Oleh: Farid Nu’man Hasan
Fatwapedia.com – Kita tahu, bahwa kaidah ibadah dalam Islam adalah ‘Setiap ibadah adalah terlarang kecuali yang ada contoh atau perintahnya dalam syariat.’ Sesuai hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Barangsiapa yang beramal dengan suatu perbuatan yang kami tidak pernah memerintahkannya maka ia tertolak.” (HR. Muslim) artinya ibadah yang mengada-ada yang tidak pernah dilakukan dan diperintahkan agama, walau dilakukan oleh orang shalih dan ulama berwibawa, tetaplah tertolak oleh menurut syariat Islam. Itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah neraka tempatnya. Maka seorang muslim harus menjaga dirinya agar tidak terjerumus ke dalamnya.
Namun sikap mudah membid’ahkan juga tidak dibenarkan oleh syariat. Seharusnya kita hati-hati dan jangan terburu-buru dalam menghindari bid’ah, atau dalam menuduh sesuatu itu bid’ah. Sebab sikap gampang menuduh adalah sikap gegabah dan bukanlah perilaku ulama yang mendalam ilmunya. Di antaranya sikap sebagian orang yang membid’ahkan qiyamullail berjamaah. Jangan sampai kita menilai ‘salah’ terhadap sesuatu lantaran semata-mata kita belum menemukan dalilnya. Tidak menemukan, bukan berarti tidak ada, sebab hal tersebut tergantung ketelitian, kecermatan, dan kesabaran masing-masing orang dalam menelusurinya.
Qiyamullail Berjamaah Dilakukan Oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan Kadang Dilakukan Para Sahabat
Ada beberapa adillatul syar’iyyah (dalil-dalil syar’i) tentang ini. Di antaranya:
1. Dari Abu Hurairah, dari Abu Said, bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa bangun malam dan membangunkan isterinya, lalu keduanya shalat dua rakaat dengan berjamaah (Shalla rak’ataini jami’an), ditetapkan pada malam itu termasuk orang-orang yang banyak berzikir kepada Allah” (HR. Abu Daud dan Al Hakim. Di shahihkan oleh Syaikh al Albany dalam Shahihul Jami’ no. 5906)
Hadits ini adalah petunjuk yang amat sharih (jelas) tentang masyru’(disyariatkan)-nya qiyamullail berjamaah. Wallahu A’lam
2. Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu pernah Qiyamullail berjamaah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata, “Aku pernah shalat bersama Rasulullah, beliau memanjangkan shalatnya sehingga aku menyangka yang tidak-tidak.” Ibnu Mas’ud ditanya, “Apa yang engkau pikirkan?” Aku jawab, “Aku berpikir untuk duduk dan meninggalkan baginda.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Hudzaifah bin Yaman radhiallahu ‘anhu pernah Qiyamullail berjamaah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dari Hudzaifah bin Yaman, ia berkata, “Pada suatu malam aku shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau memulai shalat dengan membaca surat Al Baqarah. Aku katakan, ‘Beliau ruku’ setelah membaca seratus ayat pertama, kemudian meneruskan hingga selesai.’ Aku katakan, ‘Beliau shalat dengan (membaca semua ayat itu) dalam satu rakaat, lalu melanjutkan!’ Aku katakan, ‘Setelah itu beliau ruku’ dengannya, kemudian shalat lagi membaca surat An Nisa, lalu Ali Imran. Dia membaca pelan-pelan, jika membaca ayat tasbih ia bertasbih, jika melewati ayat permohonan ia memohon, jika membaca ayat perlindungan ia berta’awudz. Kemudian ruku’ seraya berkata, ‘Subhana rabbiyal ‘azhim’, ruku’nya sama panjangnya dengan berdirinya, kemudian berkata, ‘Sami’ Allahu liman hamidah’, kemudian berdiri lama seperti lamanya ruku’. Kemudian bersujud seraya berkata, ‘Subhana rabbiyal a’la’ dan lamanya waktu sujud mendekati lamanya waktu berdiri.” (HR. Muslim)
4. Auf bin Malik al Asyja’i radhiallahu ‘anhu pernah qiyamullail bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Dari Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Pada suatu malam aku bangun (shalat malam) bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu beliau membaca Al Baqarah. Setiap kali melewati ayat-ayat rahmat beliau berhenti dan memohon, ketika membaca ayat-ayat azab beliau berhenti dan membaca ta’awudz”. Auf berkata, “Kemudian beliau ruku’ sepanjang waktu berdirinya. Di dalam ruku’nya beliau berkata, ‘Maha Suci Allah yang memiliki kekuasaan, kerajaan, kebesaran , dan keagungan.’ Kemudian ia bersujud sepanjang waktu dirinya, seraya berkata dalam sujudnya seperti itu. Kemudian beliau membaca surat Ali Imran, kemudian membaca surat demi surat.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh al Albany menghasankan dalam Misykat al Mashabih no. 882)
6. Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu pernah berjamaah Qiyamullail bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah shalat malam.” Ibnu Abbas berkata lagi, “Saya bangun dan berwudhu kemudian datang dan berdiri di sebelah kirinya. Lalu beliau menarikku dan meletakkanku di sebelah kanannya, lalu shalat 13 rakaat.” (HR. Ahmad. Syaikh Ahmad Syakir menshahihkannya, no. 2276)
Perhatikan baik-baik lima hadits ini. Semua menunjukkan tentang shalat malam berjamaah yang dilakukan para sahabat bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Pandangan Para Ulama Terkemuka
Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar, “Wahab meriwayatkan dari Malik bahwa dibolehkan seseorang bermakmum dalam shalat sunah. Adapun jika dia ingin menjadi terkenal, lalu manusia dikumpulkan di sekitarnya, maka tidak boleh.” (Ibnu Hajar, Shahihul Jami’, 5/590)
Hisyam bin Urwah berkata, “Saya pernah melihat Abdullah bin Zubeir menjadi imam shalat sunah di Masjidil Haram, di belakangnya terdapat pembesar fuqaha dan kemaslahatan. Mereka berpandangan bahwa hal itu baik.” (As Samarqandi, Mukhtashar Qiyamullail)
Imam Muhammad bin Nashr al Marwazi berkata, “Ditetapkan dari Rasulullah bahwa dia shalat sunah berjamaah diselesai bulan Ramadhan, baik siang ataupun malam. Hal itu juga dilakukan oleh sekelompok jamaah dari sahabat-sahabat sesudahnya.” (Ibid)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak dilarang mengerjakan shalat sunah dengan berjamaah seperti yang dilakukan oleh Rasulullah, tetapi tidak menjadikannya sebagai sunah rawatib, seperti seorang yang berdiam di mesjid untuk menjadi imam shalat sunah rawatib dengan manusia antara maghrib dan isya atau di tengah malam seperti shalat mereka pada shalat lima waktu.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, 13/112)
Dia juga berkata, “Shalat sunah berjamaah ada dua macam: Pertama. Shalat sunah yang memang disunahkan secara berjamaah seperti shalat kusuf, istisqa, dan qiyamuramadhan. Semua itu dikerjakan secara berjamaah sebagaimana yang tertera dalam nash. Kedua. Shalat sunah yang tidak disunahkan untuk dikerjakan secara berjamaah, seperti qiyamullail, sunah rawatib, dhuha, tahiyyatul masjid, dan sebagainya. Tetapi bila kadang-kadang dikerjakan secara berjamaah maka itu diperbolehkan. Ada pun bila dilakukan selalu dengan berjamaah, maka hal itu tidak disyariatkan.” (Ibid, 3/412)
Demikian pandangan para ulama tentang hukum dan kedudukan shalat Sunnah atau qiyamullail berjamaah beserta dalil rujukannya.
Kesimpulan
- Shalat Qiyamullail berjamaah adalah masyru’ (disyariatkan) sebagaimana nash-nash yang ada.
- Tetapi Qiyamullail berjamaah dilakukan kadang-kadang saja, bila selalu dengan berjamaah, maka itu tidak dibenarkan syariat (bid’ah).
- Qiyamullail berjamaah tidak ditentukan waktunya secara khusus, misal mengkhususkannya pada malam jum’at saja, atau pada malam tahun baru saja dan menganggapnya ada keutamaan khusus padanya, jika dikhususkan waktunya seperti itu dikhawatirkan ia jatuh pada bid’ah idhafiyah. Medio tahun 90-an Lembaga Kajian Fiqih Al Khairat yang diketuai oleh Ustadz Dr. Salim Seggaf al Jufri –hafizhahullah– pernah mengeluarkan keputusan tentang bid’ahnya Qiyamullail pada malam tahun baru -jika hanya dikhususkan-.
- Bagaimanapun juga, Qiyamullail lebih utama dilakukan secara munfarid (sendiri).
Demikian apa yang dapat kami paparkan mengenai masalah shalat tahajud atau qiyamullail berjamaah menurut pendapat para ulama dan argumentasinya. Semoga artikel ini bermanfaat. Wallahu A’lam.