mengada-ada, selama isi wasiat tidak mengandung maksiat kepada Allah dan tidak melanggar hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya.
Lalu, bagaimana dengan dalil yang diajukan oleh orang yang mengabaikan melaksanakan wasiat orang yang telah meninggal dunia dengan alasan telah terputus amalnya?
Mari kita simak dulu dalilnya:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍِ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
“Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang selalu mendoakan.” (HR Muslim)
Nah, hadits itulah yang sering dijadikan dalil untuk menolak wajibnya menunaikan wasiat dari orang yang sudah meninggal dunia.
Coba Anda perhatikan. Adakah bunyi hadits tersebut memperlihatkan bahwa wasiat tidak perlu ditunaikan karena si pemberi wasiat telah meninggal dunia? Sama sekali tidak ada. Jika yang menjadi alasan bahwa sudah tidak ada hubungan antara yang hidup dengan yang mati, maka perlu dipahami bahwa hadits di atas sama sekali tidak bisa dijadikan dalil untuk memperlihatkan telah terputus hubungan antara yang hidup dengan yang mati.
Makna inqatha’a ‘anhu amaluhu adalah terputus amal si mayit. Maknanya, setelah kematiannya, si mayit tidak bisa lagi menambah amal dari hasil usahanya sendiri (selain 3 perkara yang dikecualikan). Mengapa tidak bisa? Karena dia telah meninggal dunia. Si mayit tidak lagi bisa menambah amal shalatnya, zakatnya, sedekahnya, hajinya, dan sebagainya, karena kemampuannya untuk melakukan itu sudah tidak ada. Dia telah meninggal dunia.
Namun, meskipun telah meninggal dunia tidak berarti hubungannya dengan yang hidup terputus. Yang hidup dengan yang mati masih menjalin hubungan. Apa buktinya? Anjuran Nabi Saw kepada setiap Muslim agar mengucapkan salam saat melewati kompleks pemakaman kaum Muslimin.
Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah mengunjungi kuburan seraya mengucapkan:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ
“Semoga keselamatan untuk kalian wahai penghuni rumah kaum Mukminin, insya Allah kami akan menyusul kalian.” (HR Muslim)
Uluk salam yang disampaikan Nabi Saw kepada ahli kubur memperlihatkan terjalinnya hubungan antara yang hidup dengan yang mati. Meskipun jasad mereka mati dan hancur di dalam bumi namun ruh mereka hidup dan mengetahui salam yang disampaikan oleh yang hidup untuk mereka. Jika hubungan itu tidak terjalin tentulah Rasulullah Saw tidak akan mengajarkan ucapan salam untuk mereka karena ia hanya akan menjadi sebuah kesia-siaan, dan Rasulullah Saw sekali-kali takkan mengajarkan kepada umatnya sesuatu yang sia-sia.
Orang yang sudah wafat pun mengetahui apa yang diamalkan oleh orang yang hidup. Jika Anda diamanahi wasiat, lalu tidak Anda tunaikan maka hal itu akan diperlihatkan Allah padanya dan tentu membuatnya kecewa.
Di dalam Al-Qur’an Allah Swt berfirman:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ
“Dan katakanlah, beramallah kamu, niscaya Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang Mukmin akan melihat amalmu itu” (QS. At-Taubah [9]: 105)
Tatkala menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menuliskan bahwa amal orang-orang yang masih hidup diperlihatkan kepada kaum kerabat dan kabilahnya yang telah meninggal dunia di alam barzahnya. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud Ath-Thayalisi dari Jabir bin Abdullah ra yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
اِنَّ اَعْمَالَكُمْ تُعْرَضُ عَلَى اَقْرِبَائِكُمْ وَعَشَائِرِكُمْ فِي قُبُوْرِهِمْ، فَإِنْ كَانَ خَيْرًا اِسْتَبْشَرُوْا بِهِ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ ذَلِكَ قَالُوْا: اَللَّهُمَّ الْهِمْهُمْ اَنْ يَعْمَلُوْا بِطَاعَتِكَ
“Sesungguhnya amal-amal kalian ditampilkan (diperlihatkan) kepada kaum kerabat dan famili kalian di alam kubur mereka. Jika amal perbuatan kalian itu baik, maka mereka merasa gembira dengannya. Dan jika amal perbuatan mereka itu sebaliknya, maka mereka berdoa, “Ya Allah, berilah mereka ilham (kekuatan) untuk melakukan ketaatan kepada-Mu.”
Berdasarkan penjelasan tersebut jelaslah bahwa kematian seseorang tidaklah membuat terputusnya hubungannya dengan orang lain (apalagi keluarga) yang masih menjalani kehidupan di dunia. Itulah sebabnya, pendapat orang yang tidak mau menunaikan wasiat dengan alasan orang yang berwasiat telah meninggal dunia sehingga telah putus hubungan dengannya merupakan pendapat yang menyalahi syariat Islam dan wajib ditolak. Sekali lagi, wasiat harus ditunaikan selama isi wasiat itu tidak bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Wallahu a’lam.