Fatwapedia.com – Sudah menjadi ‘urf (tradisi) bagi sebagian orang bahkan hampir dikatakan mayoritas kaum muslimin memiliki kebiasaan menziarahi makam-makam keluarga, sanak famili, orang tua serta orang-orang shalih yang ditadzimi. Mereka berdalih bahwa yang demikian ini merupakan bagian dari amal soleh yang perintahnya ada di dalam Islam sebagaimana yang mereka yakini keabsahannya menurut pendapat madzhab Syafi’i.
Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy (w. 360 H) rahimahullah dalam kitabnya “Al-Mu’jam Al-Kabiir” 12/444 no. 13613, dan Al-Baihaqiy (w. 458 H) rahimahullah dalam kitabnya “Syu’ab Al-Iman” 11/471 no. 8854 :
عن أَبي شُعَيْبٍ الْحَرَّانِيُّ، ثنا يَحْيَى بْنُ عَبْدِ اللهِ الْبَابْلُتِّيُّ، ثنا أَيُّوبُ بْنُ نَهِيكٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَطَاءَ بْنَ أَبِي رَبَاحٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ، يَقُولُ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلَا تَحْبِسُوهُ، وَأَسْرِعُوا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ، وَلْيُقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ بِخَاتِمَةِ الْبَقَرَةِ فِي قَبْرِهِ»
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika diantara kalian ada yang meninggal, maka janganlah kalian menahannya, segeralah membawanya ke kuburannya. Dan hendaklah di dekat kepalanya dibacakan pembukaan Al-Quran (surat Al-Fatihah) dan dekat kedua kakinya dengan penutup surat Al-Baqarah di kuburnya.”
Hadits ini sangat lemah karena dua cacat:
1. Yahya bin ‘Abdillah bin Adh-Dhahhak Al-Babluttiy[1] (w. 218 H).
Al-Haitsamiy (w. 807 H) rahimahullah menyebutkan hadits ini dalam kitabnya “Majma’ Az-Zawaid” (no.4242) dan mengatakan: “Di dalam sanadnya ada Yahya bin ‘Abdillah Al-Babluttiy, dia dha’if (lemah periwayatannya).”
Ibnu Hibban (w. 354 H) rahimahullah berkata: “Periwayatannya tidak bisa dijadikan hujjah jika sendiri” (ساقط الاحتجاج فيما انفرد به).
Ibnu ‘Adiy (w. 365 H) rahimahullah berkata: “Tanda kelemahan pada haditsnya sangat jelas” (أثر الضعف على حديثه بين).
Periwayatan haditsnya dilemahkan juga oleh Abu Zur’ah Ar-Raziy (w. 281 H), Adz-Dzahabiy, Ibnu Hajar (w. 852 H) rahimahumullah.
2. Ayyub bin Nahiik Al-Halabiy[2].
Abu Hatim (w. 277 H) rahimahullah berkata: “Periwayatan haditsnya lemah.”
Abu Zur’ah Ar-Raziy mengatakan: “Haditsnya mungkar.”
Al-Azdiy (w. 374 H) rahimahullah mengatakan: “Haditsnya ditolak (matruuk).”
Adz-Dzahabiy mengatakan: “Periwayatan haditsnya ditolak oleh ulama (tarakuuhu).”
(Lihat Silsilah Hadits Dha’if, 9/152, no. 4140)
Tentang Sanad
Hadits di atas tafarrud melalui dua rawi dha’if berturut-turut dari ‘Atha` bin Abi Rabah dari Ibnu ‘Umar. Yaitu Ayyub bin Nahiik Al-Halabiy yang matruk dan Yahya bin ‘Abdillah bin Adh-Dhahhak Al-Babluttiy yang dha’iful hadits.
Status hadits ini dha’if syadid (sangat dha’if) apalagi tidak dijumpai sanad lain yang menguatkan. Al-Baihaqi mengatakan diujung periwayatannya :
لَمْ يَكْتُبْ إِلَّا بِهَذَا الْإِسْنَادِ فِيمَا أَعْلَمُ وَقَدْ رَوَيْنَا الْقِرَاءَةَ الْمَذْكُورَةَ فِيهِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ مَوْقُوفًا عَلَيْهِ
”Tidak ditulis hadits ini selain dengan sanad ini sepengetahuanku. Kami meriwayatkan bacaan tersebut dari Ibnu ‘Umar secara mauquf.”
Riwayat yang diisyaratkan beliau, yaitu yang mauquf dari Ibnu ‘Umar adalah yang diriwayatkan oleh Abu Bakr Al-Khallaal (w. 311 H) dalam kitabnya “Al-Qira-ah ‘Inda Al-Qubuur” hal. 88:
عن مُبَشِّر، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْعَلَاءِ بْنِ اللَّجْلَاجِ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ أَوْصَى إِذَا دُفِنَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا، وَقَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يُوصِي بِذَلِكَ.
Dari ‘Abdurrahman bin Al-‘Alaa’ bin Al-Lajlaaj, dari Bapaknya,
“Bahwasanya ia berwasiat jika ia dikuburkan nanti agar dibacakan di dekat kepalanya awal surah Al-Baqarah dan akhirnya. Dan ia berkata: Aku mendengar Ibnu ‘Umar berwasiat seperti itu.”
Sanad riwayat ini sangat lemah karena ‘Abdurrahman bin Al-‘Alaa’ Al-Lajlaaj[3] seorang yang majhuul al-‘ain.
Adz-Dzahabiy mengatakan:
“Tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Mubasysyir bin Isma’il Al-Halabiy.”
(Ahkaam Al-Janaaiz karya Syaikh Al Albani rahimahullah hal. 192)
Imam Abu Bakar ibnu Al-Khalaal (w. 311 H) dalam kitabnya “Al-Qiraa’ah ‘Inda Al-Qubuur” berkata :
وَأَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ أَحْمَدَ الْوَرَّاقُ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ مُوسَى الْحَدَّادُ، وَكَانَ صَدُوقًا، وَكَانَ ابْنُ حَمَّادٍ الْمُقْرِئُ يُرْشِدُ إِلَيْهِ، فَأَخْبَرَنِي قَالَ: ” كُنْتُ مَعَ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، وَمُحَمَّدِ بْنِ قُدَامَةَ الْجَوْهَرِيِّ فِي جِنَازَةٍ، فَلَمَّا دُفِنَ الْمَيِّتُ جَلَسَ رَجُلٌ ضَرِيرٌ يَقْرَأُ عِنْدَ الْقَبْرِ، فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ: يَا هَذَا، ” إِنَّ الْقِرَاءَةَ عِنْدَ الْقَبْرِ بِدْعَةٌ فَلَمَّا خَرَجْنَا مِنَ الْمَقَابِرِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ قُدَامَةَ لِأَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، مَا تَقُولُ فِي مُبَشِّرٍ الْحَلَبِيِّ؟ قَالَ: ثِقَةٌ، قَالَ: كَتَبْتَ عَنْهُ شَيْئًا؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَأَخْبَرَنِي مُبَشِّرٌ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْعَلَاءِ بْنِ اللَّجْلَاجِ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ أَوْصَى إِذَا دُفِنَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا، وَقَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يُوصِي بِذَلِكَ. فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ: فَارْجِعْ، فَقُلْ لِلرَّجُلِ يَقْرَأْ “
Telah mengabarkan kami Al-Hasan bin Ahmad Al-Warraaq ia berkata; Telah menceritakan kepadaku ‘Aliy bin Muusa Al-Haddaad –beliau shaduuq-, Ibnu Hammaad Al-Muqriy telah menunjukkinya lalu memberitahukan kepadaku ia berkata :
“Aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah Al-Jauhariy ketika mengantar jenazah, setelah mayit dikuburkan, duduklah seorang buta membacakan Al Qur’an di dekat kuburannya, maka Ahmad berkata kepadanya : “apaan ini, sesungguhnya membaca Al Qur’an di kuburan adalah bid’ah”. Tatkala kami keluar dari pekuburan, Muhammad bin Qudamah berkata kepada Ahmad bin Hanbal : “Wahai Abu ‘Abdillah, apa pendapatmu tentang Mubasysyir Al-Halabiy?”, beliau menjawab, “tsiqah”, apakah engkau pernah menulis hadits darinya?, jawabnya, “betul”. Lanjutnya, telah mengabarkan kepadaku Mubasysyir dari ‘Abdur Rahman bin Al-‘Alaa` bin Al-Lajlaaj dari Bapaknya bahwa ia berwasiat kalau nanti dikebumikan, minta dibacakan Al Fatihah, Al Baqarah dan akhir surat Al Baqarah disisi kepalanya, lalu ia berkata, aku mendengar Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berwasiat demikian”. Maka Ahmad berkata, “kembalilah, lalu katakan kepada laki-laki tadi untuk melanjutkan bacaan Al Qur’annya”.
Cerita ini dinisbatkan kepada Imam Ahmad tidak valid, karena Al-Hasan bin Ahmad Al-Warraaq serta ‘Aliy bin Muusa Al-Haddaad keduanya majhul hal.
Dan pada ujung cerita disebutkan sebuah Atsar wasyiyat Ibnu ‘Umar pun tidak shahih karena salah satu rawinya bernama ‘Abdur Rahman bin Al-‘Alaa` bin Al-Lajlaaj majhul al-‘ain (tidak dikenal). Dan Syaikh Al Albani dalam Ahkamul Janaiz mendha’ifkan riwayat ini.
Namun Imam Abu Bakar bin Khalaal menyebutkan sanad lain yang menjadi Mutaba’ah bagi Al-Hasan Al-Warraaq ini, kata beliau :
وَأَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ صَدَقَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ عُثْمَانَ بْنَ أَحْمَدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ الْمَوْصِلِيَّ، قَالَ: كَانَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ فِي جِنَازَةٍ وَمَعَهُ مُحَمَّدُ بْنُ قُدَامَةَ الْجَوْهَرِيُّ، قَالَ: فَلَمَّا قُبِرَ الْمَيِّتُ، جَعَلَ إِنْسَانٌ يَقْرَأُ عِنْدَهُ، فَقَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ لِرَجُلٍ: تَمُرُّ إِلَى ذَلِكَ الرَّجُلِ الَّذِي يَقْرَأُ، فَقُلْ لَهُ: لَا يَفْعَلْ، فَلَمَّا مَضَى، قَالَ لَهُ مُحَمَّدُ بْنُ قُدَامَةَ: مُبَشِّرٌ الْحَلَبِيُّ، كَيْفَ هُوَ؟ فَذَكَرَ الْقِصَّةَ بِعَيْنِهَا
Penilaian para perawinya:
Abu Bakar bin Shadaqah, dinilai oleh Imam Daruquthni dengan tsiqah tsiqah. Adapun ‘Utsmaan bin Ahmad Al-Maushuuliy saya belum berhasil mendapatkan biografinya. Seandainya di-adjust bahwa sanadnya shahih sampai kepada Imam Ahmad, maka masih tersisa kelemahannya sampai kepada Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, dengan sebab kelemahan ‘Abdur Rahman sebagaimana yang telah lewat, seandainya pun di-adjuts lagi shahih sampai kepada Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu maka ini adalah riwayat mauquf yang digolongkan sebagai madzhab shahabi yang tidak secara otomatis menjadi hujjah menurut sebagian ulama ushuliyyun. Demikian kurang lebih keterangan Syaikh Al Albani dalam Ahkamul Janaiz.
Terakhir, hadits ini dinilai munkar terhadap hadits lain tentang bacaan dalam menguburkan jenazah, baik hadits dari Ibnu ‘Umar atau dari yang lainnya.
Contoh hadits Ibnu ‘Umar berikut :
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الصِّدِّيقِ النَّاجِىِّ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَضَعْتُمْ مَوْتَاكُمْ فِي قُبُورِهِمْ فَقُولُوا بِسْمِ اللَّهِ وَعَلَى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami Wakii’; Telah menceritakan kepada kami Hammaam, dari Qataadah, dari Abu Ash Shiddiiq An Naajiy, dari Ibnu ‘Umar ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Jika kalian meletakkan orang yang meninggal dunia dari kalian maka ucapkan: ‘BISMILLAH WA ‘ALAA SUNNATI RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM (Dengan menyebut nama Allah dan atas sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam).” (HR. Ahmad no. 4982)
Jadi, Hadits Ibnu Umar dha’if syadid dan tidak layak dijadikan hujjah untuk anjuran baca Al-Quran dikuburan/ketika menguburkan.
Sanggahan:
Bukan kah hadits Al-Baihaqi/Ath-Thabrani di atas dinilai hasan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari-nya :
حَدِيث بْنِ عُمَرَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلَا تَحْبِسُوهُ وَأَسْرِعُوا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ أَخْرَجَهُ الطَّبَرَانِيُّ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ (فتح الباري لابن حجر : 3/ 184)
Hadits Ibnu ‘Umar, Aku telah mendengar dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam bersabda:
“Jika seseorang dari kalian mati, janganlah ditahan-tahan, bersegeralah menguburkannya.” Dikeluarkan Imam Thabrani dengan sanad yang hasan.
Jawaban:
1. Yang dihasankan oleh Ibnu Hajar bisa jadi hanya potongan hadits awalnya tentang bersegera mengubur jenazah, sebab masalah ini tsabit dalam hadits yang lain. Sedangkan potongan akhir tentang baca surat Fatihah dan penutup surat Al-Baqarah tidak ada hadits lain selain hadits yang sangat dha’if ini.
2. Di kalangan ulama hadits, tidak aneh dijumpai perbedaan penilaian. Ada yang menilai shahih, ada yang menilai hasan atau dha’if. Penilaian mereka tidak benar semua karena saling kontradiktif. Satu saja yang rajih yang didasarkan pada data dan fakta hadits baik sanad maupun matan. Dan setiap ulama memiliki ilmu tentang sesuatu, relatif berbeda, fokus dan penelitian terhadap sesuatu hadits pun berbeda-beda. Al-Hafizh Ibnu Hajar tidak diragukan lagi sebagai ulama peneliti hadits yang unggul disamping yang lainnya, namun tidak mustahil apa yang disimpulkan ulama lain dalam suatu hadits lebih tepat dari beliau, fakta dan data lah yang menentukan rajih atau marjuhnya.
3. Penilaian Ibnu Hajar dalam Fathul Barinya tidak disertakan alasan yang jelas, sedangkan dua rawi yang menjadi cacat hadits di atas, tidak mungkin menjadikan hadits ini jadi hasan karena Ibnu Hajar sendiri dalam kitab Tahdzib maupun Taqribnya telah menjelaskan keduanya bukan rawi shaduq tetapi dha’iful hadits. Sehingga penilaian Hasan dalam kitab Fathul Barinya tak bisa diterima.
Tambahan
Membaca Al-Qur’an di samping kubur menurut Imam Ahmad adalah perbuatan bid’ah karena tidak ada contohnya dari salaf, inilah yang shahih dari beliau rahimahullah sependek pengetahuan saya, berdasarkan riwayat :
سألت أبا عبد الله عن : القراءة على القبر ؟، قال : القراءة على القبر بدعة
Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah tentang qiraa’at di atas kubur ?. Beliau menjawab : “Qiraa’at di atas kubur adalah bid’ah” [Masail Al-Imam Ahmad Riwayat Ishaq bin Ibrahim An-Naisaburiy, 1/190 no. 946]
قَالَ الدُّورِيُّ: سَأَلْتُ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ قُلْتُ: تَحْفَظُ فِي الْقِرَاءَةِ عَلَى الْقُبُورِ شَيْئًا، فَقَالَ: لا.
Telah berkata Ad-Duuriy : Aku pernah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal, aku berkata :
“Apakah engkau menghapal riwayat tentang qiraa’at di atas kubur ?”. Ia menjawab : “Tidak” [Diriwayatkan oleh Al-Khallal dalam Al-‘Amru dan Al-Qira’at]
Idem dengan Al-Imam Ahmad adalah Al-Imam Abu Hanifah dan Al-Imam Malik rahimahullah. Berkata Mahmud As-Subkiy rahimahullah :
يكره تحريمًا عند النعمان ومالك قراءة القرآن عند القبر ؛ لأنه لم يصح فيها شيء عن النبي صلى الله عليه وسلم ، وليس من عمل السلف، بل كان عملهم التصدق والدعاء لا القراءة
“Makruh dengan makna haram menurut An-Nu’maan (Abu Haniifah) dan Maalik membaca Al-Qur’an di sisi kubur, karena perbuatan tersebut tidak dilandasi satupun riwayat dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula dari amal salaf. Akan tetapi amal yang mereka lakukan adalah bershadaqah (atas nama mayit) dan berdoa, bukan membaca Al-Qur’an”
[Ad-Dinul-Khalish]
Terakhir
Benarkah Imam Syafi’i Menganjurkan Baca Qur’an di Kuburan?
Imam Nawawi mengutip pendapat Imam Syafi’i baik dalam Al-Majmu’-nya maupun dalam kitab Riyadhush-Shalihinnya, bahwa Imam Syafi’i merokemendasikan amalan baca Qur’an di kuburan.
Namun kutipan beliau ini mengundang penasaran untuk mempertanyakan validitas penisbatan itu kepada beliau, dengan alasan:
1. Beliau dikenal masyhur sebagai Imam Madzhab yang berpendapat tidak sampainya hadiah bacaan Qur’an kepada orang yang telah meninggal. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 7/465)
Lalu bagaimana bisa beliau membolehkan membacanya di kuburan padahal menurut beliau bacaan tersebut sia-sia tidak sampai kepada mayit?
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan yang lainnya membantah penisbatan pendapat ini kepada Imam Syafi’i dengan menyatakan:
ولا يحفظ عن الشافعي نفسه في هذه المسألة كلام، وذلك لان ذلك كان عنده بدعة، وقال مالك: ما عملت أحدا يفعل ذلك، فعلم أن الصحابة، والتابعين ما كانوا يفعلونه . (اقتضاء الصراط المستقيم مخالفة أصحاب الجحيم ص 128)
“Dan tidak dihafal dari Imam Syafi’i sendiri dalam masalah ini satu kalam beliau pun, karena hal itu menurut pendapatnya adalah bid’ah. Imam Malik berkata: Aku tidak tahu seorang pun melakukannya, diketahuilah bahwasanya para shahabat dan Tabi’in, mereka tidak melakukannya.”
(Iqtidha Ash-Shirathal Mustaqim : 128)
3. Jarak masa Imam Syafi’I (150-204 H) dan Imam Nawawi (631-676 H) cukup jauh yaitu 4 abad lebih. Jika tidak didasarkan pada nash kitab Imam Syafi’i, maka penisbatan ini perlu sanad yang lengkap.
4. Pertanyaan ini tidak dimaksudkan tuduhan dusta dll, sebab wajar dan bisa saja siapapun termasuk Imam Nawawi hanya didasarkan pada kata orang yang dia dengar dan tidak jelas juntrungannya (tela’ah sanad memang pahit dan tidak cukup mengandalkan subjektiftas).
Imam Baihaqi ikut menukil juga tetapi disebutkannya dengan tidak bersanad :
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَأُحِبُّ لَوْ قُرِئَ عَلَى الْقَبْرِ وَدُعِيَ لِلْمَيِّتِ (معرفة السنن والآثار (5/ 333
Imam Al-Khallal ada menyebutkan sebuah sanad melalui Al-Hasan bin Ash-Shabbah Al-Za’farani,
[6 ] أَخْبَرَنِي رَوْحُ بْنُ الْفَرَجِ، قَالَ: سَمِعْتُ الْحَسَنَ بْنَ الصَّبَّاحِ الزَّعْفَرَانِيَّ، يَقُولُ: ” سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ الْقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ، فَقَالَ: لا بَأْسَ بِهِ “
Namun Al-Za’farani ini dimaklumi sebagai periwayat qaul qadimnya Imam Syafi’i sewaktu masih di Baghdad.
5. Kitab-kitab syurrah (syarah kitab hadits) menukil pendapat Imam Madzhab yang empat sepakat ketidak bolehannya, mengambil isyarat hadits shahih Muslim,
“لا تجعلوا بيوتكم مقابر، فإن الشيطان يفر من البيت الذي يقُرأ فيه سورة البقرة”
“Jangan kalian jadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan, sebab syetan lari dari rumah yang dibacakan padanya surat Al-Baqarah.”
Isyarat dalam hadits ini sangat jelas bila kuburan bukan tempat yang layak baca Qur’an menurut syara’.
Bahkan Imam Ahmad sekalipun yang berpendapat bisa sampainya bacaan Qur’an kepada mayyit, namun membacanya di kuburan dianggapnya sesuatu yang bid’ah. Wallahu A’lam bish-shawab.
Catatan kaki :
[1] Lihat biografi “Yahya bin ‘Abdillah Al-Babluttiy” dalam kitab: Al-Jarh wa At-Ta’diil karya Ibnu Abi Hatim 9/164, Al-Majruhiin karya Ibnu Hibban 3/127, Al-Kaamil karya Ibnu ‘Adiy 9/119, Adh-Dhu’afaa’ karya Ibnu Al-Jauziy 3/199, Miizaan Al-I’tidaal 4/390, Taqriib At-Tahdziib karya Ibnu Hajar hal.593.
[2] Lihat biografi “Ayyub bin Nahiik” dalam kitab: Al-Jarh wa At-Ta’diil 2/259, Adh-Dhu’afaa’ karya Ibnu Al-Jauziy 1/133, Miizaan Al-I’tidaal 1/294, Lisaan Al-Miizaan 2/256.
[3] Lihat biografi “‘Abdurrahman bin Al-‘Alaa’ Al-Lajlaaj” dalam kitab: Al-Jarh wa At-Ta’diil 5/272, Ats-Tsiqaat karya Ibnu Hibban 7/90, Tahdziib Al-Kamaal karya Al-Mizziy 17/332, Miizaan Al-I’tidaal 2/579, Taqriib At-Tahdziib hal.348.