Fikroh.com – Ada sebagian kalangan yang tak dipaksa bahkan tak pula diminta malah berinisiatif mengucapkan selamat natal kepada saudara mereka (karena mereka sendiri yang mengaku saudara dengan orang Nashrani) dari kalangan Nashrani, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas telah bersabda,
لا تبدؤوا اليهود ولا النصارى بالسلام فإذا لقيتم أحدهم في طريق فاضطروه إلى أضيقه
“Janganlah kalian memulai orang Yahudi dan Nashrani dengan ucapan salam, dan kalau kalian bertemu mereka di jalan maka desaklah mereka ke tempat yang paling sempit.” (HR. Muslim, no. 2167 dari Abu Hurairah ra).
Kalau memberi salam biasa saja dilarang apalagi salam untuk hari raya keagamaan yang sesat dan sudah diselewengkan serta kedustaan atas nama baik Nabiyullah Isa –alahis salam?
Dalam sebuah bayan (manifesto) organisasi Islam ternama dengan gamblang dan bangga mengucapkan selamat natal ini kepada kaum Nashrani bahkan menganggapnya sebagai menifestasi dari perintah Allah untuk berbuat baik dan adil kepada mereka. Pertanyaannya apakah berbuat baik kepada mereka harus dengan mengucapkan selamat natal?
Di akhir manifestonya mereka mencantumkan ayat ke-82 surah Al-Maidah seakan menjadikannya dalil dari absahnya pengucapan selamat natal ini dalam Islam.
Baiklah, mari kita kaji tafsir ayat tersebut apakah benar menunjukkan apa yang mereka inginkan?
Berikut bunyi surah Al-Maidah tersebut:
لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِينَ آَمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُمْ مَوَدَّةً لِلَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَى ذَلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ
”Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. dan Sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Kami ini orang Nasrani”. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena Sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri.”
Ayat selanjutnya berbunyi,
83. dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu Lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari Kitab-Kitab mereka sendiri); seraya berkata: “Ya Tuhan Kami, Kami telah beriman, Maka catatlah Kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad s.a.w.).
84. mengapa Kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada Kami, Padahal Kami sangat ingin agar Tuhan Kami memasukkan Kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh ?”.
85. Maka Allah memberi mereka pahala terhadap Perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. dan Itulah Balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya).
86. dan orang-orang kafir serta mendustakan ayat-ayat Kami, mereka Itulah penghuni neraka. (Qs. Al-Maidah : 83-86).
Ayat 82 tidak bisa dipisahkan dengan ayat-ayat selanjutnya. Sebab, dalam ayat ini Allah tidak sedang ingin mengatakan bahwa kaum Nashrani itu akan cinta kepada kalian wahai pengikut Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tidak mungkin mereka secara umum bisa cinta kepada kalian padahal Allah sendiri sudah menetapkan bahwa mereka tidak akan ridha kepada kalian sampai kalian mengikuti agama mereka (lihat surah Al-Baqarah ayat 120). Ayat ini hanya menjelaskan ada sebagian dari kalangan Nashrani itu yang cinta kepada kalian, itupun ada sebabnya. Yaitu bahwa diantara mereka terdapat para rahib dan biarawan yang tulus beribadah kepada Allah dan mengikuti kebenaran.
Terbukti, setelah mereka mendengar kebenaran Islam dan mendengar lantunan ayat-ayat suci Al-Quran maka air mata merekapun tak dapat tertahankan sehingga akhirnya mereka beriman kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan memperhatikan tafsiran para ulama dan kepada siapa ayat ini diturunkan tentu kita akan paham bahwa ayat tersebut bukanlah dalil absahnya pengucapan selamat hari raya keagamaan mereka. Mari kita perhatikan penjelasan para ulama tafsir dalam hal ini:
Ath-Thabari dalam tafsirnya (jilid 10 hal. 498 dan seterusnya) mengemukakan beberapa riwayat tentang siapa yang dimaksud dalam ayat ini. Ternyata mereka adalah kaum Nashrani Habasyah yang didatangi oleh para muhajirin pimpinan Ja’far bin Abi Thalib ra lalu dibacakanlah kepada mereka ayat Al-Quran sampai mereka menangis mendengarnya dan langsung beriman kepada Al-Quran sebagaimana yang disebutkan dalam rangkaian ayat sampai ayat 86.
Selanjutnya Ath-Thabari menjelaskan pendapatnya tentang siapa kaum Nashrani yang lebih dekat kecintaannya kepada kaum mukminin ini:
والصواب في ذلك من القول عندنا أن يقال: إن الله تعالى ذكره أخبرَ عن النفر الذين أثنى عليهم من النصارى بقرب مودتهم لأهل الإيمان بالله ورسوله، أن ذلك إنما كان منهم لأن منهم أهلَ اجتهاد في العبادة، وترهُّب في الديارات والصوامع، وأن منهم علماء بكتبهم وأهل تلاوة لها، فهم لا يبعدون من المؤمنين لتواضعهم للحق إذا عرفوه، ولا يستكبرون عن قبوله إذا تبيّنوه، لأنهم أهل دين واجتهاد فيه، ونصيحة لأنفسهم في ذات الله، وليسوا كاليهود الذين قد دَرِبُوا بقتل الأنبياء والرسل، ومعاندة الله في أمره ونهيه، وتحريفِ تنزيله الذي أنزله في كتبه.
”Yang benar dari pendapat-pendapat tersebut menurut kami adalah bahwa Allah Ta’ala mengabarkan tentang keberadaan suatu kaum Nashrani yang Dia puji lantaran dekatnya kecintaan mereka kepada orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itu hanyalah bagian dari mereka, karena di antara mereka itu ada ahli ijtihad dan ahli ibadah yang menyepi di biara-biara. Di antara mereka juga ada para ulama yang mengerti isi kitab dan bisa membacanya. Mereka ini tidak jauh dari kaum mukminin karena sikap mereka yang tunduk pada kebenaran kalau mereka tahu itu benar, dan mereka tidak angkuh untuk menerima kebenaran itu kalau sampai kepada mereka. Karena mereka adalah orang-orang agamis dan ahli ijtihad dan selalu memperhatikan keadaan mereka terhadap Allah. Mereka tidak sama dengan Yahudi yang telah terbiasa membunuh para nabi dan rasul, serta membantah perintah dan larangan Allah ditambah pengubahan terhadap isi kitab Allah yang diturunkan kepada mereka.”
Al-Jasash dalam kitab Ahkam Al-Quran menerangkan ayat ini lalu mengomentari,
وَمِنْ الْجُهَّالِ مَنْ يَظُنُّ أَنَّ فِي هَذِهِ الْآيَةِ مَدْحًا لِلنَّصَارَى وَإِخْبَارًا بِأَنَّهُمْ خَيْرٌ مِنْ الْيَهُودِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ وَذَلِكَ لِأَنَّ مَا فِي الْآيَةِ مِنْ ذَلِكَ إنَّمَا هُوَ صِفَةُ قَوْمٍ قَدْ آمَنُوا بِاَللَّهِ وَبِالرَّسُولِ يَدُلُّ عَلَيْهِ مَا ذُكِرَ فِي نَسَقِ التِّلَاوَةِ مِنْ إخْبَارِهِمْ عَنْ أَنْفُسِهِمْ بِالْإِيمَانِ بِاَللَّهِ وَبِالرَّسُولِ وَمَعْلُومٌ عِنْدَ كُلِّ ذِي فِطْنَةٍ صَحِيحَةٍ أَمْعَنَ النَّظَرَ فِي مَقَالَتَيْ هَاتَيْنِ الطَّائِفَتَيْنِ أَنَّ مَقَالَةَ النَّصَارَى أَقْبَحُ وَأَشَدُّ اسْتِحَالَةً وَأَظْهَرُ فَسَادًا مِنْ مَقَالَةِ الْيَهُودِ لِأَنَّ الْيَهُودَ تُقِرُّ بِالتَّوْحِيدِ فِي الْجُمْلَةِ وَإِنْ كَانَ فِيهَا مُشَبِّهَةٌ تُنْقِصُ مَا أَعْطَتْهُ فِي الْجُمْلَةِ مِنْ التَّوْحِيدِ بِالتَّشْبِيهِ.
”Di antara orang-orang yang tidak tahu ada yang mengira bahwa dalam ayat ini terkandung pujian bagi Nashrani bahwa mereka lebih baik daripada Yahudi, padahal tidaklah demikian, karena dalam ayat ini hanyalah dijelaskan sifat dari suatu kaum yang telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini ditunjukkan oleh konteks ayat yang merupakan informasi tentang diri mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul.
Sudah maklum bagi setiap orang yang punya wawasan yang benar dan mendalami perkataan-perkataan yang ada dalam kedua kelompok tersebut (Yahudi dan Nashrani) bahwa perkataan Nashrani lebih buruk, lebih mustahil dan lebih jelas rusaknya daripada perkataan Yahudi. Sebab, Yahudi sendiri masih mengakui tauhid secara global meski di dalamnya tercampur dengan akidah tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk –penerj).
(Ahkam Al-Quran 4/109, tahqiq Al-Qamhawi terbitan Dar Ihya` At-Turats Al-Arabi tahun 1405 H)
Sayyid Quthb berkata:
”Sesungguhnya ayat ini menggambarkan sebuah keadaan dan menetapkan sebuah hukum dalam keadaan tersebut. Menggambarkan keadaan sekelompok orang yang mengikuti Isa –alaihis salam- yaitu mereka yang mengatakan, ”Kami adalah Nashara” dan ayat ini menetapkan mereka itulah yang lebih dekat kecintaannya kepada orang-orang yang beriman.
Akan tetapi dengan menelusuri kesemua ayat maka tidak akan ada lagi keraguan bahwa ayat ini hanya berlaku untuk keadaan tertentu yang berlaku untuk ketetapan tertentu pula. Banyak orang yang salah mengartikan ayat ini dan menjadikannya sebagai bahan yang dapat mencairkan sehingga menyakiti kehormatan kaum muslimin dan posisi mereka dalam berbagai ketentaraan dan bagaimana sikap satuan ketentaraan ini terhadap mereka.” (Fii Zhilaal Al-Quran 2/962).
Sayyid kemudian menerangkan panjang lebar pandangannya bahwa ayat Al-Quran tidak membiarkan kita menduga bahwa ayat ini berlaku untuk semua yang mengaku Nashrani, tapi kelanjutan ayat itu menjelaskan bagaimana sikap Nashrani yang cinta kepada kaum mukminin itu. Mereka menangis tatkala mendengar ayat Allah lalu beriman kepadanya. Adakah sifat ini tampak pada mereka yang sedang merayakan natal tersebut?
Jadi, ayat ini bukanlah menggambarkan keseluruhan sikap kaum Nashrani, melainkan kaum tertentu yang masih memegang kebenaran kala itu karena mereka tidak sombong. Hal itu tetap berlaku hingga kini, sehingga siapapun di kalangan Nashrani yang berusaha mencari kebenaran dan bersedia masuk Islam setelah mendengar hujjah maka merekalah cakupan ayat itu. Tapi bagaimana dengan kaum Nashrani yang diberi ucapan selamat natal itu? Apakah mereka termasuk di dalamnya? Bukankah mereka tetap kafir kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan yang lebih parah lagi mereka katakan bahwa Tuhan punya anak, sedangkan Nashrani Habasyah yang dimaksud dalam ayat itu tidak pernah mengatakan Tuhan punya anak, dan tentu mereka tidak pernah merayakan natal.