Benarkah Mazhab Syafi’i Melarang Salat Di Belakang Imam Beda Mazhab?

Benarkah Mazhab Syafi’i Melarang Salat Di Belakang Imam Beda Mazhab?

Fikroh.com – Sangat tidak benar jika ada yang menyatakan bahwa mazhab Syafi’i melarang secara mutlak pengikutnya untuk bermakmum kepada imam yang berasal dari mazhab lain. Ini sebuah tuduhan tanpa dasar yang dilontarkan oleh sebagian orang untuk mendiskreditkan mazhab Syafi’i. Orang-orang model seperti ini terus berusaha untuk mencari perkara yang bisa ‘dianggap’ celah kelemahan fiqh mazhab dalam rangka menjauhkan kaum muslimin dari ulamanya.

Kalaupun ada sebagian pernyataan dari ulama Syafi’iyyah yang sekilas dipahami demikian, maka itu sifatnya hanya kasuistik (hanya terbatas pada kasus tertentu saja) dikarenakan adanya alasan yang krusial yang menyangkut keabsahan salat (sesuai yang diyakini), tidak dimaksudkan secara mutlak. Atau mungkin sifat larangannya hanya makruh atau kurang afdal saja karena alasan tertentu, bukan larangan haram. Larangan yang sifatnya seperti ini, masih boleh untuk dilakukan.

Diantaranya, seperti ucapan imam Taqiyyuddin Al-Hishni Asy-Syafi’i (w.829 H) dalam kitab Kifayatul Akhyar, hlm. (129) :

فَلَو كَانَ بِقُرْبِهِ مَسْجِد قَلِيل الْجمع وبالبعيد مَسْجِد كثير الْجمع فالبعيد أفضل إِلَّا فِي حالتين :أَحدهمَا أَن تتعطل جمَاعَة الْقَرِيب لعدوله عَنهُ. الثَّانِيَة أَن يكون إِمَام الْبعيد مبتدعا كالمعتزلي غَيره وَكَذَا لَو كَانَ حنفياً لِأَنَّهُ لَا يعْتَقد وجوب بعض الْأَركان وَكَذَا الْمَالِكِي وَغَيره

“Seandainya di dekatnya ada masjid yang sedikit jamaahnya, dan yang jauh banyak jamaahnya, maka masjid yang jauh lebih afdal (utama) kecuali dalam dua keadaan : (1). Perginya kamu ke masjid yang jauh akan menyebabkan jamaah masjid yang dekat habis, (2). Imam masjid yang jauh seorang ahli bidah seperti Mu’tazili (pengikut sekte Mu’tazilah) dan selainnya. Demikian juga kalau (imamnya) seorang Hanafi karena ia tidak menyakini wajibnya sebagian rukun. Demikian juga Maliki dan selainnya.”

Perlu untuk diketahui, bahwa dalam mazhab Hanafi, surat Al-Fatihah boleh diganti dengan surat lain. Adapun dalam mazhab Syafi’i, surat Al-Fatihah sifatnya muta’ayyin (sudah tertentu) tidak bisa diganti dengan surat lain selama mampu. Jika diganti, maka salatnya tidak sah. Pada kasus ini, jika seorang yang bermazhab Syafi’i bermakmum kepada imam yang bermazhab Hanafi dalam kondisi imamnya mengganti surat Al-Fatihah dengan surat lain, maka salat makmum tidak sah dalam tinjauan mazhab Syafi’i.

Coba anda yang tidak bermazhab dan menyakini surat Al-Fatihah sebagai rukun salat yang tidak bisa diganti dengan surat lain, kira-kira mau tidak untuk bermakmum dengan imam yang bermazhab Hanafi yang mengganti surat Al-Fatihah dengan surat lain ? Tentunya juga tidak mau bukan ? Lalu kenapa ketika orang lain melakukannya anda anggap sebagai suatu kesalahan ?! Ini tidak adil namanya alias zalim. Kalau untuk diri sendiri benar, tapi untuk orang lain salah. Na’uzubillah min zalik.

Larangan untuk bermakmum kepada imam pada kasus seperti ini dan semisalnya sangatlah wajar, tidak hanya ada pada mazhab Syafi’i tapi juga ada di mazhab lain, bahkan orang yang tidak bermazhab sekalipun. Oleh karenanya, memandang sebuah permasalahan haruslah dengan detail dan lengkap, jangan hanya dilihat dari satu sisi sehingga menyebakan kesimpulan yang salah yang akhirnya menjadi fitnah dan kezaliman kepada pihak lain.

Jika anda memilih untuk tidak bermazhab, silahkan saja. Tapi asas keadilan tetap harus dijunjung tinggi. Jangan sampai karena kebencian, anda berlaku zalim kepada para ulama yang merupakan pewarisnya para Nabi. Allah berfirman : “Janganlah kebencian kalian kepada suatu kaum menyebabkan kalian tidak berbuat adil. Berbuat adillah ! Karena keadilan lebih dekat kepada ketaqwaan.”

Wallahu almuwaffiq ila a’qam ath-thariq.

Oleh : Ust. Abdullah Al-Jirani

Leave a Comment