Fatwapedia.com – Sesungguhnya bagaimana cara dan usaha kita dalam mencari rezeki akan ditanyakan kelak pada yaumul hisab (hari perhitungan amal). Kaki kita tidak akan beranjak sampai dimintai pertanggungjawaban dari harta yang dimiliki.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan kita tentang hal ini, dalam hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ
“Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ditanya tentang empat perkara: umurnya untuk apa ia habiskan, masa mudanya untuk apa ia lewatkan, hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia belanjakan, serta ilmunya apa yang Ia amalkan?” (H.R. Al Baihaqi, dihasankan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih At Targhib].
Saat itu tidak ada yang bermanfaat bagi kita selain amalan shalih. Kekayaan yang dahulu di dunia dimiliki justru memperlambat proses persidangan kita. Akan menjadi masalah apabila harta yang didapat adalah hasil dari usaha yang haram atau pengalokasiannya pada hal yang haram. Masalah semakin besar apabila didapat dengan cara yang haram sekaligus penyalurannya pada perkara yang haram pula.
Seorang muslim tentu mengharap kehidupan bahagianya di dunia berlanjut di akhirat. Harta yang ia dapatkan dan manfaatkan di dunia, berbarakah pula diakhirat. Hanya dengan cara kerja halal yang bisa mewujudkannya. Karena, baiknya amalan tergantung dengan baiknya makanannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Sesungguhnya Allah Maha Baik, tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum mukminin sebagaimana Allah perintahkan para rasul. Allah berfirman (yang artinya), ‘Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih.’ [Q.S. Al Mu’minun :51],
Allah juga berfirman (yang artinya), ‘wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.’ [Q.S. Al Baqarah: 172].
Kemudian Rasulullah menyebutkan seseorang yang dalam perjalanan jauh, rambutnya acak-acakan, kakinya berdebu, membentangkan tangannya ke langit, berdoa, ‘Ya Rabbku… Ya Rabbku…, tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, ditumbuhkan dengan yang haram. Lalu bagaimana mungkin dikabulkan doanya?” [H.R. Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu].
Imam Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa amalan tidaklah diterima, tidak pula berkembang kecuali dengan memakan makanan yang halal. Para rasul dan umatnya diperintahkan untuk makan dari yang baik, yaitu yang halal. Mereka diperintahkan pula untuk beramal shalih. Jadi selama makanannya halal, maka amalan shalih yang dikerjakan akan diterima. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencontohkan dengan seorang yang mengonsumsi serba haram lalu memohon kepada Allah ta’ala, mengharap untuk terkabulnya doa. [Jami’ul Ulum Wal Hikam].
Dalam ayat yang lain Allah berfirman (yang artinya), ”Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi thayyib (baik) dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkahlangkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.” [Q.S. AI Baqarah :168]. Kita perhatikan dalam ayat ini bahwa setelah kita diperintahkan untuk mencari dan memakan yang halal dan baik, Allah tegaskan untuk tidak mengikuti langkah-langkah syaithan, karena di luar yang halal dan baik adalah penyesatan syaithan. Cukuplah hal ini sebagai penegasan tetang keharusan memakan yang halal dan yang thayyib.
Kita harus yakin bahwa bagian rezeki kita telah Allah ta’ala persiapkan. Tinggal bagaimana kita berusaha mencari sebab untuk mengambilnya dengan cara yang baik, cara yang halal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan, ”Perbaguslah dalam mencari dunia, karena masing-masing dimudahkan untuk apa yang telah ditetapkan bagiannya dari dunia.” [H.R. AI Hakim, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih At Targhib].
Mencari dengan cara yang halal tidak akan mengurangi jatah rezeki sedikit pun. Sebaliknya, dengan cara yang haram sekalipun tidak ada orang yang mampu melampaui bagian rezeki yang telah ditetapkan untuknya. Sedangkan akibat buruk sudah pasti didapatkan, hilang barakahnya di dunia dan justru akan menjadi petaka di akhirat.
Efek negatif dari hilangnya barakah, minimalnya adalah seberapa pun harta didapat, tidak akan pernah memberikan kecukupan dalam hati. Bahkan hati merasa selalu kurang dan semakin miskin. Semakin rakus dengan harta akhirnya semakin tidak peduli dengan cara mendapatkannya. Sungguh benar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
”Seandainya seorang anak Adam memiliki dua lembah harta, pasti akan mencari yang ketiganya. Tidak ada yang bisa memenuhi mulut anak Adam kecuali tanah (yakni setelah ia mati). Dan Allah Maha memberikan taubat bagi yang bertaubat kepada-Nya.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ].
Inilah hakikat kemiskinan. Karena miskin adalah miskinnya hati dan kaya adalah kayanya hati. Orang kaya adalah orang yang merasa cukup dengan seberapa pun karunia Allah ta’ala kemudian ia mensyukurinya lahir batin. lnilah kaya sesungguhnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda, “Bukanlah kaya itu dari banyaknya harta, hanyalah kaya itu kaya dalam jiwa.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ]. Bukan mereka yang mengoleksi mobil mewah atau mereka yang mengangan-angankan hidup mapan dengan cara yang tidak dihalalkan.
Ya, kaya tidak dilihat dari simpanan harta, tetapi rasa cukup dalam jiwa dan keberkahannya. Salah satu faktor penyebab barakahnya adalah cara pencariannya yang halal. Allahu a’lam.