Fikroh.com – Setiap kali ada kejadian yang mengiris dan menyakitkan umat Islam atas celaan, hinaan serta penodaan terhadap Rasulullah Saw, banyak sekali komentar dan pembelaan kontraversial yang justru muncul dari orang muslim sendiri yang terlihat bijak, namun menikam dari dalam.
Banyak sekali komentar di media sosial yang ujug-ujug berbicara sok bijak terhadap kemuliaan akhlak Rasulullah, namun tidak tepat dalam penempatannya.
Ada yang mengatakan, “Rasulullah itu tidak pernah marah saat dihinakan!” Atau “Islam itu pemaaf setiap kali ada orang yang mencela!” Atau “Kitalah yang salah, terlalu cepat emosi!” “Ah, itu cuma gaya sumbu pendeklah!”
Inilah beragam komentar orang-orang yang gagal paham memahami ajaran agamanya sendiri dan cenderung bersikap apatis, bahkan ikut menghinakan agamanya sendiri.
Baik, agar lebih tercerdaskan, mari kita baca dan pahami fakta sejarah kenabian agar kita bersikap lebih elegan dan seimbang!
Dulu di zaman Nabi Saw ada seseorang bernama Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh yang pernah ditugasi oleh Nabi untuk menuliskan wahyu, disebabkan kemampuan baca tulisnya.
Tetapi, ia terbukti tidak jujur dalam menuliskannya. Mungkin karena takut akan hukuman Nabi, ia melarikan diri ke Mekkah, meninggalkan Islam dan kembali kepada agamanya semula, musyrikin penyembah berhala.
Ketika tiba di Makkah, ia ditanya oleh orang-orang musyrikin, “Wahai Ibn Abi Sarh, ceritakan pengalamanmu menuliskan al-Qur’an pada Muhammad!”
Ibn Abi Sarh bercerita dengan penuh olokan:
“Aku tuliskan sekehendakku. Ketika ia mengimlakan “Sami’un Alim”, aku tulis “Alimun Hakim”. Atau aku tuliskan sekehendakku. Lalu aku bacakan kembali kepadanya. Ia membenarkannya.
Aku katakan kepadanya bahwa ia imlakan kepadaku adalah “Sami’un Alim”. Nabi berkata, “Kilahuma sawa. Tidak apa-apa. Dua-duanya sama saja.”
“Maa yadri Muhammadun maa yaquuluhu. Inni laa aktubu lahu ma syi’tu. Hadzalladzi katabtu yuhaa ilayya kamaa yuhaa ila Muhammadin.”
“Muhammad itu (bodoh) tidak tahu apa yang ia katakan. Inilah yang telah aku tuliskan. Tuhan mewahyukannya kepadaku seperti Tuhan mewahyukan kepada Muhammad.”
Pernah pada suatu hari, ia membacakan kepadaku “Aziizun Hakiim”, aku tulis “Ghafuurun Rahim”. Kata Rasulullah katanya “Hadza dzaaka sawa” yang ini dan yang itu sama saja. Kata Rasulullah, “Itu juga diturunkan kepadaku. Tuliskan itu.
“Sekiranya ia benar, artinya telah diwahukan kepadaku seperti apa yang diwahyukan kepadanya. Jika ia bohong, aku sudah mengatakan apa yang ia katakan.”
Berkaitan dengan ulah Ibn Abi Sarh inilah turun al-Qur’an surah al-An’am ayat 93:
وَمَنۡ اَظۡلَمُ مِمَّنِ افۡتَـرٰى عَلَى اللّٰهِ كَذِبًا اَوۡ قَالَ اُوۡحِىَ اِلَىَّ وَلَمۡ يُوۡحَ اِلَيۡهِ شَىۡءٌ وَّمَنۡ قَالَ سَاُنۡزِلُ مِثۡلَ مَاۤ اَنۡزَلَ اللّٰهُؕ
“Siapa lagi yang lebih zhalim daripada orang yang berbuat dusta kepada Allah atau berkata, “telah diwahyukan kepadaku” padahal tidak ada apa pun yang diwahyukan kepadanya.”
Ibn Abi Sarh bukan saja mencemoohkan Nabi dan wahyu yang turun kepadanya. Ia juga bergabung dengan orang-orang musyrik lainnya untuk menyebarkan fitnah, penistaan, dan penodaan kemuliaan Nabi Saw.
Ketika Nabi Saw menaklukkan Kota Makkah, ia memberikan perlindungan kepada semua penduduk Makkah, kecuali orang-orang yang namanya tercantum dalam “daftar hitam”. Nabi berkata, “Bunuhlah mereka, walaupun mereka bergantung pada tirai Ka’bah.”
Diantara nama-nama dalam daftar hitam itu: (1) Jurm [Abdullah] bin Khathal (2) Miqyas bin Shubabah dan [3] Abdullah bin Sa’ad Abi Sarh.
Pada kasus lain, Jurm bin Khattal pernah masuk Islam dan ikut hijrah ke Madinah.
Saat Rasulullah memerintahkannya untuk mengambil zakat, ia justru membunuh seorang Khuza’ah yang lalai memberikan pelayanan makanan kepadanya, hingga ia takut mendapatkan hukuman qishash dari Rasulullah. Ia menghina Islam dan kembali murtad bergabung dengan musyrikin Makkah.
Pada peristiwa Fath Makkah, para sahabat mengejar-ngejar Jurm bin Khathal dan menemukannya bergelantungan di tirai Ka’bah.
Ammar bin Yassir dan Sa’id berlomba untuk membunuh Jurm bin Khathal. Dan Sa’ad berhasil membunuh Jurm bin Khattal saat bergelantungan di tirai Ka’bah.
Miqyas bin Shubabah; penyayi yang dengan syair-syairnya selalu mengolok-olok Rasulullah, tertangkap di pasar dan berhasil dibunuh.
Mereka semua bukan semata menghina Rasulullah, namun lebih dari itu, mereka telah menghina agama Allah dengan olok-olok dan pengkhianatan mereka.
Sedangkan Abi Sarh memperoleh pengampunan dari pembelaan Ustman bin Affan, meskipun Nabi sendiri menginginkannya ia dibunuh, disebabkan penghinaannya terhadap Islam.
Padahal, Umar bin Khattab telah siap siaga untuk memenggal lehernya. Namun, ia masih menunggu isyarat dari Nabi, hingga Nabi menanyakan, “Tidakkah ada seorang pun dari kalian yang membunuh Hadzal Kalb; anjing ini?!”
Hal ini menjadi dalil tentang kebolehan bersikap tegas terhadap para penghina Rasulullah. Para ulama menyepakati tentang hukum keras terhadap para penghina Islam dan penghina Rasulullah Saw, baik ia seorang muslim atau kafir sekalipun.
Apakah hukuman ini dinilai ekstrim dan berlebihan? Ataukah Islam itu kejam?
Tidak! Semua tujuannya demi menegakkan keadilan dan kedamaian dunia!! Prinsip logisnya, “Lebih baik mematikan satu virus, daripada menjangkiti banyak korban lainnya”.
Tidak semua maaf itu dalam bentuk melupakan, namun penegakkan keadilan dan efek jera adalah bentuk upaya menciptakan kedamaian, sehingga tak ada seorang pun yang mudah untuk saling melecehkan dan menghinakan manusia lainnya, terlebih manusia mulia panutan teladan dalam kepercayaan suatu agama umat manusia.
Secara detailnya, para tokoh ulama Syafiyyah seperti Imam Taqiyuddin as-Subki telah menyusun kita khusus berjudul: “As-Saif al-Maslul ‘ala Man Sabb ar-Rasul.” (Pedang Terhunus atas Orang yang Mencela Rasul).
Ibn Taimyyah juga menulis kitab: “As-Saif Sharim ‘ala Man Syatim ar-Rasul.” (Pedang Terhunus atas Orang yang Mengecam Rasul). Ada pula kitab lainnya “As-Saif al-Jaally ‘ala Man Saab an-Nabi” (Pedang yang Berkilau atas Orang yang Menghina Nabi).
Sebaliknya, jika penghinaan terhadap diri pribadi Rasulullah Saw beliau memang seorang yang penyayang dan penyabar. Beliau seorang Nabiyurrahmah; Nabi yang Pengasih dan Penyayang.
Lihat saja riwayat berikut, Aisyah ra pernah mengisahkan:
“Suatu kali aku berjalan bersama Rasulullah Saw, beliau mengenakan pakaian Najran yang tebal pinggirannya. Pada saat itu beliau berpapasan dengan seorang Arab Badui, tiba-tiba si Arab Badui itu menarik kain beliau dengan keras, sehingga aku dapat melihat bekas tarikan itu pada leher beliau.
Ternyata tarikan itu begitu keras, sehingga ujung kain yang begitu tebal itu membekas di leher beliau. Si Arab Badui itu berkata, “Wahai Muhammad, berikanlah kepadaku sebagian yang kamu miliki dari harta Allah!
Lantas beliau menoleh kepadanya sambil tersenyum, lalu mengabulkan permintaan Arab Badui yang berbuat kasar itu disebabkan akhlak dan kasih sayang beliau.” [Muttafaqun alaih].
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra menceritakan:
مَا ضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ شَیْأً قَطُّ بِیَدِهِ وَلاَ إِمْرَأَةً وَلاَ خاَدِماً إِلاَّ أَنْ یُجَاهِدَ فِی سَبِیْلَ اللهِ وَماَ نِیْلَ مِنْهُ شَیْئٌ قَطُّ فَیَنْتَقِمَ مِنْ صَاحِبِهِ إلاَّ أَنْ یُنْتَهَکَ شَیْءٌ مِنْ مَحَارِمَ اللهِ فَیَنْتَقِمُ للهِ تَعاَلیَ.
“Rasulullah Saw tidak pernah sama sekali memukul sesuatu dengan tangannya, tidak pula wanita maupun pembantunya, kecuali dalam rangka berjihad di jalan Allah.
Dan tidaklah pernah beliau membalas suatu mudharat yang ditimpakan oleh orang lain atas dirinya, kecuali jika kehormatan Allah yang dilanggar, maka beliau membalasnya semata-mata karena Allah.” [HR. Bukhari-Muslim]
Dari sinilah kita harus mampu membedakan antara sikap pembelaan yang diperbolehkan dan pembelaan yang dilarang.
Begini saja, secara logika, bayangkan jika ayah ibunya dihina dan diolok-olok, apa kamu tidak merasa tersinggung. Jika tidak, maka secara mentalmu sangat bermasalah.
Semoga tulisan ini dapat dipahami dalam memposisikan dan menempatkan sikap terbaik dalam menyikapi penghinaan terhadap Rasulullah Saw. Semoga bermanfaat dan dapat diambil hikmahnya. Wassalam.
Oleh: TG. DR. Miftah el-Banjary, MA