Oleh : Muhammad Atim
Fatwapedia.com – Dengan membaca kitab Ar-Rad Al-Wafir ‘ala man za’ama bianna man samma Ibna Taimiyyah Syaikh al-Islam Kafir (Bantahan yang cukup terhadap orang yang menyangka bahwa orang yang menggelari Ibnu Taimiyyah dengan syaikhul Islam adalah kafir) karya Ibnu Nashiruddin Ad-Dimasyqi (w.842 H) disertai dengan taqrizh para ulama yang mengomentari kitab tersebut, sebenarnya sudah cukup untuk mengetahui kebesaran dan ketinggian ilmu Ibnu Taimiyyah, dan terbebasnya beliau dari tuduhan aqidah tajsim sebagaimana dituduhkan oleh sebagian orang.
Namun, entah karena hatinya tertutup oleh rasa kebencian yang mendarah daging, atau karena tidak mau tahu karena sebenarnya yang mereka cari bukan kebenaran, mereka belum bisa mencerna pembelaan para ulama tersebut. Untuk itu, perlu kiranya saya tuangkan kembali poin-poin inti pembelaan para ulama terhadap Ibnu Taimiyyah, dan bantahan atas tuduhan aqidah tajsim terhadap beliau.
Apakah Ibnu Taimiyyah itu mujassim? Biarlah para ulama yang menjawabnya :
1. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H) berkata :
وَهَذِهِ تَصَانِيْفُهُ طَافِحَةٌ بِالرَّدِّ عَلَى مَنْ يَقُوْلُ بِالتَّجْسِيْمِ وَالتَّبَرُّؤِ مِنْهُ
“Dan inilah karya-karyanya (Ibnu Taimiyyah) penuh dengan bantahan terhadap orang yang berpemahaman tajsim. Dan beliau (Ibnu Taimiyah) berlepas diri darinya.”
(Taqrizh Ibn Hajar terhadap kitab al-Radd al-Wafir, dimuat oleh As-Sakhowi, murid langsung Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam kitab Al-Jawahir wad Durar fi Tarjamah Syaikhil Islam Ibni Hajar, hal.735, dimuat pula diakhir kitab Ar-Rad Al-Wafir tahqiq: Zuhair Asy-Syawisy, hal. 247).
2. Al-Hafizh Badruddin al-‘Aini al-Hanafi (w. 855 H) berkata :
وَهَذَا الْإِمَامُ كَمَا رَأَيْتَ عَقِيْدَتَهُ وَكَاشَفْتَ سَرِيْرَتَهُ، فَمَنْ كَانَ عَلَى هَذِهِ الْعَقِيْدَةِ كَيْفَ يُنْسَبُ إِلَيْهِ الْحُلُوْلُ وَالْإِتِّحَادُ أَوِ التَّجْسِيْمُ أَوْ مَا يَذْهَبُ إِلَيْهِ أَهْلُ الْإِلْحَادِ ؟
“Dan sang Imam ini (Ibnu Taimiyyah) adalah sebagaimana engkau telah lihat akidahnya dan telah singkap kepribadiannya. Maka barangsiapa berada di atas akidahnya ini, bagaimana bisa pelakunya disematkan kepada pemahaman hulûl, ittihād dan tajsîm serta apa yang dipahami oleh para ahlul-ilhād?”
(Taqrizh Badruddin al-‘Aini terhadap kitab al-Radd al-Wafir, dimuat diakhir kitab Ar-Rad Al-Wafir tahqiq: Zuhair Asy-Syawisy, hal. 269, dinukil pula oleh Mahmud Syukri al-Alusi dalam kitab Ghayah al-Amani fi al-Radd ‘ala al-Nabhani, 2/132).
Al-Hafizh al-Sakhāwi dalam al-Dhau’ al-Lami’ (10/135) pada biografi al-‘Aini mengatakan, “Beliau memiliki taqrîzh terhadap al-Radd al-Wafir karya Ibn Nashiriddin al-Dimasyqi yang sangat membela Ibnu Taimiyyah”.
3. Syaikhul-Islam Shalih bin ‘Umar al-Bulqini asy-Syafi’i (w. 868 H) berkata :
وَلَمْ نَقِفْ إِلَى الْآنِ بَعْدَ التَّتَبُّعِ وَالْفَحْصِ عَلَى شَيْءٍ مِنْ كَلَامِهِ يَقْتَضِي كُفْرَهُ وَلَا زَنْدَقَتَهُ، إِنَّمَا نَقِفُ عَلَى رَدِّهِ عَلَى أَهْلِ الْبِدَعِ وَالْأَهْوَاءِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا يُظَنُّ بِهِ بَرَاءَةُ الرَّجُلِ وَعُلُوُّ مَرْتَبَتِهِ فِي الْعِلْمِ وَالدِّيْنِ
“Sampai sekarang aku tidak menemukan dari perkataan Ibnu Taimiyyah yang menunjukkan kekufuran dan kezindiqannya setelah aku meneliti dan menyelidikinya. Justru yang aku dapat adalah bantahannya terhadap ahlul-bid’ah dan ahlul-hawa serta yang lainnya yang menunjukkan berlepas dirinya beliau (dari setiap tuduhan yang disematkan) dan tingginya kedudukannya dalam ilmu dan agama.”
(Dimuat diakhir kitab Ar-Rad Al-Wafir tahqiq: Zuhair Asy-Syawisy, hal. 250, dinukil pula oleh Mahmud Syukri al-Alusi dalam kitab Ghayah al-Amani fi al-Radd ‘ala al-Nabhani, 2/135).
4. Asy-Syaikh Ibrahim al-Kurani asy-Syafi’i (w. 1101 H) berkata :
أَقُوْلُ : اِبْنُ تَيْمِيَّةَ لَيْسَ قَائِلًا بِالتَّجْسِيْمِ
“Aku katakan : “Ibn Taimiyyah bukanlah seorang yang berkeyakinan tajsîm.”
(Dinukil oleh Nu’mān al-Ālûsi dalam Jilā’ul-‘Ainain, hal. 336).
5. Al-Mulla ‘Ali al-Qari’ al-Hanafi (w. 1014 H)
Ketika menjawab tuduhan Ibnu Hajar Al-Haitami terhadap Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, ia berkata :
أَنَّهُمَا كَانَا مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، بَلْ وَمِنْ أَوْلِيَاءِ هَذِهِ الْأُمَّةِ
“Keduanya termasuk Ahlus-Sunnah wal-Jamā’ah, bahkan merupakan walinya umat ini.”
Lalu ia menegaskan :
وَظَهَرَ أَنَّ مُعْتَقَدَهُ مُوَافِقٌ لِأَهْلِ الْحَقِّ مِنَ السَّلَفِ وَجُمْهُوْرِ الْخَلَفِ فَالطَّعْنُ الشَّنِيْعُ وَالتَّقْبِيْحُ الفَظِيْعُ غَيْرُ مُوَجَّهٍ عَلَيْهِ وَلَا مُتَوَجِّهٍ إِلَيْهِ فَإِنَّ كَلَامَهُ بِعَيْنِهِ مُطَابِقٌ لِمَا قَالَهُ الْإِمَامُ الْأَعْظَمُ وَالْمُجْتَهِدُ الْأَقْدَمُ فِي فِقْهِهِ الْأَكْبَرِ … وَحَيْثُ اِنْتَفَى عَنْهُ اِعْتِقَادُ التَّجْسِيْمِ.
“Maka jelaslah bahwa akidahnya (Ibnu Taimiyyah) sesuai dengan para ahlul-haqq dari kalangan salaf dan jumhur khalaf. Maka celaan yang buruk dan hinaan yang keji tidaklah dapat dialamatkan dan ditujukan padanya. Karena perkataannya sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Imam yang teragung dan terkemuka dalam Fiqhul-Akbar (yaitu Imam Abu Hanifah)… Begitu pula ternafikan darinya keyakinan tajsim.” (Mirqah al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashabih, 8/216-217).
6. Al-‘Allamah Manshur bin Yunus al-Bahuti al-Hanbali (w. 1051 H) berkata;
كَانَ إمَامًا مُفْرَدًا أَثْنَى عَلَيْهِ الْأَعْلَامُ مِنْ مُعَاصِرِيهِ فَمَنْ بَعْدَهُمْ، وَامْتُحِنَ بِمِحَنٍ وَخَاضَ فِيهِ أَقْوَامٌ حَسَدًا، وَنَسَبُوهُ لِلْبِدَعِ وَالتَّجْسِيمِ، وَهُوَ مِنْ ذَلِكَ بَرِيءٌ، وَكَانَ يُرَجِّحُ مَذْهَبَ السَّلَفِ عَلَى مَذْهَبِ الْمُتَكَلِّمِينَ، فَكَانَ مِنْ أَمْرِهِ مَا كَانَ، وَأَيَّدَهُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ بِنَصْرِهِ، وَقَدْ أَلَّفَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ فِي مَنَاقِبِهِ وَفَضَائِلِهِ قَدِيمًا وَحَدِيثًا – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَنَفَعَنَا بِهِ.
“Beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah imam yang istimewa. Para ulama baik yang sezaman maupun setelahnya memujinya. Beliau diuji dengan berbagai ujian, beberapa kalangan terjerumus pada sikap hasad kepadanya, dan mereka menyematkan bid’ah dan tajsîm kepada beliau, padahal beliau berlepas diri darinya. Beliau merajihkan madzhab salaf di atas madzhab ahli kalam. Maka terjadilah apa yang terjadi pada beliau. Allah menolongnya atas mereka dengan pertolongan-Nya. Sebagian ulama baik yang dulu maupun kemudian telah menyusun keutamaan-keutamaan dan manaqibnya –rahimhullah-, dan kami mendapatkan manfaat darinya.” (Kasyf al-Qana’ ‘an al-Iqna’, 1/20).
7. Al-Syihab Mahmud al-Alusi al-Mufassir (w. 1270 H) berkata :
حَاشَا لِلَّهِ تَعَالَى أَنْ يَكُوْنَ -يَعْنِي اِبْنُ تَيْمِيَّةَ- مِنَ الْمُجَسِّمَةِ، بَلْ هُوَ أَبْرَأُ النَّاسِ مِنْهُمْ. نَعَمْ يَقُوْلُ بِالْفَوْقِيَّةِ، وَذَلِكَ مَذْهَبُ السَّلَفِ، وَهُوَ بِمَعْزِلٍ عَنِ التَّجْسِيْمِ.
“Mahasuci Allah ta’ala bahwa Ibnu Taimiyyah itu termasuk mujassimah, bahkan dia adalah orang yang paling berlepas diri dari mereka. Betul, dia meyakini fauqiyyah, dan itu adalah madzhab Salaf, dan dia terlepas dari tajsim.”
(Dinukil oleh putra beliau Nu’man al-Alusi dalam Jila’ul-‘Ainain, hal. 337, juga oleh Jamaluddin Al-Qasimi dalam tafsirnya Mahasinut Ta’wil, 5/83).
8. Al-‘Allamah Jamaluddin al-Qasimi (w. 1332 H) berkata;
وَأَقُوْلُ إِنَّ كُلَّ مَنْ رَمَى مِثْلَ هَذَا الْإمَامَ بِالتَّجْسِيْمِ فَقَدِ افْتَرَى وَمَا دَرَى
“Dan aku katakana : “Sesungguhnya setiap orang yang menuduh semisal imam ini (Ibnu Taimiyyah) dengan tajsim, maka sungguh dia telah berdusta, dan tidak tahu.” (Mahasinut Ta’wil, 5/83).
Dan masih banyak lagi para ulama yang membela Ibnu Taimiyyah dan membebaskannya dari tuduhan tajsim.
Akhirnya, sebagaimana dikatakan oleh Bahauddin Muhammad bin Abdil Bar As-Subki Asy-Syafi’I (w.777 H) :
وَاللهِ يَا فُلَانُ مَا يَبْغَضُ ابْنَ تَيْمِيَّةَ إِلَّا جَاهِلٌ أَوْ صَاحِبُ هَوَى فَالْجَاهِلُ لَا يَدْرِي مَا يَقُوْلُ وَصَاحِبُ الْهَوَى يَصُدُّهُ هَوَاهُ عَنِ الْحَقِّ بَعْدَ مَعْرِفَتِهِ بِهِ.
“Demi Allah wahai fulan! Tidaklah orang yang membenci Ibnu Taimiyyah itu melainkan ia bodoh atau pengikut hawa nafsu. Orang yang bodoh itu tidak mengetahui apa yang ia ucapkan, dan pengikut hawa nafsu itu terhalangi oleh hawa nafsunya dari kebenaran setelah ia mengetahuinya.” (Ar-Rad Al-Wafir, hal. 99).
Semoga Allah merahmati Ibnu Taimiyyah dengan rahmat yang luas, dan membalasnya dengan balasan yang besar. Wallahu a’lam.