Fatwapedia.com – Telah diakui secara sah bahwa Surat Al Fatihah mengandung banyak fadhilah jika diamalkan. Diantara keutamaan yang paling agung dari surat alfatihah adalah, menjadi surat paling utama dan paling baik dibandingkan Surat lainnnya. Dari Abu Said bin al-Mu’alla –radhiyallahu ‘anhu- berkata:
: كُنْتُ أُصَلِّي فِي الْمَسْجِدِ فَدَعَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ أُجِبْهُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ أُصَلِّي فَقَالَ أَلَمْ يَقُلْ اللَّهُ (اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ( ثُمَّ قَالَ لِي لَأُعَلِّمَنَّكَ سُورَةً هِيَ أَعْظَمُ السُّوَرِ فِي الْقُرْآنِ قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ مِنْ الْمَسْجِدِ ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِي فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَخْرُجَ قُلْتُ لَهُ أَلَمْ تَقُلْ لَأُعَلِّمَنَّكَ سُورَةً هِيَ أَعْظَمُ سُورَةٍ فِي الْقُرْآنِ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ هِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ الَّذِي أُوتِيتُهُ
“Aku pernah shalat dimasjid, lalu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- memanggilku namun aku tidak menjawabnya, aku berkata: wahahi Rasulullah sesungguhnya tadi aku sedang shalat, beliau berkata: bukankan Allah berfirman (penuhilah seruan Allah dan Rasul saat menyeru kalian sesuatu yang memberi kalian kehidupan) kemudian beliau bersabda: aku akan mengajarkan kepadamu sebuah surat yang paling agung dalam Al-Qur’an sebelum engkau keluar dari masjid, kemudian beliau memegang tanganku, dan tatkala beliau hendak keluar masjid aku berkata kepadanya: bukankan engkau berkata aku akan mengajarkanmu sebuah surat yang paling agung dalam Al-Qur’an, beliau berkata: alhamdulillahi rabbil’âlamîn, ini adalah sabu’lmatsâniy dan Al-Qur’an yang agung yang didatangkan kepadaku” (H.R Ahmad dan al-Bukhariy)
Hukum membaca Al Fatihah Sebelum Berdoa
Ustadz saya mau tanya, saya menonton potongan video ada seorang Syaikkh dari Arab Saudi ceramah menggunakan bahas Inggris yang membid’ahkan membaca surt Al Fatihah sebelum doa, atau membacakan untuk mayit,.. Apakah benar itu perbuatan bid’ah? (IH)
Jawaban:
Bismillahirrahmanirrahim… Alangkah baiknya seorang ‘alim, Syeikh, para da’i, muballigh, dalam berdakwah memperhatikan kondisi fiqih yang dianut di mana dia berada atau berdakwah. Jika seorang da’i dari Indonesia berkunjung ke Arab Saudi, maka pahamilah fiqih di sana dan hargailah itu. Jika seorang da’i dari Arab Saudi ke Indonesia, juga hendaknya demikian, pahami fiqih yang umum terjadi di Indonesia dan hargai itu.
Imam Al Qarafi memberikan nasihat:
إذا جاءك رجل من غير أهل إقليمك يستفتيك لا تجره على عرف بلدك واسأله عن عرف بلده وأجره عليه وأفته به دون عرف بلدك ودون المقرر في كتبك فهذا هو الحق الواضح والجمود على المنقولات أبدا ضلال في الدين وجهل بمقاصد علماء المسلمين والسلف الماضين “
“Jika datang kepadamu seorang dari luar daerahmu untuk meminta fatwa kepadamu, janganlah kamu memberikan hukum kepadanya berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku di daerahmu, tanyailah dia tentang adat kebiasaan yang terjadi di daerahnya dan hargailah itu serta berfatwalah menurut itu, bukan berdasarkan adat kebiasaan di daerahmu dan yang tertulis dalam kitabmu. Itulah sikap yang benar dan jelas. Sedangkan sikap selalu statis pada teks adalah suatu kesesatan dalam agama dan kebodohan terhadap tujuan para ulama Islam dan generasi salaf pendahulu.” (Al Furuq, 1/176-177)
Begitu elok Syaikh As Sudais, ketika Beliau menjadi imam di Istiqlal, Beliau mengeraskan bacaan basmalah di surat Al Fatihah, sebagaimana kebiasaan umumnya di Indonesia. Padahal biasanya Beliau melirihkan suara basmallahnya. Inilah yang seharusnya dipahami oleh Syaikh yang ditanyakan saudara penanya.
Tentang membaca Al Fatihah sebelum berdoa, itu memang menjadi kebiasaan di Indonesia bahkan juga banyak di negeri lain. Secara fiqih pun diakui oleh para ahli ilmu. Sebab, salah satu adab berdoa adalah memulai dengan puji-pujian kepada Allah Ta’ala, dan pujian paling sempurna adalah yang ada pada surat Al Fatihah.
Syaikh Abdullah Al Faqih, penanggungjawab Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah dan juga murid Syaikh Utsaimin, menjelaskan begini:
وأما الابتداء في دعائك بالفاتحة، فلا حرج عليك فيه؛ لأن الفاتحة تشتمل على الثناء على الله تعالى، وتمجيده، كما في صحيح مسلم وتقديم الثناء في الدعاء محمود في الدعاء، ولكنه لا ينبغي التزامك بما لم يثبت في السنة الالتزام به؛ لئلا يوقعك في البدعة الإضافية
“Ada pun permulaan doamu dengan membaca surat Al Fatihah, maka itu TIDAK APA-APA, karena Al Fatihah mencakup pujian kepada Allah Ta’ala, dan memuliakanNya, sebagaimana tertera dalam Shahih Muslim. Memulai pujian dalam berdoa adalah hal yang terpuji dalam doa, tetapi hendaknya hal itu tidak dijadikan kebiasaan karena tidak ada dalam sunnah, agar terhindar dari bid’ah idhafiyah.” (fatwa No. 256792)
Dalam fatwa Lajnah al Ifta, Jordania, tertulis sbb:
قراءة الفاتحة – بعد الدعاء أو قبله – بقصد التوسل لقبول الدعاء أمر مشروع ولا حرج فيه، وذلك لسببين اثنين:
الأول: أن التوسل بالقرآن الكريم هو توسل بصفة من صفات الله تعالى، والتوسل بصفات الله عز وجل مشروع باتفاق العلماء.
الثاني: أن التوسل بتلاوة الفاتحة توسل بعمل صالح، وهو أيضا مشروع باتفاق العلماء، واختيار سورة الفاتحة خاصة له وجه مقبول شرعا؛ وذلك لأنها أم الكتاب، وتجتمع فيها جميع معاني القرآن العظيم. والله أعلم.
Membaca Al Fatihah sebelum doa atau setelah nya dgn maksud ber tawassul agar doa dikabulkan adalah perkara yg disyariatkan, tidak apa-apa. Hal ini ada dua alasan:
1. Tawassul dengan Al Quran termasuk tawassul dengan sifat sifat Allah, dan itu hal yg masyru’ (disyariatkan) sesuai kesepakatan ulama.
2. Tawassul dengan membaca Al Fatihah termasuk tawassul dengan amal shalih, dan ini juga disepakati sebagai hal yg disyariatkan.
Dipilihnya surat Al Fatihah secara khusus juga sisi yg diterima secara syar’i, karena Al Fatihah adalah Ummul Kitab, di dalamnya terkumpul semua makna Al Quran yang agung. Wallahu a’lam. (Selesai)
Ada pun tentang membaca Al Fatihah -atau surat lainnya- dihadiahkan buat orang yang sudah wafat, itu diperselisihkan para ulama namun pendapat mayoritas salaf adalah boleh dan sampai.
Ini pendapat MAYORITAS salaf dan Imam Ahmad. (Syaikh Abdullah Al Bassam, jilid. 2, hal. 19. Dar Ibnul Jauzi, Kairo. 2011)
Dari imam yang empat, tiga imam mengatakan sampai, hanya satu yang mengatakan tidak yaitu Imam Asy Syafi’i. (Misbahuzh Zhalam Syarh Bulugh Al Maram, jilid. 2, hal. 27-28, Darul Hadits, 2014 M)
Namun, para ulama Syafi’iyyah sendiri memilih hal itu sampai dan bermanfaat. Dalam Fathul Mu’in tertulis:
أما القراءة فقد قال النووي في شرح مسلم : المشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابنا يصل ثوابها للميت بمجرد قصده بها ولو بعدها وعليه الأئمة الثلاثة واختاره كثيرون من أئمتنا واعتمده السبكي وغيره
Ada pun membaca Al Quran (buat mayit), berkata An Nawawi dalam Syarh Muslim: “Yang MASYHUR dari mazhab Syafi’i adalah tidak sampai pahalanya.” Sebagian sahabat kami (Syafi’iyyah) berkata: sampai pahalanya kepada mayit jika semata-mata dimaksudkan kepadanya walau dilakukan setelah wafatnya. Inilah yang dianut oleh tiga imam, dan DIPILIH (MUKHTAR) oleh mayoritas imam-imam kami, dan dipegang oleh As Subki dan lainnya. (Imam Zainuddin Al Malibari, Fathul Mu’in, jilid. 1, hal. 432)
Imam Ibnu Rusyd: umumnya ulama timur dan barat mengatakan sampai, dan ini sudah berlangsung sejak masa salaf. (Hasyiyah Ad Dusuqi, jilid. 1, hal. 434)
Imam Ibnu Taimiyah berkata:
وَتَنَازَعُوا فِي وُصُولِ الْأَعْمَالِ الْبَدَنِيَّةِ: كَالصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ وَالْقِرَاءَةِ. وَالصَّوَابُ أَنَّ الْجَمِيعَ يَصِلُ إلَيْهِ
Mereka (para ulama) berselisih pendapat ttg sampainya amal badaniyah (untuk orang wafat) seperti puasa, shalat, dan baca Al Quran. Yang BENAR semua ini SAMPAI kepadanya. (Majmu’ Al Fatawa, jilid. 24, hal. 366. Majma’ Al Malik Fahd, Madinah. 1995 M)
Semoga hal ini dapat memberikan penjelasan dan manfaat bagi yang menginginkan kebaikan. Demikian. Wallahu A’lam.
Oleh: Ust. Farid Nu’man Hasan