Fikroh.com – Pada prinsipnya seluruh bagian seorang wanita itu adalah aurat, sebagaimana dalam hadits shahabi jalîl Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu secara marfu’ dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam :
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita itu adalah aurat, jika ia keluar, maka syaithon akan menjadikannya nampak indah dalam pandangan laki-laki.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan oleh al-Albani).
DR. Muhammad Na’im hafizhahullah dalam kitabnya “Maushû’ah Masâ`il al-Jumhûr” (I/144) berkata :
وأما عورتها خارج الصلاة فبدنها كله وتبدي وجهها وكفَّيها لحاجة الييع والشراء والأخذ والعطاء أو الشهادة ونحو ذلك
“Adapun aurat wanita diluar sholat adalah badannya semuanya dan boleh nampak wajah dan telapak tangannya karena ada keperluan jual-beli, mengambil, memberi atau persaksian dan yang semisalnya.” -selesai-.
Al-Imam al-Albani rahimahullah dalam kitabnya “Jilbâb al-Mar`ah al-Muslimah” ketika menyebutkan syarat-syarat jilbab yang sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah, yaitu syarat pertamanya adalah :
استيعاب جميع البدن إلا ما استثني
“Menutupi seluruh badannya, kecuali apa yang dikecualikan.”
Pengecualian yang dimaksud adalah wajah dan telapak tangan. Dalam “al-Maushû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah” (31/44) disebutkan pendapat mayoritas ulama tentang pengecualiannya :
ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ جِسْمَ الْمَرْأَةِ كُلَّهُ عَوْرَةٌ بِالنِّسْبَةِ لِلرَّجُل الأَْجْنَبِيِّ عَدَا الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ….لَكِنْ جَوَازُ كَشْفِ ذَلِكَ مُقَيَّدٌ بِأَمْنِ الْفِتْنَةِ
“Mayoritas ulama fiqih berpendapat bahwa badan wanita itu semuanya adalah aurat dihadapan laki-laki asing (non mahram), kecuali wajah dan telapak tangan….namun kebolehan membuka (wajah dan telapak tangan) dikaitkan dengan aman dari fitnah.” -selesai-.
Hal ini berdasarkan Firman Allah Ta’âlâ :
وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya.” (An-Nur: 31).
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan :
وَيُحْتَمَلُ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ وَمَنْ تَابَعَهُ أَرَادُوا تَفْسِيرَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا بِالْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ، وَهَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ عِنْدَ الْجُمْهُورِ
“Dapat pula dikatakan bahwa Ibnu Abbas dan para pengikutnya bermaksud dengan tafsir firman-Nya yang mengatakan, “Kecuali apa yang biasa tampak darinya,” adalah wajah dan kedua telapak tangan.
Pendapat inilah yang terkenal di kalangan jumhur ulama.” -selesai-.
Penafsiran shahabi jalîl Ibnu Abbas radhiyallahu anhu dapat kita lihat dengan sanad yang bersambung dalam tafsir ath-Thabari, Ibnu Abi Hatim dan kitab-kitab hadits lainnya, dengan sanad yang dinilai shahih oleh Imam al-Albani dan selainnya.
Hal ini diperkuat dengan hadits Abu Dawud bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
يا أسماءُ إنَّ المرأةَ إذا بلغت المَحيضَ ، لم يصلُحْ أن يُرى منها إلا هذا وهذا وأشار إلى وَجهِه وكفَّيه
“Wahai Asmâ`, sesungguhnya wanita jika sudah baligh, tidak boleh baginya kelihatan darinya, kecuali ini dan ini.”
Beliau berisyarat kepada wajah dan telapak tangan.” (Hadits ini dihasankan oleh al-Albani dengan penggabungan jalan-jalannya).
Dalam hadits ini terdapat isyarat juga bahwa kedua telapak kaki wanita wajib ditutup alias ia juga bagian dari auratnya. Akan tetapi, penulis kitab “al-Maushû’ah al-Kuwaitiyyah” pada halaman yang sama menukil bahwa al-Imam Abu Hanifah memiliki pendapat yang berbeda dengan jumhur ulama :
وَوَرَدَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ الْقَوْل بِجَوَازِ إِظْهَارِ قَدَمَيْهَا؛ لأَِنَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى نَهَى عَنْ إِبْدَاءِ الزِّينَةِ وَاسْتَثْنَى مَا ظَهَرَ مِنْهَا. وَالْقَدَمَانِ ظَاهِرَتَانِ
“Telah datang dari Abu Hanifah pendapat yang memperbolehkan menampakkan kedua telapak kaki, karena Allah Ta’âlâ melarang untuk menampakkan perhiasan dan mengecualikannya dengan apa yang biasa nampak darinya dan telapak kaki adalah biasa dinampakkan.” -selesai-.
Al-Imam Nawawi rahimahullah melengkapinya lagi dalam kitabnya “al-Majmu'” (3/169, via Islamweb) :
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَالثَّوْرِيُّ وَالْمُزَنِيُّ قَدَمَاهَا أَيْضًا ليست بِعَوْرَةٍ
“Abu Hanifah, ats-Tsauriy dan al-Muzaniy berpendapat bahwa kedua telapak kaki bukanlah aurat juga.” -selesai-.
Namun pendapat yang mengatakan telapak kaki wanita bukan aurat adalah marjûh atau lemah, karena bertentangan dengan hadits Ibnu Umar radhiyallahu anhu secara marfu’ :
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ ، لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “. فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ : فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ ؟ قَالَ : ” يُرْخِينَ شِبْرًا “. فَقَالَتْ : إِذَنْ تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ، قَالَ : ” فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا، لَا يَزِدْنَ عَلَيْهِ “.
“Barangsiapa menjulurkan kainnya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihat dia pada hari kiamat”. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bertanya: “Apa yang dilakukan wanita dengan ujung gaunnya?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Lebihkanlah satu jengkal”.
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha menjawab: “Jika demikian telapak kakinya akan tersingkap”.
Beliau menanggapi : “lebihkanlah satu hasta dan jangan lebih dari itu”. (HR. Tirmidzi dan Nasa`i dengan sanad yang dishahihkan oleh al-Albani dan asal hadits ini ada pada shahihain).
Perkataan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwa “telapak kakinya akan tersingkap”, kemudian disetujui oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka lafazh hadits ini menunjukkan bahwa yang ma’ruf dikalangan shahabiyyah bahwa telapak kaki termasuk aurat, oleh sebab itu ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan ancaman bagi orang-orang yang melabuhkan kakinya dibawah mata kaki, Ummu Salamah merasa perlu fatwa, apakah ini berlaku juga bagi wanita, maka Rasulullah memberikan fatwa bahwa wanita kain pakaiannya dipanjangkan seukuran satu jengkal dari mata kaki dan ini yang sunnah, kalau masih ingin tambah panjang lagi maka maksimalnya adalah seukuran sehasta dari mata kaki. Penulis kitab “Tuhfah al-Akhwadzi” menukil penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah :
إن للرجال حالين : حال استحباب وهو أن يقتصر بالإزار على نصف الساق وحال جواز وهو إلى الكعبين ، وكذلك للنساء حالان : حال استحباب وهو ما يزيد على ما هو جائز للرجال بقدر الشبر ، وحال جواز بقدر ذراع
“Sesungguhnya bagi laki-laki ada dua kondisi :
- Kondisi dianjurkan, yaitu sarungnya sampai setengah betis.
- Kondisi diperbolehkan, yaitu sampai mata kaki.
Demikian juga wanita ada dua kondisi :
- Kondisi dianjurkan, yaitu yang melebihi dari ukuran yang diperbolehkan oleh laki-laki sepanjang satu jengkal.
- Kondisi diperbolehkan, yaitu panjang lebihannya seukuran satu hasta. -selesai-.
Jika telapak kaki wanita bukan aurat, tentu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak mengizinkan ujung bawah pakaian wanita sampai menutupi mata kaki.
Para wanita pada zaman sahabat dan generasi salaf terbiasa gaunnya panjang-panjang, salah satu wanita pernah bertanya kepada Ummul Mukminin Ummu Salamah radhiyallahu anhâ :
إِنِّي امْرَأَةٌ أُطِيلُ ذَيْلِي، وَأَمْشِي فِي الْمَكَانِ الْقَذِرِ. فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ “.
“aku adalah wanita yang bergaun panjang, lalu ketika aku berjalan di tempat kotor (najis) (bagaimana kesucian pakaianku?)”, Maka Ummu Salamah menjawab : “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “akan mensucikannya tanah setelahnya.” (HR. Ashabus Sunan, dishahihkan oleh al-Albani).
Imam al-Albani dalam kitabnya “ash-Shahihah” (no. 1864, via islamqa) memberikan penjelasan mengenai sebagian wanita yang untuk menutupi kedua kakinya menggunakan kaos kaki, kata beliau rahimahullah :
فلا يجوز للمرأة أن تلبس حذاءً مكشوفاً يَظهر منه قدماها ، فإذا كان اللباس طويلاً وهي تلبس الجوارب : فلا حرج عليها ، والأفضل أن تُغطَى القدمان بالثوب لا بالجوارب
“Tidak boleh seorang wanita memakai sepatu yang terbuka dan nampak telapak kakinya, jika pakaiannya panjang dan ia mengenakan kaos kaki, maka tidak mengapa, yang lebih utama adalah ia menutupi telapak kakinya dengan gaunnya, bukan dengan kaos kaki.” -selesai-. Wallahu Ta’âlâ A’lam.
Oleh: Abu Sa’id Neno Triyono