Fikroh.com – Soal, apa hukum menentukan Shalat tertentu yang akan dikerjakan saat niat? Dan apa hukum mengganti atau menukar niat shalat tertentu dengan shalat yang lain dalam keadaan shalat?
Dalam niat shalat, harus ditentukan mengenai shalat apa yang akan ia lakukan; apakah ia shalat fardhu atau shalat sunnah? Apakah shalat Zhuhur atau Ashar? Maksudnya, menghadirkan penentuan jenis shalat ini di dalam hati.
Kapan Waktunya Berniat?
1. Tidak ada perbedaan antara ulama, bahwa niat jika dilakukan bersamaan dengantakbiratul ihram –dengan mengikutkan niat tersebut langsung setelah takbir– maka niatnya sah.
2. Tidak ada perbedaan antara ulama bahwa niat setelah takbir tidak tidak sah
3. Jika seseorang berniat shalat, kemudian menyibukkan diri –dengan aktifitas lain–, setelah itu baru melaksanakan shalat, maka shalatnya sah –menurut pendapat yang lebih shahih–. Karena niatnya terus mengiringi –hukum– shalat, selama orang tersebut tidak berniat untuk membatalkannya. [Al-Inshaf (1/23), al-Mubdi’ (1/417) yang ini merupakan pilihan Ibnu Utsaimin dalam al-Mumti’ (2/291)] Wallahu A’lam.
Mengganti Niat Saat Mengerjakan Shalat
Mengganti atau berpindah niat dari satu niat ke niat yang lain ada beberapa bentuk, di antaranya:
1. Mengganti niat dari shalat fardhu menjadi shalat sunnah mutlak:
Seperti orang yang sedang shalat Zhuhur sendirian, lalu melihat orang lain shalat Zhuhur berjamaah, seketika ia mengganti niat shalat Zhuhurnya menjadi shalat sunnah, kemudian bergabung dengan jamaah yang ia lihat tersebut untuk melaksanakan shalat Zhuhur berjamaah. Maka hukumnya tidak boleh.
2. Mengganti niat shalat fardhu menjadi shalat fardhu lainnya.
Hukumnya tidak boleh, dan kedua shalatnya menjadi batal. Yang pertama menjadi batal karena shalat fardhu tersebut telah dipotong dipertengahan ibadah, sedangkan yang kedua menjadi batal karena tidak adanya niat semenjak awal ibadah. Contohnya : orang yang sedang shalat Ashar kemudian teringat bahwa dia belum melaksanakan shalat Zhuhur, maka ia tidak boleh mengubah niatnya menjadi shalat Zhuhur.
3. Mengganti niat shalat sunnah menjadi shalat fardhu. Hukumnya juga tidak boleh sebagaimana sebelumnya.
4. Mengganti niat shalat sunnah tertentu menjadi shalat sunnah mutlak
Dibolehkan, karena niat shalat sunnah tertentu, telah mencakup niat shalat sunnah secara mutlak. Contohnya: orang yang melakukan shalat sunnah Zhuhur sebanyak empat rakaat, kemudian melihat jamaah lalu menggantinya menjadi dua rakaat agar bisa ikut kepada jamaah.
5. Mengganti niat shalat sunnah tertentu menjadi shalat sunnah lainnya yang juga tertentu.
Hukumnya tidak boleh. Seperti orang yang niat shalat tahiyatul masjid lalu di pertengahan shalat menggantinya dengan niat shalat sunnah Subuh. Maka shalat yang pertama menjadi batal karena dipotong dipertengahan, sedangkan shalat yang kedua menjadi batal karena tidak ada niat dari awal ibadah. [Al-Mumti’ (2/294-301), al-Iklil (1/348-355) oleh Syaikh Wahid Abdussalam Bali –semoga Allah melindunginya–]
6. Mengganti niat shalat sunnah mutlak menjadi shalat sunnah tertentu. Hukumnya tidak boleh sebagaimana sebelumnya.
7. Mengganti niat sebagai imam menjadi niat sebagai makmum
Hukumnya boleh berdasarkan hadits dari Aisyah radhiallahu ‘anha tentang Abu Bakar radhiallahu ‘anhu yang shalat berjamaah, di dalamnya terdapat keterangan:
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke dalam masjid, Abu Bakar pun merasakan kehadiran beliau, lalu Abu Bakar mundur ke belakang, Rasulullah pun mengisyaratkan kepada Abu Bakar, “Berdirilah di tempatmu” lalu Rasulullah pun menghampiri hingga duduk di sebelah kiri Abu Bakar. Aisyah berkata, “Maka Rasulullah shalat berjamaah bersama para sahabat dengan duduk sedangkan Abu Bakar tetap berdiri. Abu Bakar pun mengikuti shalat Rasulullah, sedangkan jamaah lainnya mengikuti Shalat Abu Bakar.”[Hadits Riwayat: Al-Bukhari (664) dan Muslim (418)]
8. Makmum yang shalat di belakang seorang imam, kemudian pindah shalat di belakang imam yang lain.
Hukumnya boleh sebagaimana hadits Aisyah radhiallahu ‘anha di atas. Karena saat itu para jamaah shalat di balakang (menjadi makmum) Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, kemudian berganti menjadi makmum di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Demikian juga terjadi saat pembunuhan Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhuma, ketika itu Abdurrahman bin Auf radhiallahu ‘anhuma maju menjadi imam dan menyempurnakan shalat bersama jamaah. [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (3700)]
9. Berganti niat dari makmum menjadi imam
Seperti seorang imam shalat yang keluar hadats ketika shalat, kemudian posisi imam diganti oleh salah seorang makmum. Hukumnya boleh dengan landasan dalil Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhuma di atas.
10. Berganti niat dari shalat sendirian menjadi imam.
Hukumnya boleh. Seperti orang yang shalat sendirian kemudian datang orang lain dan shalat di belakangnya sebagai makmum. Maka yang tadinya shalat sendirian lantas menyempurnakan shalatnya sebagai imam. Dengan landasan dalil hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berkata:
“Suatu saat aku bermalam di rumah bibiku (saudara perempuan ibu). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangun di malam hari –untuk shalat.– aku pun lalu mengikuti shalat Rasulullah dan berdiri di sebelah kiri beliau. Kemudian Rasulullah memegang kepalaku dan memindahkanku di samping kanan beliau.”[Hadits Riwayat: Al-Bukhari (699) dan Muslim (763)]
11. Berganti niat dari imam menjadi shalat sendirian.
Hukumnya tidak boleh kecuali karena adanya halangan. Seperti seorang makmum yang terkena hadas lalu pergi meninggalkan imam sendirian, maka boleh bagi imam tersebut untuk shalat sendirian dan shalatnya tetap sah.
12. Berganti niat dari makmum menjadi shalat sendirian.
Sebagian berpendapat bahwa hukumnya boleh jika terdapat halangan syar’i, seperti imam yang shalat dengan durasi sangat lama melebihi apa yang diajarkan sunnah, atau munculnya sakit yang dialami oleh makmum tersebut, sehingga ia butuh shalat lebih ringan dan cepat hingga segera pergi. Mereka berlandaskan dalil tentang kisah seorang lelaki yang shalat di belakang Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhuma yang memanjangkan bacaannya. Lalu lelaki tersebut memisahkan diri dari jamaah dan shalat sendirian. Kemudian ia melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Rasul pun tidak memerintahkannya untuk mengulangi shalat. [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (6106) dan Muslim (465)]
Namun sebagian lain berpendapat tidak boleh mengganti niat shalat jamaah menjadi shalat sendirian. Dan jika seseorang yang shalat berjamaah tertimpa halangan, maka hendaknya ia memotong (membatalkan) shalatnya, kemudian melaksanakan shalat sendirian.
Mereka menjawab pernyataan pendapat pertama, bahwa hadits Mu’adz radhiallahu ‘anhu secara lahir terlihat bahwa lelaki tersebut keluar dari jamaah, kemudian melaksanakan shalat sendirian. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Muslim:
“Lalu lelaki tersebut berpaling dari jamaah, bersalam, kemudian shalat sendirian.”
Penulis berkata: Bahwa pendapat pertama lebih tepat [Pendapat ini dipilih Syaikh Ibnu Utsaimin yang berbeda dengan pendapat Syaikh Wahid Abdussalam Bali] –bahkan jika menggunakan riwayat yang terakhir sekalipun–. Karena apa yang dilakukan lelaki dalam hadits di atas, tidak lantas menandakan bahwa shalat sendirian itu tidak boleh. Dan penulis berpandangan, bahwa menjadi imam atau makmum dalam shalat jamaah, merupakan sifat tambahan daripada shalat itu sendiri. Maka hal tersebut tidak dapat memberi pengaruh yang terkait tentang sahnya suatu shalat, meskipun kadang mempengaruhi shalat seseorang apakah mendapat pahala shalat jamaah atau tidak. Sebagaimana hal ini telah disebutkankan dalam beberapa hadits sebelumnya yang berkaitan dengan niat imam dan makmum. Wallahu A’lam.
Perbedaan Niat Antara Imam Dan Makmum
Tidak ada perbedaan antara ulama mengenai bolehnya seseorang shalat di belakang imam ketika mereka memiliki niat shalat yang sama, baik itu shalat fardhu maupun shalat sunnah. [Lihat: “Al-Manhiyyat asy-Syar’iyyah fi Shifatis Shalat” karangan al-Kamali (hal. 14 dan selanjutnya)]
Namun ulama berbeda pendapat jika terdapat perbedaan antara niat imam dan makmum. Dan pendapat yang lebih benar adalah, bahwa tidak disyaratkan persamaan niat antara imam dan makmum. Yang ini merupakan madzhab Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm. [Mughni al-Muhtaj (1/502), al-Muhalla (4/223) dna Bidayatul Mujtahid (1/167)]
Dalil mereka adalah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Sesungguhnya segala perbuatan itu –tergantung– dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang akan diberi balasan sesuai dengan apa yang ia niatkan.”
Ibnu Hazm berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyatakan dengan redaksi yang jelas, bahwa setiap orang akan dibalas –berdasarkan– apa yang dia niatkan. Maka dapat dipastikan kebenarannya, bahwa seorang imam memiliki niatnya sendiri, dan makmum pun demikian, maka tidak ada keterikatan antara satu dengan yang lainnya”.
Sedangkan mengenai hadits,
“Sesungguhnya seorang imam itu dijadikan untuk diikuti (oleh makmumnya), maka janganlah kalian berbeda dari imam.”[Hadits Riwayat: Al-Bukhari (689), Muslim (411)]
Sesungguhnya maksud dari hadits tersebut yaitu, janganlah seorang makmum menyelisihi imam dari gerakan lahiriahnya di dalam shalat. Dengan dalil, redaksi selanjutnya dari hadits tersebut:
“Apabila Imam rukuk, maka rukuklah kalian. Dan apabila bangkit dari rukuk, maka bangkitlah dari rukuk. Dan apabila imam itu sujud, maka sujudlah kalian. Dan jika imam duduk, maka duduklah kalian.”
Dalam hadits di atas dan seluruh dalil-dalil yang membicarakan tentang perbedaan niat, tidak terdapat hubungannya mengenai perbedaan niat antara imam dan makmum. Dengan demikian hadits tersebut menunjukkan pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa shalat sunnah di belakang orang yang shalat fardhu hukumnya boleh, meskipun niat mereka berbeda –sebagaimana yang akan dibahas–. Wallahu a’lam.