Oleh : Muhammad Rivaldy Abdullah
Fatwapedia.com – Banyak orang bingung membedakan antara angan-angan (al-hamm), dengan tekad (‘azam). Apakah jika seseorang berangan-angan untuk berbuat dosa, terjatuh ke dalam perbuatan dosa? Dan bagaimana jika ia juga bertekad untuk melakukan dosa?
Dalam hadits disebutkan :
مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهٙا، كُتِبَتْ لٙهُ حَسَنَةً، ومَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَعَمِلَهٙا، كُتِبَتْ لٙهُ عَشْرًا إِلٙى سَبْعِ مِئَةِ ضِعْفٍ، ومَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهٙا، لَمْ تُكْتَبْ، وإنْ عَمِلَهٙا كُتِبَتْ
“Barangsiapa berangan-angan untuk berbuat baik akan tetapi belum sempat diwujudkan, akan dicatat baginya sebagai pahala. Dan barangsiapa berangan-angan untuk berbuat baik dan ia mampu mewujudkannya, maka baginya pahala sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat. Dan barangsiapa berangan-angan buruk, namun batal ia wujudkan, maka tidak akan dicatat hal itu baginya [sebagai sebuah dosa]. Dan jika ia mewujudkan keburukannya itu, maka akan dicatat [sebagai sebuah dosa].” (HR. Muslim No. 130, dari Abu Hurairah)
Dalam kitab Al-Asybah wan Nadzo’ir karangan Imam As-Suyuthi disebutkan bahwa keinginan bermaksiat (qashdu al-ma’shiah) terbagi ke dalam lima tingkatan :
1. Al-Hajis, yaitu muncul secara sekilas dalam pikiran perbuatan maksiat
2. Al-Khotir, yakni terbersitnya pikiran untuk berbuat maksiat (lebih lama dari al-hajis)
3. Hadits An-Nafs, yakni muncul kegamangan antara ia ingin berbuat maksiat atau tidak
4. Al-Hamm, yakni angan-angan ia dalam keinginan berbuat dosa
5. Al-‘Azm, yakni yakinnya ia untuk berbuat maksiat dan mengambil langkah untuk itu.
Untuk tingkatan Al-Hajis, ia tidak dibebani dosa menurut ijma’. Begitu pula tingkatan al-khotir dan hadits an-nafs menurut hadits yang shahih (Al-Asybah wan Nadzo’ir, 1/33-34)
Imam As-Suyuthi menjelaskan bahwa tiga tingkatan ini jika dalam hal kebaikan juga tidak dicatat sebagai pahala. Sebagai contoh, jika muncul tiba-tiba secara sekilas dalam benak seseorang untuk bersedekah, maka ia tidak diberi pahala untuk itu. Dalam dunia tasawwuf -Syaikhuna Ahmad Hajin menyampaikan- hal itu disebut sebagai ilqa malaki (petunjuk malaikat).
Berbeda dengan angan-angan dan keinginan (al-hamm), maka ia dicatat sebagai pahala sebagaimana hadits di atas. Dan sebagai kemurahan Allah, jika ia memiliki angan-angan untuk berbuat maksiat justeru tidak dicatat sebagai perbuatan dosa. Tidak seperti angan-angan untuk berbuat amal shalih.
Sedangkan imajinasi seseorang, yang sampai membayangkan secara jelas perbuatan dosa hingga ia berkeinginan untuk memulai langkah, maka ini bisa masuk pada at-tashowwur dan al-‘azm. Untuk seperti ini seseorang mendapatkan dosa.
Karena itulah, jika seseorang sudah bertekad (al-‘azm) untuk berbuat maksiat, bahkan sampai mengambil langkah untuk menjalani maksiat tersebut, maka hal itu dicatat sebagai dosa. Seperti seseorang yang berniat untuk melakukan korupsi/suap lantas tidak tercapai sebab ditangkap polisi, maka yang seperti ini, meski tidak terjadi perbuatan maksiatnya, maka hal itu tercatat sebagai dosa. Ia wajib mentaubati ‘azam nya tersebut.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,
أَنَّ مَنْ عَزَمَ عَلَى الْمَعْصِيَةِ بِقَلْبِهِ وَوَطَّنَ نَفْسَهُ عَلَيْهَا، أَثِمَ فِي اعْتِقَادِهِ وَعَزْمِهِ
“bahwasanya orang yang berazzam untuk berbuat maksiat di dalam hatinya, dan mengondisikan dirinya untuk maksiat tersebut, maka ia berdosa atas azam dan niatannya itu.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/151)
Hal-hal lain serupa itu berkaitan dengan tekad banyak kita alami. Misal seseorang jatuh dalam kategori melalaikan shalat. Jika ia berkeinginan untuk tidak melakukan shalat, dengan cara mengundur pelaksanaannya (otomatis ia sudah mengambil tindakan melalaikan shalat tersebut) dan keinginannya untuk tidak shalat amat besar, maka seperti ini jatuh dalam maksiat. Meski akhirnya ia melaksanakan shalat. Yang demikian wajib ditaubati.
Masih banyak contoh kasus berkenaan dengan al-hamm dan al-‘azam dalam keseharian kita. Hendaknya kita tidak terlalaikan dalam hal itu. Wallaahu a’lam.