Oleh: Muhammad Ode Wahyu
Fatwapedia.com – Imam al-Hafizh Imad ad-Din Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir –rahimahullah- telah memiliki tempat di hati-hati kaum muslimin. Karya-karya agungnya dengan sejuta faidah telah dirasakan manfaatnya oleh mereka. Salah satu kitab fenoemenal yang terlahir dari tangan beliau adalah kitab Tafsir al-Qur’an al-Azhim yang juga lebih dikenal dengan nama Tafsir Ibnu Katsir. Tafsir ini dianggap sebagai salah satu tafsir yang paling baik oleh para ulama, karena menggunakan metode yang paling baik dalam penulisannya, yaitu tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, tafsir al-Qur’an dengan hadits Nabi dan tafsir al-Qur’an dengan perkataan para sahabat. Kelebihan lainnya dari kitab ini adalah hadits-hadits yang disebutkan di dalamnya disebutkan dengan penjelasan tingkat kesahihan haditsya, serta menguraikan beberapa jalur hadits tersebut.
Tafsir Ibnu Katsir juga diyakini oleh para ulama sebagai salah satu tafsir yang mewakili atau menjelaskan keyakinan Ahlussunnah waljama’ah, yaitu keyakinan para pengikut salaf ash-Shalih. Hal itu, memang diutarakan sendiri oleh imam Ibnu Katsir –rahimahullah- dalam kitab tersebut, ketika menjelaskan firman Allah -Azza wajalla- dalam surah al-A’raf ayat 54. Beliau berkata:
وَأَمَّا قَوْلُهُ تَعَالَى: {ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ} فَلِلنَّاسِ فِي هَذَا الْمَقَامِ مَقَالَاتٌ كَثِيرَةٌ جِدًّا، لَيْسَ هَذَا مَوْضِعَ بَسْطِهَا، وَإِنَّمَا يُسلك فِي هَذَا الْمَقَامِ مَذْهَبُ السَّلَفِ الصَّالِحِ: مَالِكٌ، وَالْأَوْزَاعِيُّ، والثوري، وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ، وَالشَّافِعِيُّ، وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ وَغَيْرُهُمْ، مِنْ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ قَدِيمًا وَحَدِيثًا، وَهُوَ إِمْرَارُهَا كَمَا جَاءَتْ مِنْ غَيْرِ تَكْيِيفٍ وَلَا تَشْبِيهٍ وَلَا تَعْطِيلٍ. وَالظَّاهِرُ الْمُتَبَادَرُ إِلَى أَذْهَانِ الْمُشَبِّهِينَ مَنْفِيٌّ عَنِ اللَّهِ، فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُشْبِهُهُ شَيْءٌ مِنْ خَلْقِهِ، وَ {لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ} [الشُّورَى:11] بَلِ الْأَمْرُ كَمَا قَالَ الْأَئِمَّةُ -مِنْهُمْ نُعَيْم بْنُ حَمَّادٍ الْخُزَاعِيُّ شَيْخُ الْبُخَارِيِّ -: “مَنْ شَبَّهَ اللَّهَ بِخَلْقِهِ فَقَدْ كَفَرَ، وَمَنْ جَحَدَ مَا وَصَفَ اللَّهُ بِهِ نَفْسَهُ فَقَدْ كَفَرَ”. وَلَيْسَ فِيمَا وَصَفَ اللَّهُ بِهِ نَفْسَهُ وَلَا رَسُولَهُ تَشْبِيهٌ، فَمَنْ أَثْبَتَ لِلَّهِ تَعَالَى مَا وَرَدَتْ بِهِ الْآيَاتُ الصَّرِيحَةُ وَالْأَخْبَارُ الصَّحِيحَةُ، عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي يَلِيقُ بِجَلَالِ اللَّهِ تَعَالَى، وَنَفَى عَنِ اللَّهِ تَعَالَى النَّقَائِصَ، فَقَدْ سَلَكَ سَبِيلَ الْهُدَى
“Adapun firman Allah “Kemudian Dia bersemayam di atas Arsy” maka para ulama memiliki banyak pendapat dalam masalah ini. Kami tidak menyebutkan di sini sebagai perinciannya. Hanya saja pada perkara ini kami meniti jalannya para salaf yang ditempuh oleh ulama mazhab salaf seperti Imam Malik, Imam al-Auza’I, Imam ats-Tsauri, Imam al-Laits bin Sa’ad, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Ishak bin Rahuyah dan selain mereka dari para imam kaum muslimin yang dulu maupun sekarang, yaitu membiarkannya sebagaimana apa adanya, sebagaimana ia datang tanpa memberikan gambaran terhadap sifat itu, tanpa penyerupaan dengan makhluk, dan tanpa ta’thil (menafikan makna sifat itu). Zahir yang dipahami oleh para musyabbih (kelompok yang menyerupakan Allah dengan makhluk) ternafikan dari Allah, karena Allah tidak sama dengan makhluk, sebagaimana firmanNya “Allah tidak sama dengan sesuatu apapun dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.”
Justru untuk memahami hal ini adalah seperti yang disebutkan oleh para ulama, diantaranya adalah Na’im bin Hammad al-Khuza’i -rahimahullah- yang merupakan guru dari Imam al-Bukhari –rahimahullah-: “Barangsiapa menyerupakan Allah dengan makhluk maka dia kafir. Dan barangsiapa pula yang ingkar terhadap apa yang Allah sifatkan untuk diriNya sendiri maka dia juga kafir. Apa yang Allah sifatkan untuk diriNya sendiri dan apa yang disifatkan oleh Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang Allah bukanlah penyerupaan Allah dengan makhluk. Barangsiapa mengitsbat (menetapkan) sifat Allah berdasarkan ayat yang jelas dan hadits-hadits yang sahih, sesuai dengan keagungan Allah dan menafikan pada Allah sifat-sifat yang kurang, maka sungguh ia telah menempuh jalan hidayah.” (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Jilid 2, hal. 202-203, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, Cet 3, 1433 H)
Perkataan imam Ibnu Katsir -rahimahullah- di sini sangat jelas dan tegas bahwa beliau meyakini ayat-ayat sifat sebagaimana keyakinan para salaf ash-Shalih yaitu mengitsbat/menetapkan sifat-sifat Allah –Azza wajalla- dan memahaminya sebagaimana ia datang tanpa menyerupakannya dengan makhluk, tanpa menakwil dan tanpa mentafwidnya.
Namun, sebagian pengikut kelompok Asy’ari justru mengklaim bahwa perkataan imam al-Hafizh Ibnu Katsir –rahimahullah- diatas merupakan bukti kalai beliau melakukan tafwidh pada tafsirnya. Alasan mereka bahwa Ibnu Katsir -rahimahullah- melakukan tafwidh adalah karena imam Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata: “Membiarkannya sebagaimana apa adanya, sebagaimana ia datang tanpa memberikan gambaran terhadap sifat itu, tanpa penyerupaan dengan makhluk, dan tanpa ta’thil. Zahir yang dipahami oleh para musyabbih (yang menyerupakan Allah dengan makhluk) ternafikan dari Allah, karena Allah tidak sama dengan makhluk”.
Mereka tidak memahami kalau kalimat itu hakikatnya justru menunjukkan bahwa beliau mengitsbat (menetapkan) sifat-sifat Allah dengan memahami maknanya namun tidak mengetahui kaifiyahnya dan tanpa menyerupakan Allah dengan makhlukNya. Oleh karenanya, untuk memperjelas maksud perkataannya, beliau menyebutkan bahwa apa yang beliau yakini sejalan dengan keyakinan para imam dan ulama-ulama sunnah yang diakui keilmuannya, seperti imam Ahmad –rahimahullah-, Imam Malik –rahimahullah-, imam al-Auza’i –rahimahullah- dan lainnya. Akidah mereka semua adalah akidah para salaf yaitu mengitsbat (menetapkan) sifat Allah secara hakikat dan memahami maknanya, namun tidak mengetahui ilmu/kaifiyahnya (bentuk atau tata caranya).
Imam al-Qurthubi –rahimahullah- berkata:
ولم ينكر أحد من السلف الصالح أنه استوى على عرشه حقيقة . وخص العرش بذلك لأنه أعظم مخلوقاته ، وإنما جهلوا كيفية الاستواء فإنه لا تعلم حقيقته . قال مالك رحمه الله : الاستواء معلوم – يعني في اللغة – والكيف مجهول ، والسؤال عن هذا بدعة . وكذا قالت أم سلمة رضي الله عنها . وهذا القدر كاف ، ومن أراد زيادة عليه فليقف عليه في موضعه من كتب العلماء . والاستواء في كلام العرب هو العلو والاستقرار
“Tidak ada seorangpun dari para salaf yang mengingkari bahwa Allah beristiwa (bersemayam) di atas ArsyNya secara hakikat. Allah mengkhususkan ArsyNya karena ia merupakan makhlukNya yang paling agung. Hanya saja, mereka tidak tahu bagaimana kaifiyah bersemayam itu, sehingga tidak mengetahui hakikat bentuknya seperti apa. Imam Malik berkata, “Istiwa (bersemayam) itu sesuatu yang telah diketahui -yaitu dari sisi bahasa- tapi kaifiyahnya (tata caranya) tidak diketahui, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Demikianlah perkataan Ummu Salamah -radhiyallahu ‘anha-. Ini sudah cukup, dan siapa yang ingin penjelasan lebih silahkan ia kembali pada buku-buku ulama. Dalam bahasa Arab, Istiwa itu bermakna tinggi dan istiqrar (menetap). (al-Qurthubi, al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, Tahqiq Dr. Hamid Ahmad ath-Thahir, Jilid 4, Juz 7, hal. 151, Daar al-Ghad al-Jadid-Kairo, cet. 1, 1431 H.)
Perkataan imam al-Qurthubi -rahimahullah- ini sejalan dengan perkataan imam al-Baghawi –rahimahullah-. Beliau berkata:
وأوّلت المعتزلة الاستواء بالاستيلاء . فأمّا أهل السنة يقولون: الِاسْتِوَاءُ عَلَى الْعَرْشِ صِفَةٌ لِلَّهِ تَعَالَى بِلَا كَيْفٍ يَجِبُ عَلَى الرَّجُلِ الْإِيمَانُ بِهِ وَيَكِلُ الْعِلْمَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. وَسَأَلَ رَجُلٌ مَالِكَ بْنَ أَنَسٍ عَنْ قَوْلِهِ: الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى (5) ، كَيْفَ اسْتَوَى؟ فَأَطْرَقَ رَأْسَهُ مَلِيًّا وَعَلَاهُ الرُّحَضَاءُ ثُمَّ قَالَ: الِاسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُولٍ، وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُولٍ، وَالْإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ، وَمَا أَظُنُّكَ إِلَّا ضَالًّا، ثُمَّ أَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ. وَرُوِيَ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَالْأَوْزَاعِيِّ وَاللَّيْثِ بْنِ سَعْدٍ وَسُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ وَغَيْرِهِمْ مِنْ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ فِي هَذِهِ الْآيَاتِ الَّتِي جَاءَتْ فِي الصِّفَاتِ المتشابهات: أَمِرُّوهَا كَمَا جَاءَتْ بِلَا كَيْفٍ
“Kelompok Muktazilah menakwil kata istiwa itu menjadi istiila (menguasai). Adapun Ahlussunnah meyakini bahwa istiwa (bersemayam) itu merupakan sifat Allah –Ta’ala- tanpa kaif (mempertanyakan bagaimana cara atau bentuknya), akan tetapi wajib untuk beriman dengannya namun menyerahkan ilmunya kepada Allah -Azza wajalla-. Seseorang pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas –rahimahullah- tentang firman Allah “Ar-Rahman beristiwa (bersemayam) di atas arsy,” bagaimanakah Allah beristiwa? Maka Imam Malik menundukkan kepalanya dalam waktu yang lama dengan keringat yang bercucuran. Lalu beliau berkata, “Istiwa bukanlah sesuatu yang tidak diketahui, namun bagaimana tata caranya tidak diketahui. Adapun beriman terhadapnya merupakan satu kewajiban, sedangkan bertanya tentangnya merupakan bid’ah, saya tidak mengiramu kecuali engkau adalah orang sesat,” lalu laki-laki itupun dikeluarkan dari majelis. Diriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri, al-Auza’i, al-Laits bin Sa’ad, Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin al-Mubarak dan lainnya dari kalangan ulama sunnah pada ayat-ayat yang datang dengan sifat yang mutasyabihat, bahwa mereka berkata, “Biarkan ia sebagaimana ia datang tanpa kaif (mempertanyakan bentuknya).” (al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, Muraja’ah Dr. Rais asy-Syami, Jilid 1, hal. 533, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet. 1443 H.)
Imam al-Qurthubi dan imam al-Baghawi –rahimahumallah- sangat jelas menjelaskan bahwa keyakinan para salaf menetapkan dan memahami makna dari ayat sifat Allah tanpa melakukan tafwidh. Oleh karena itulah, mereka menukilkan perkataan Imam Malik -rahimahullah- ketika ditanyakan tentang bagaimana istiwa Allah? Beliau lantas menjawab, “Istiwa itu bukanlah sesuatu yang tidak diketahui.” Dalam nukilan imam al-Qurthubi disebutkan, “Istiwa itu adalah sesuatu yang telah diketahui maknanya –dalam bahasa-.” Ini menunjukkan bahwa keyakinan para salaf adalah menetapkan sifat secara hakikatnya dan maknanya diketahui. Adapun bentuk tata caranya tidak diketahui dan tidak boleh disamakan antara sifat Allah dengan sifat makhlukNya. Inilah maksud perkataan imam Ibnu Katsir rahimahullah : “Zahir yang dipahami oleh para musyabbih (yang menyerupakan Allah dengan makhluk) ternafikan dari Allah, karena Allah tidak sama dengan makhluk”.
Mengenai perkataan imam Ibnu Katsir -rahimahullah-, “Membiarkannya sebagaimana apa adanya, sebagaimana ia datang tanpa memberikan gambaran terhadap sifat itu”, itu merupakan perkataan imam Ahmad -rahimahullah- dan ulama lainnya yang telah kami jelaskan disini: https://web.facebook.com/search/top/?q=Tanggapan%20Syubhat%20kedua.
Ringkasnya, perkataan itu bukanlah kalimat yang bermakna untuk melakukan tafwidh, melainkan anjuran untuk membiarkan kata tersebut sesuai maknanya yang zahir yang diketahui dan dipahami oleh orang Arab, tanpa menyerupakan Allah dengan makhluk, sebagaimana yang kami jelaskan di atas dengan hujjah perkataan imam Malik tersebut.
Makanya, ketika Imam Ahmad -rahimahullah- telah menyebutkan ayat-ayat tentang kalam Allah -Azza wajalla- dalam kitab Rad ‘ala az-Zanadiqahnya beliau berkata:
فهذا منصوص بلسان عربي مبين لا يحتاج إلى تفسير هو بين بحمد الله
“Ini telah ditetapkan dengan bahasa Arab yang sangat jelas yang tidak perlu lagi ditafsirkan. Ini jelas, segala puji bagi allah.” (Ahmad bin Hambal, ar-Rad ‘Ala az-Zanadiqah wa al-Jahmiyah, Tahqiq Abu Fihr Ahmad bin Muhammad Saif, hal. 202, Daar Ibni Abbas-Mesir, cet.1, 1442 H.)
Mengomentari perkataan Imam Ahmad –rahimahullah- tersebut, Imam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata:
يَعْنِي أَنَّ بَيَانَ اللَّهِ مِمَّا ذَكَرَهُ مِنْ كَلَامِهِ وَأَنَّ كَلَامَهُ هُوَ بَيِّنٌ لِكُلِّ أَحَدٍ لَيْسَ مِنْ الْخَفِيِّ وَلَا مِنْ الْمُتَشَابِهِ الَّذِي يَحْتَاجُ إلَى تَفْسِيرِ الْجَهْمِيِّ
“Maksudnya adalah bahwa penjelasan Allah –Azza wajalla- dari kalamNya sudah sangat jelas bagi setiap orang. Bukanlah sesuatu yang tersembunyi dan bukan pula mutasyabih yang butuh tafsir orang-orang Jahmiyah.” (Ibnu Taimiyah, Al-Fatawa al-Kubra, jilid 6, hal. 454, Maktbah Syamilah)
Imam adz-Dzahabi -rahimahullah- ketika mengomentari perkataan imam Malik –rahimahullah-, Ummu Salamah –radhiyallahu ‘anha- Wahab bin Mubbih –rahimahullah- dan Rabi’ah ar-Ra’yi –rahimahullah- tentang istiwanya Allah –Azza wajalla- beliau berkata:
فانظر إليهم كيف أثبتوا الاستواء لله وأخبروا أنه معلوم لا يحتاج لفظه إلى تفسير ونفوا الكيفية عنه وأخبروا أنها مجهولة
“Lihatlah kepada mereka, bagaimana mereka mengitsbat sifat istiwa (bersemayam) untuk Allah. Mereka mengabarkan bahwa sifat itu maknanya sudah diketahui sehingga tidak butuh lagi terhadap tafsir. Namun mereka menafikan kaifiyahnya dan mengabarkan bahwa hal itu merupakan sesuatu yang tidak diketahui.” Adz-Dzahabi, Kitab al-Arsy, Tahqiq Dr. Muhammad Khalifah at-Tamimi, jilid 2, hal. 184, Adhwa a-Salaf-Riyadh, cet. 1, 1420 H.)
Justru, meyakini bahwa firman Allah –Jalla wa ‘ala- yang menjelaskan tentang sifatNya seperti istiwanya di atas Arsy harus dipahami tidak sesuai makna zahirnya yang diketahui oleh orang Arab, maka itu adalah keyakinan Jahmiyah. Imam al-Bukhari –rahimahullah- menegaskan hal itu dalam kitab Khalqu Af’al Ibadnya dengan menukil perkataanYazid bin Harun -rahimahullah- yang berkata:
من زعم أن الرحمن على العرش استوى على خلاف ما يقر في قلوب العامة فهو جهمي
“Barangsiapa berkata bahwa Allah di atas Arsy beristiwa tidak sesuai dengan yang dipahami oleh orang umumnya manusia, maka ia adalah seorang Jahmi.” (al-Bukhari, Khalqu Af’al al-Ibad, Tahqiq Fahd bin Sulaiman al-Fahid, hal. 540, Maktabah al-Malik Fahd Atsnaa an-Nasyr-Riyadh, cet.4, 1440 H.)
Akidah Imam al-Auza’i -rahimahullah- juga demikian. Sebagaimana dinukil oleh imam adz-Dzahabi -rahimahullah- dalam kitab “al-Arsy” ketika beliau menukilkan perkataan sejumlah ulama yang meyakini bahwa Allah di atas langit dengan dzatNya. Salah satu dari sekian banyak perkataan ulama itu adalah perkataan imam al-Auza’i –rahimahullah- yang berkata, “Kami dan para tabi’in sangat banyak jumlahnya, berkeyakinan bahwa Allah Fauqa Arsyihi/di atas arsyNya kami beriman terhadap apa yang datang dari sunnah berupa sifat-sifat Allah –Ta’ala-.” (Adz-Dzahabi, Kitab al-Arsy, Tahqiq Dr. Muhammad Khalifah at-Tamimi, jilid 2, hal. 176, Adhwa a-Salaf-Riyadh, cet. 1, 1420 H.)
Apa yang dilakukan oleh imam al-Auza’i –rahimahullah- tidak mentafwidh dan tidak pula menakwil ayat sifat Allah. Inilah yang menjadi pendalilan imam Ibnu Katsir –rahimahullah- ketika menjelaskan sikapnya di atas.
Demikian pula dengan akidah Imam Ishak bin Rahuyah -rahimahullah-. akidah beliau juga mengitsbat sifat dengan memahami maknanya tanpa menyerupakannya dengan makhluk. Oleh karenanya, saat imam ash-Shabuni –rahimahullah- menjelaskan keyakinan para Salaf tentang sifat turun Allah ke langit dunia, sifat di atas dan sifat datangnya Allah –Azza wajalla- ke langit dunia, beliau menukil riwayat tentang dialog Imam Ishak bin Rahuyah –rahimahullah- dengan Amir Abdullah bin Thahir untuk menegaskan bahwa ahli hadits mengitsbat sifat Allah dan memahaminya secara zahir lalu menyerahkan ilmu/kaifiyahnya kepada Allah. Dalam nukilan tersebut Imam Ishak bin Rahuyah –rahimahullah- ditanya, “Apakah engkau meyakini bahwa Allah –Azza wajalla- turun ke langit duia tiap malam?” beliau berkata, “Ya.” Beliau kembali ditanya, “Bagaimana Allah –Azza wajalla- turun?” beliau berkata, “Tetapkan dulu bahwa Allah di atas agar saya jelaskan padamu sifat turun.” Orang itu berkata, “Saya telah tetapkan bahwa Allah –Azza wajalla- di atas.” Maka Imam Ishak bin Rahuyah membaca firman Allah -Azza wajalla-, “Dan Tuhanmu datang sedang para malaikat bershaf-shaf.” Al-Amir berkata, “Wahai Abu Ya’qub, itu teradi hari kiamat.” Imam Ishak bin Rahuyah –rahimahullah- berkata, “Siapa yang datang pada hari kiamat dan siapa yang melarangNya untuk datang pada hari ini? (Abu Utsman Ismail bin Abdurrahman ash-Shabuni, Aqidah Salaf Wa Ashabul Hadits, Tahqiq Dr. Nashir bin Abdurrahman al-Jadi’, hal. 197-198, Daar al-Ashimah-Riyahd, cet 2, 1419 H)
Maka dimana letak pendalilan kelompok Asya’irah terhadap perkataan imam Ibnu Katsir -rahimahullah- di atas? Sungguh, apa yang mereka lakukan hanya mengada-ada saja.
Intinya, perkataan Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- tersebut adalah perkataan yang menunjukkan itsbat terhadap sifat-sifat Allah secara hakikat, sebagaimana yang beliau katakan sendiri, “Barangsiapa mengitsbat (menetapkan) sifat Allah berdasarkan ayat yang jelas dan hadits-hadits yang sahih, sesuai dengan keagungan Allah dan menafikan pada Allah sifat-sifat yang kurang, maka sungguh ia telah menempuh jalan hidayah.”
Sebagian orang juga menganggap bahwa beliau menakwil sifat-sifat Allah -Azza wajalla- . Padahal, kenyataannya tidak demikian. Sebagaimana perkataan yang telah beliau utarakan, bahwa beliau mengistbat sifat-sifat Allah -Azza wajalla-.
Diantara hujjah mereka bahwa Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- melakukan takwil dalam kitab tafsirnya, adalah beliau manafsirkan beberapa sifat Allah tidak dengan makna sifat secara hakikat, tapi dengan makna yang lain. misalnya wajah, tangan dan dekat.
Ketika menjelaskan firman Allah -Azza wajalla-:
كُلُّ شَيۡءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجۡهَهُ
“Semua akan binasa kecuali Allah.” (QS. Al-Qashash: 88)
Imam Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata:
إخبار بأنه الدائم الباقي الحي القيوم الذي تموت الخلائق ولا يموت
“Ini merupakan pengabaran bahwa Allah akan kekal dan senantiasa hidup, sementara para makhluk akan mati dan Dia tidak akan pernah mati.” .” (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Jilid 3, hal. 361, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, Cet 3, 1433 H)
Kata mereka, ini sangat jelas bahwa beliau telah menakwil ayat sifat. Sebab, beliau tidak mengatakan hanya wajahnya yang tidak binasa, akan tetapi Allah –Azza wajalla- lah yang tidak akan binasa. Mereka tidak memahami bahwa sebenarnya apa yang dilakukan oleh Ibnu Katsir -rahimahullah- pada ayat itu sedang menjelaskan kandungan makna ayat dan tidak bermaksud menakwil sebagaimana yang mereka yakini.
Yang seperti ini tidak disebut takwil oleh para ulama, akan tetapi disebut sebagai tafsir. Sebab yang dilakukan oleh imam Ibnu Katsir –rahimahullah- memang menjelskan makna ayat secara hakikat yang dipahami oleh orang Arab.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- guru dari imam Ibnu Katsir –rahimahullah- ketika menjelaskan perkataan Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhu- pada firman Allah –Azza wajalla-:
يَوۡمَ يُكۡشَفُ عَن سَاقٖ
“Pada hari betis disingkapkan.” (QS. Al-Qalam: 42)
Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhu- berkata bahwa makna ayat ini adalah asy-Syiddah yaitu hari yang sulit. Imam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- kemudian berkata:
وَلَا ريب أَن ظَاهر الْقُرْآن لا يدل على أَن هَذِه من الصِّفَات، فَإِنَّهُ قَالَ {يَوْم يكْشف عَن سَاق} نكرَة فِي الْإِثْبَات لم يضفها إِلَى الله وَلم يقل عَن سَاقه فَمَعَ عدم التَّعْرِيف بِالْإِضَافَة لَا يظْهر أَنه من الصِّفَات إِلَّا بِدَلِيل آخر وَمثل هَذَا لَيْسَ بِتَأْوِيل إِنَّمَا التَّأْوِيل صرف الْآيَة عَن مدلولها ومفهومها وَمَعْنَاهَا الْمَعْرُوف وَلَكِن كثيرا من هَؤُلَاءِ يجْعَلُونَ اللَّفْظ على مَا لَيْسَ مدلولا لَهُ ثمَّ يُرِيدُونَ صرفه عَنهُ ويجعلون هَذَا تَأْوِيلا وَهَذَا خطأ
“Tidak diragukan lagi bahwa zahir dari ayat al-Qur’an ini tidak menunjukkan sifat sebagai maksudnya. Sebab Allah -Azza wajalla- berfirman “Pada hari betis disingkapkan” berbentuk nakirah dalam menetapkannya dan tidak menyandarkannya pada Allah –Azza wajalla- dan Allah juga tidak menyebutkan sebagai betisNya. Sehingga karena tidak adanya pengidhafahan yang bisa menjelsakannya, maka tidak tampak pada ayat itu sebagai penjelasan sifat, kecuali ditunjukkan oleh dalil yang lain. Dan yang seperti ini bukanlah takwil. Sebab yang dimaksud dengan takwil adalah memalingkan makna ayat dari apa yang dipahami dan ditunjukkan olehnya.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’at al-Fatawa, Tahqiq Farid Abdul Aziz al-Jundi dan Asyraf Jalaluddin asy-Syarqawi, Jilid 3, hal. 586, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet, 1435 H.)
Makanya, dalam ayat yang lain Imam Ibnu Katsir –rahiamhullah- tidak menafikan adanya wajah Allah -Azza wajalla-.
Misalnya pada firman Allah -Azza wajalla-:
لِّلَّذِينَ أَحۡسَنُواْ ٱلۡحُسۡنَىٰ وَزِيَادَةٞۖ وَلَا يَرۡهَقُ وُجُوهَهُمۡ قَتَرٞ وَلَا ذِلَّةٌۚ أُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلۡجَنَّةِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Yunus: 26)
Imam Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata:
وَقَوْلُهُ: {وَزِيَادَة} هِيَ تَضْعِيفُ ثَوَابِ الْأَعْمَالِ بِالْحَسَنَةِ عَشْرَ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ، وَزِيَادَةٌ عَلَى ذَلِكَ أَيْضًا وَيَشْمَلُ مَا يُعْطِيهِمُ اللَّهُ فِي الْجِنَانِ مِنَ القُصُور والحُور وَالرِّضَا عَنْهُمْ، وَمَا أَخْفَاهُ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ، وَأَفْضَلُ مِنْ ذَلِكَ وَأَعْلَاهُ النظرُ إِلَى وَجْهِهِ الْكَرِيمِ
“Firman Allah “Dan tambahannya” yaitu penggandaan balasan perbuatan dengan kebaikan sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat. Dan tambahan dari hal itu juga adalah apa yang Allah berikan di dalam surga berupa istana-istana, bidadari, keridhaan kepada mereka serta apa yang Allah simpankan untuk mereka berupa balasan yang menyejukkan mata. Dan, yang paling utama dan paling agung dari semua itu adalah melihat wajah Allah yang mulia.” (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Jilid 2, hal. 375, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, Cet 3, 1433 H)
Di sini tegas imam Ibnu Katsir rahimahullah mengitsbat wajah Allah –Azza wajalla-. Contoh lain, pada firman Allah Azza wajalla:
وَيَبۡقَىٰ وَجۡهُ رَبِّكَ ذُو ٱلۡجَلَٰلِ وَٱلۡإِكۡرَامِ
“Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman: 27)
Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata:
وَقَدْ نَعَتَ تَعَالَى وَجْهَهُ الْكَرِيمَ فِي هَذِهِ الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ بِأَنَّهُ {ذُو الْجَلالِ وَالإكْرَامِ} أَيْ: هُوَ أَهْلٌ أَنْ يُجَلَّ فَلَا يُعْصَى، وَأَنْ يُطَاعَ فَلَا يُخَالَفُ
“Allah –Azza wajalla- menyifati WajahNya (Dzat diriNya) pada ayat yang mulia ini dengan “Yang memiliki keagungan dan kemuliaan”. Maksudnya, Allah sangat pantas untuk dimuliakan dan tidak boleh berbuat maksiat kepadaNya, Dia harus ditaati dan tidak boleh ditentang.” (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Jilid 4, hal. 235, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, Cet 3, 1433 H)
Di sini Ibnu Katsir -rahimahullah- kembali mengistbat wajah Allah –Azza wajalla- dan menyifatinya dengan Dzat yang memiliki keagungan.
Syaikh Abdul Akhir al-Ghanimi –hafizhahullah- berkata: “Perhatikanlah sikap Ibnu Katsir –rahimahullah- pada (dua ayat di atas). Pada ayat yang pertama beliau menetapkan wajah Allah –Azza wajalla- yang akan dilihat oleh seluruh kaum muslimin pada hari kiamat, dan pada ayat yang kedua beliau menetapkan sifat dzat wajah Allah yang sesuai dengan keagunganNya. Sebab tidak mungkin menyifatkan sesuatu, kecuali sesuatu itu ada secara hakikatnya.” (Abdul Akhir al-Ghanimi, Aqidah al-Hafizh Ibni Katsir Baina at-Tafwidh wa at-Ta’wil, hal. 82, Daar al-Akhilla-Damam, Cet. 1, 1415 H.)
Seperti ini kita akan dapatkan ketika beliau menjelaskan ayat-ayat yang lain, misalanya saat menjelaskan tangan Allah dan lainnya. Beliau telah tegaskan sikapnya pada penjelasan surah al-A’raf ayat 54 yaitu mengitsbat sifat Allah tanpa menyerupakan Allah dengan makhlukNya, sebagaimana yang telah kami terangkan di atas.
Ini merupakan keyakinan ulama sejak zaman dahulu, keyakinan para salaf ash-Shalih di berbagai negri. Imamnya para imam (gelar ini disebutkan pula oleh imam an-Nawawi -rahimahullah-) Abu Bakar Muhammad bin Ishak bin Khuzaimah -rahimahullah- berkata:
فنحن وجميع علمائنا من أهل الحجاز وتهامة واليمن والعراق والشام ومصر مذهبنا أنا نثبت لله ما اثبته الله لنفسه نقر بذلك بألسنتنا ونصدق ذلك بقلبنا من غير أن نشبه وجه خالقنا بوجه احد من المخلوقين عز ربنا عن أن يشبه من المخلوقين وجل ربنا عن مقالة المعطلين وعز أن يكون عدما كما قاله المبطلون لان مالا صفة له عدم تعالى الله عما يقول الجهميون الذين ينكرون صفات خالقنا الذي وصف بها نفسه
“Kami dan seluruh ulama kami dari negri Hijaz, Tihamah, Yaman, Iraq, Syam dan Mesir, mazhab kami yaitu mengitsbat/menetapkan untuk Allah sebagaimana yang Allah tetapkan untuk diriNya sendiri. Kami menetapkan itu dengan lisan kami dan membenarkannya dengan hati, tanpa menyerupakan wajah Allah dengan wajah salah satu dari makhluk. Sungguh Maha Mulia Allah dari penyerupaan terhadap makhluk. Maha Mulia Allah dari perkataan orang-orang yang merusak maknanya dan Maha Mulia Allah dari ketiadaan sebagaimana keyakinan para penafi sifat. Sebab, apa yang tidak memiliki sifat merupakan ketiadaan. Maha Tinggi Allah dari apa yang dikatakan orang-orang Jahmiyah yang mengingkari sifat-sifat Sang Pencipta, yang telah Allah sifatkan untuk diriNya sendiri.” (Ibnu Khuzaimah, Kitab at-Tauhid Wa itsbaat ash-Shifaat Azza wajalla, Tahqiq Dr. Abdul Aziz bin Ibrahim asy-Syahwan, Jilid 1, hal 26, Maktabah ar-Rusyd-Riyadh, cet 9, 1437 H).
Semoga Allah –Azza wajalla- tunjukan pada kita semua jalan yang hidayah dan mewafatkan kita semua di atasnya. Aamiin.