Asi dan Berpuasa; Cara Ibu Menyusui Bisa Ikut Puasa Tanpa Khawatir Dengan Bayinya


Oleh: Bidan Raniya Agustine 
Fatwapedia.com – Sebenarnya, ibu menyusui diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Tapi, tidak sedikit pula Busui yang ingin ikut berpuasa.
Apakah puasa saat menyusui itu aman bagi ibu dan bayi atau tidak?
Kekhawatiran ini muncul karena tubuh lebih banyak kehilangan cairan karena perubahan pola makan dan tidur.
Bayi usia 0-6 bulan masih dan harus mendapatkan ASI eksklusif, Karena bayi usia ini sedang dalam pemantauan ketat untuk kenaikan berat badan dan ibu yang memberi asi ekslusif memiliki kebutuhan gizi yang cukup tinggi. Sehingga ibu enggak disarankan untuk berpuasa karena kondisi bayinya.
Bayi diusia kurang 6 bulan hanya mengkonsumsi asi saja belum mendapatkan asupan tambahan. Khawatirnya si kecil mengalami dehidrasi atau kurang ASI.
Kecuali ibu memiliki stok asi (rajin pumping) untuk si kecil, bisa ikut puasa. Jadi, masih bisa puasa dengan cara rajin pumping ini. 
Bayi usia kurang dari 6 bulan memiliki pola menyusu berbeda dengan bayi usia 1 tahun yang sudah mendapat makanan pendamping ASI (MPASI).
kalau ingin puasa lebih aman sambil menyusui, maka ketika bayi sudah memulai MPASI (6 bulan).
Dan asupan nutrisi untuk ibu saat sahur, berbuka puasa, dan sebelum tidur tetap terjaga dengan baik. Makan besar harus tetap 3 kali yang dilengkapi dengan karbohidrat, protein hewani, sedikit lemak, sayur, buah, vitamin dan susu untuk ibu menyusui.
Mengkonsumsi kurma bisa menjadi menu pilihan untuk meningkatkan energi dan metabolisme tubuh. Selain Rasulullah SAW menyarankan ‘berbukalah dengan kurma, sebab kurma itu mendatangkan berkah’.
Berkah dari kurma memang terbukti mampu menjadi ASI booster.
“Bahwa perempuan hamil dan menyusui ketika dengan puasa khawatir akan adanya bahaya yang tidak diragukan lagi, baik bahaya itu membahayakan dirinya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja.
Maka dalam ketiga kondisi ini mereka wajib meninggalkan puasa dan wajib meng-qadla’nya.
Namun dalam kondisi ketiga, yaitu ketika puasa itu dikhawatirkan membahayakan anaknya saja maka mereka juga diwajibkan membayar fidyah.” (Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet 2, h. 521)
Tidak hanya mengetahui hukum puasa tapi bisa diketahui berdasarkan kebiasaan sebelum-sebelumnya, keterangan medis, atau dugaan yang kuat.
Tiap bayi memiliki kondisi yang berbeda-beda dan tidak semua wanita mampu menyusui selama puasa. Jadi, jangan memaksakan diri untuk berpuasa jika memang merasa tidak mampu. 
Tahun ini tidak bisa puasa, tahun depan bisa berpuasa (insya Allah). Jangan sampai orang tua (ibunya) menderita karena anaknya akibat gizinya yang kurang, harus sesuai kemampuan (Kutipan Al-Baqarah: 233)

Fatwa Syaikh Utsaimin Tentang Puasa Bagi Bumil dan Busui

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah Ta’ala ditanya dalam Fatawa Shiyam (hal. 161)
Bagaimana Jika seorang wanita hamil dan menyusui tidak berpuasa tanpa uzur, sementara dirinya kuat dan giat dan tidak ada pengaruhnya dengan berpuasa, Apa hukumnya?
Beliau menjawab, “Tidak dibolehkan bagi wanita hamil dan menyusui untuk berbuka di siang hari bulan Ramadan kecuali ada uzur. Jika keduanya berbuka karena uzur, maka keduanya harus mengqadha puasanya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184). Keduanya (wanita hamil dan menyusui) dapat dianggap orang yang sakit. Jika alasannya karena khawatir terhadap anaknya, maka dia harus mengqadha dan selain itu menurut sebagian ulama memberi makan satu orang miskin untuk satu hari berupa gandum, atau beras atau korma atau apa saja berupa makanan pokok. Sebagian ulama berpendapat bahwa keduanya hanya wajib qadha saja, apapun kondisiya. Karena perintah memberi makan tidak terdapat dalam Al-Quran dan Sunah. Hukum asal adalah bahwa seseorang terbebas dari setiap beban kecuali jika terdapat nash yang memerintahkannya. Dan ini merupakan pendapat Abu Hanifa. Ini merupakan pendapat yang kuat.”
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah Ta’ala juga ditanya dalam Fatawa As-Shiyam (hal. 162) tentang wanita hamil jika dia khawatir terhadap dirinya atau khawatir terhadap anaknya. Jika dia berbuka, apa hukumnya?
Beliau menjawab,
“Jawaban kami terhadap pertanyaan ini adalah bahwa kondisi wanita hamil itu ada dua;
Pertama, dia giat dan kuat, tidak merasa payah dan tidak ada pengaruhnya terhadap janin. Maka wanita seperti ini wajib baginya berpuasa. Karena tidak ada uzur baginya untuk meninggalkan berpuasa.
Kedua, kondisi kehamilannya membuat dia tidak kuasa menanggung puasa. Apakah karena hamilnya yang berat, atau karena fisiknya yang lemah, atau sebab selain itu. Dalam kondisi ini sebaiknya dia berbuka, khususnya jika bahayanya dikhawatirkan menimpa sang janin. Ketika itu, berbuka baginya dapat menjadi wajib.
Jika dia berbuka, maka sebagaimana lainnya yang berbuka karena uzur, wajib baginya mengqadha puasanya kapan saja jika sebabnya telah sirna. Jika dia melahirkan, maka wajib baginya mengqadha puasanya setelah suci dari nifas. Akan tetapi, kadang uzur karena kehamilan selesai, datang uzur baru lagi, yaitu menyusui. Karena wanita menyusui, kadang butuh makan dan minum khususnya pada musim panas yang siang harinya panjang dan panas yang terik. Boleh jadi dia butuh untuk berbuka agar dapat memberi makan anaknya dengan ASI. Dalam kondisi seperti ini juga kita katakan kepadanya, ‘Berbukalah, jika sudah hilang uzurnya, maka anda hendaknya mengqadha puasa yang tertinggal.”

Leave a Comment