Fatwapedia.com – Pada tulisan sebelumnya sudah saya kemukakan hujjah saya bahwa Salafush Shaleh itu memahami makna-makna dari sifat Allah secara global, tidak secara rinci. Silahkan baca Disini Makna rinci ini disebut juga dengan kaifiyyah, inilah yang tidak diketahui, atau ditafwidh (diserahkan) kepada Allah.
Sebagian kalangan, yaitu Asy’ariyyah, tidak menerima atau belum memahami hujjah-hujjah yang saya sampaikan. Itu hak mereka. Tapi saya berhak untuk memegang dan mempertanggungjawabkan hujjah-hujjah ini. Terutama di hadapan Allah, kelak di hari kiamat.
Mereka menganggap bahwa Salaf itu tafwidh makna, dalam arti tidak paham sama sekali terhadap nash-nash sifat itu, yang mereka anggap ada keserupaan dengan makhluk.
Baiklah, saya posisikan ini sebagai ijtihad. Dan dari awal memang saya menempatkannya sebagai ijtihad. Saya tidak mengambil pendapat yang ekstrim yang menyesatkan atau mengeluarkan Asy’ariyyah dari Ahlus Sunnah. Saya katakan mereka berijtihad, dan ijtihad mereka keliru.
Jadi, bagaimanakah sebenarnya kondisi aqidah Salaf itu, apakah tafwidh makna ataukah mereka memahami maknanya tapi kaifiyyat sifatnya yang tidak diketahui (tafwidh kaifiyyat). Ini tidak disepakati, ada perbedaan pendapat. Kelompok Asy’ari meyakini tafwidh makna, sedangkan kelompok Atsari meyakini tafwidh kaifiyyah.
Dan yang lebih tepat dan jelas, menurut hujjah-hujjah yang saya pahami, mereka memahami maknanya secara global, hanya makna rinci atau kaifiyyahnya yang tidak dipahami. Karena kalau mereka tidak paham sama sekali, berarti menganggap bahwa mereka bodoh (tajhil) pada banyak atau sebagian besar nash-nash tentang sifat Allah. Kalau memilih metode tafwidh makna untuk diri sendiri saja karena memang tidak memahaminya, itu silahkan saja, tapi kalau menganggap semua Salafush Shaleh tafwidh makna maka konsekwensinya berat. Ini bertentangan dengan sifat mereka sebagai umat terbaik, dan tujuan dari Allah menurunkan wahyu-Nya, yaitu agar Rasulullah saw menjelaskan dan memahamkannya. Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas, dan kita diperintahkan untuk mentadaburinya.
Ada perkataan para ulama Salaf yang dianggap bahwa mereka mentafwidh makna, yaitu, “jangan menafsirkan”, “biarkan sebagaimana datangnya tanpa kaif”, “tanpa kaif dan tanpa makna”. Benarkah ini menunjukkan tafwidh makna?
Untuk memahaminya, kita harus melihat konteks perkataan mereka itu. Yaitu mereka mengatakan itu tiada lain dalam rangka membantah penyimpangan paham Jahmiyyah dan Musyabbihah yang menafsirkan secara salah. Jadi, perkataan mereka sama sekali tidak menunjukkan tidak ada makna zahir yang mereka pahami.
Perkataan, “Jangan ditafsirkan”
Artinya jangan ditafsirkan dengan tafsiran yang salah. Yaitu baik dengan menjelaskan kaifiyyahnya seperti yang dilakukan oleh musyabbihah, ataupun dengan mengalihkannya kepada makna lain seperti yang dilakukan oleh jahmiyyah.
Karena kalau dipahami jangan ditafsirkan sama sekali, ini akan bertentangan dengan adanya tafsiran mereka terhadap nash-nash sifat. Adanya tafsiran dari mereka, jelas menunjukkan mereka memahami makna zahirnya. Seperti tafsiran mereka terhadap istiwa dengan al-‘uluw dan al-irtifa’ (tinggi) (lihat Shahih Bukhari, Tafsir Ibnu Abi Hatim, Tafsir Ath-Thabari, dll).
Berikut ini saya berikan beberapa contoh perkataan Salaf, “Jangan ditafsirkan” maksudnya dengan tafsiran jahmiyyah dan musyabbihah yang keliru.
Pertama, perkataan Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Salam
أخبرنا أحمد بن محمد بن الجراح، ومحمد بن مخلد، قالا: ثنا عباس بن محمد الدوري، قال: سمعت أبا عبيد القاسم بن سلام، وذكر عنده هذه الأحاديث: ” ضحك ربنا عز وجل من قنوط عباده، وقرب غيره، والكرسي موضع القدمين، وأن جهنم لتمتلئ فيضع ربك قدمه فيها , وأشباه هذه الأحاديث؟ فقال أبو عبيد: “هذه الأحاديث عندنا حق يرويها الثقات بعضهم عن بعض إلا أنا إذا سئلنا عن تفسيرها قلنا: ما أدركنا أحدا يفسر منها شيئا ونحن لا نفسر منها شيئا نصدق بها ونسكت
“Telah memberitakan kepada kami Ahmad bin Muhammad Al-Jarrah dan Muhammad bin Makhlad. Keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Abbas bin Muhammad Ad-Duri yang berkata, aku mendengar Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Salam berkata ketika disebutkan hadits-hadits ini yaitu hadits tentang tertawanya Rabb kami ‘Azza wa Jalla terhadap keputus-asaan hamba-hamba-Nya sementara telah dekat perubahannya (dari kesulitan menuju kemudahan kepada-Nya), hadits tentang Kursi adalah tempat kedua kaki-Nya, hadits tentang sesungguhnya neraka jahannam itu akan penuh hingga Tuhanmu meletakkan kaki-Nya padanya, dan hadits-hadits semisalnya, maka Abu ‘Ubaid menjawab ; “Hadits-hadits ini di sisi kami adalah haq (benar), diriwayatkan oleh rawi-rawi yang tsiqah sebagian mereka dari sebagian yang lain. Namun jika ditanyakan kepada kami mengenai tafsirnya maka kami menjawab, ‘kami tidak menjumpai seorang pun yang menafsirkan sesuatu darinya dan kami pun tidak menafsirkan sesuatu pun darinya. Kami membenarkannya dan diam darinya.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah, 5/381)
Perkataan Abu ‘Ubaid di atas sama sekali tidak menunjukkan bahwa beliau mentafwidh makna sifat karena tafsir yang beliau ingkari tertuju kepada kaifiyat dari sifat tersebut. Hal ini terbukti dalam riwayat al-Daraquthni yang secara lengkap disebutkan,
سمعت أبا عبيد القاسم بن سلام، وذكر الباب الذي، يروي فيه الرؤية والكرسي وموضع القدمين، وضحك ربنا من قنوط عباده وقرب غيره، وأين كان ربنا قبل أن يخلق السماء، وأن جهنم لا تمتلئ حتى يضع ربك عز وجل قدمه فيها فتقول: قط قط، وأشباه هذه الأحاديث، فقال: هذه الأحاديث صحاح، حملها أصحاب الحديث والفقهاء بعضهم عن بعض، وهي عندنا حق لا نشك فيها، ولكن إذا قيل كيف وضع قدمه وكيف ضحك؟ قلنا لا يفسر هذا ولا سمعنا أحدا يفسره
“Aku (Ad-Duri) mendengar Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Salam ketika disebutkan hadits tentang ru’yah, kursi adalah tempat kedua kaki Allah, tertawanya Allah karena sikap putus asa hamba-hamba-Nya sementara telah dekat perubahannya, dimana dahulu Allah berada sebelum menciptakan langit dan jahannam akan penuh hingga Tuhanmu ‘Azza wa Jalla meletakkan kaki-Nya padanya lalu jahannam berkata “cukup, cukup” dan hadits-hadits yang semisalnya, beliau (Abu ‘Ubaid) menjawab; “Hadits-hadits ini shahih diriwayatkan oleh ahli hadits dan fikih sebagian mereka dari sebagian yang lain. Hadits-hadits ini adalah benar di sisi kami, kami tidak ragu mengenainya. Tetapi apabila ditanyakan, “Bagaimana (kaif) Allah tertawa?”, “Bagaimana (kaif) Allah meletakkan kaki-Nya?” maka kami menjawab; “Yang demikian tidak ditafsirkan dan kami tidak mendengar ada seorang pun yang menafsirkannya.” (Ash-Shifat lid Daraquthni hal. 40, disebutkan juga oleh al-Dzahabi dalam Siyar A’lam Al-Nubala 10/505)
Perhatikan beliau mengatakan yang demikian termasuk kepada hadits tentang ru’yah (melihat Allah kelak). Siapa yang berani mengatakan bahwa Abu ‘Ubaid tidak mengerti makna ru’yah? Kita semua sepakat bahwa ru’yah itu dipahami maknanya. Maka sangat jelas bahwa tafsir yang beliau ingkari di atas tidak lain adalah takyif.
Hal itu juga ditegaskan oleh Adz-Dzahabi ketika menjelaskan perkataan Abu ‘Ubaid di atas bahwa yang dimaksud bukan berarti Abu ‘Ubaid mengingkari tafsir karena para ulama Salaf pun menafsirkannya dan Abu ‘Ubaid sendiri pun menafsirkannya berdasarkan lughah-nya. Adz-Dzahabi berkata,
قد فسر علماء السلف المهم من الألفاظ وغير المهم
“Para ulama salaf telah menafsirkan baik yang urgen maupun tidak dari lafazh-lafazh ini (tentang sifat).” (Siyar A’lam al-Nubala, 10/506)
وقد ألف كتاب غريب الحديث، وما تعرض الأخبار الصفات بتفسير، بل عنده [أن] لا تفسير لذلك غير موضع الخطاب العربي
“Beliau (Abu ‘Ubaid) telah menyusun kitab Gharib Al-Hadits dan tidaklah beliau menentang khabar-khabar sifat dengan suatu tafsir pun. Bahkan di sisi beliau tidak ada tafsir terhadap hal tersebut selain (tafsiran) bahasa yang ditunjuki oleh khithab Arab.” (Al-‘Uluww, hal. 183)
Kedua, perkataan imam At-Tirmidzi
قد روي عن النبي صلى الله عليه وسلم روايات كثيرة مثل هذا ما يذكر فيه أمر الرؤية أن الناس يرون ربهم وذكر القدم وما أشبه هذه الأشياء والمذهب في هذا عند أهل العلم من الأئمة مثل سفيان الثوري، ومالك بن أنس، وابن المبارك، وابن عيينة، ووكيع وغيرهم أنهم رووا هذه الأشياء، ثم قالوا: تروى هذه الأحاديث ونؤمن بها، ولا يقال: كيف؟ وهذا الذي اختاره أهل الحديث أن يرووا هذه الأشياء كما جاءت ويؤمن بها ولا تفسر ولا تتوهم ولا يقال: كيف، وهذا أمر أهل العلم الذي اختاروه وذهبوا إليه. ومعنى قوله في الحديث: فيعرفهم نفسه يعني يتجلى لهم
“Dan telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam riwayat-riwayat yang banyak semisal ini, yang padanya disebutkan tentang ru’yah bahwa manusia kelak akan melihat Rabb mereka, lalu tentang kaki Allah dan yang semisalnya (dari khabar-khabar tentang sifat). Dan pendapat para ulama dalam hal ini semisal Sufyan Ats-Tsauri, Malik bin Anas, Ibnul Mubarak, Ibn ‘Uyainah, Waki’ dan yang lainnya adalah mereka meriwayatkan khabar-khabar ini dan mengatakan, “hadits-hadits ini diriwayatkan, kami mengimaninya dan tidak ditanyakan “kaif (bagaimananya)”. Inilah pendapat yang dipilih oleh para Ahli Hadits bahwa hadits-hadits ini diriwayatkan sebagaimana datangnya, diimani dan tidak ditafsirkan. Tidak pula dibayang-bayangkan dan tidak pula ditanyakan “kaif (bagaimananya)”. Inilah pendapat yang dipilih dan dipegang oleh para ulama. Dan makna sabda beliau (shallallahu ‘alaihi wasallam) “fa-yu’arrifuhum nafsahu” adalah “yatajallaa lahum (Allah akan menampakkan diri-Nya kepada mereka).” (Sunan At-Tirmidzi, 4/691)
Yang membaca dengan cermat perkataan imam At-Tirmidzi di atas tentu mengetahui bahwa tidak ada sedikit pun unsur tafwidh makna di dalamnya. Adapun yang beliau maksud dengan ‘tidak ditafsirkan’ adalah ‘takyif’ karena beliau sendiri menafsirkan hadits tersebut dengan mengatakan, “Dan makna sabda beliau (shallallahu ‘alaihi wasallam) “fa-yu’arrifuhum nafsahu” adalah “yatajallaa lahum (Allah akan menampakkan diri-Nya kepada mereka).”
Lalu bagaimana mungkin kita mengatakan Imam At-Tirmidzi tidak mengerti makna ru’yah? Dan terlihat pula beliau menyamakan pemahamannya antara hadits tentang ru’yah dan tentang sifat kaki Allah di atas, maka ketika kita telah memahami bahwa mustahil Imam al-Tirmidzi tidak mengerti tentang makna ru’yah, demikian pula mustahil beliau tidak mengerti makna sifat kaki Allah.
Dan inilah madzhab Salaf. Mereka tidak membeda-bedakan antara sifat khabariyyah dan yang lainnya seperti kalangan ahli kalam. Tidak ada dari mereka yang mengatakan sebagian sifat melazimkan tasybih dan sebagian lain tidak. Mereka memahaminya sama antara sifat yang satu dengan yang lainnya.
Di tempat lain, imam At-Tirmidzi dengan tegas menyatakan bahwa tafsir yang dinafikan adalah tafsir kalangan Jahmiyyah. Beliau berkata,
وقد قال غير واحد من أهل العلم في هذا الحديث وما يشبه هذا من الروايات من الصفات: ونزول الرب تبارك وتعالى كل ليلة إلى السماء الدنيا، قالوا: قد تثبت الروايات في هذا ويؤمن بها ولا يتوهم ولا يقال: كيف هكذا روي عن مالك، وسفيان بن عيينة، وعبد الله بن المبارك أنهم قالوا في هذه الأحاديث: أمروها بلا كيف “، وهكذا قول أهل العلم من أهل السنة والجماعة، وأما الجهمية فأنكرت هذه الروايات وقالوا: هذا تشبيه، وقد ذكر الله عز وجل في غير موضع من كتابه اليد والسمع والبصر، فتأولت الجهمية هذه الآيات ففسروها على غير ما فسر أهل العلم، وقالوا: إن الله لم يخلق آدم بيده، وقالوا: إن معنى اليد هاهنا القوة
“Dan lebih dari satu ulama mengatakan mengenai hadits ini dan yang semisalnya dari riwayat-riwayat tentang sifat-sifat Allah (seperti) : turun-Nya Allah Tabaraka wa Ta’ala setiap malam ke langit dunia. Maka para ulama mengatakan, “Riwayat-riwayat mengenai hal ini telah shahih maka ia diimani, tidak dibayang-bayangkan dan tidak pula ditanyakan ‘kaif (bagaimananya)’.” Seperti inilah yang diriwayatkan dari Malik, Sufyan bin ‘Uyainah dan ‘Abdullah bin al-Mubarak bahwa mereka berkata mengenai hadits-hadits ini; “Biarkan ia sebagaimana datang tanpa kaif (takyif)” dan seperti ini pula pendapat para ulama dari kalangan Ahlus Sunnah wal-Jama’ah. Adapun kalangan Jahmiyyah maka mereka mengingkari riwayat-riwayat ini dan mereka mengatakan ; “ini tasybih”. Dan sungguh Allah ‘Azza wa Jalla telah menyebutkan lebih pada satu tempat dalam kitab-Nya mengenai sifat al-yad (tangan), al-sam’u (pendengaran) dan al-bashar (penglihatan). Lalu kalangan Jahmiyyah mentakwilkan ayat-ayat ini kemudian mereka menafsirkannya dengan selain penafsiran para ulama. Mereka (Jahmiyyah) mengatakan, “Sesungguhnya Allah tidak menciptakan Adam dengan tangan-Nya”, mereka mengatakan “Makna al-yad (tangan) disini adalah al-quwwah (kekuatan).” (Sunan al-Tirmidzi, 3/50).
Maka jelas bahwa tafsir yang diingkari adalah penafsiran Jahmiyyah yang mentakwil sifat al-yad dengan makna quwwah. Perhatikan kembali bagaimana imam At-Tirmidzi menyamakan pemahamannya antara sifat al-yad dengan al-sam’u dan al-bashar. Berbeda dengan kalangan Asya’irah dimana sifat al-sam’u dan al-bashar tidaklah di-tafwidh makna keduanya oleh mereka, namun tidak demikian halnya dengan sifat al-yad karena dianggap melazimkan tasybih apabila tidak ditafwidh atau ditakwil. Maka ada dua pilihan bagi mereka dalam menentukan sikap Imam al-Tirmidzi di atas, yaitu :
• Imam At-Tirmidzi tidak mengetahui makna al-yad, as-sam’u dan al-bashar
• Imam At-Tirmidzi mengetahui dan menetapkan makna al-yad, al-sam’u dan al-bashar sebagaimana zhahirnya
Ketiga, perkataan imam Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani
اتفق الفقهاء كلهم من المشرق إلى المغرب على الإيمان بالقرآن والأحاديث التي جاء بها الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في صفة الرب عزّ وجلّ من غير تغيير ولا وصف ولا تشبيه، فمن فسر اليوم شيئًا من ذلك فقد خرج مما كان عليه النبي صلى الله عليه وسلم وفارق الجماعة فإنهم لم يصفوا ولم يفسروا لكن أفتوا بما في الكتاب والسنة ثم سكتوا. فمن قال بقول جهم فقد فارق الجماعة لأنه قد وصف بصفة لا شيء.
“Semua ahli fikih dari wilayah timur hingga barat sepakat beriman kepada Al-Qur’an dan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang tsiqah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai sifat Rabb ‘Azza wa Jalla tanpa mengubahnya (takwil), tanpa sifat (dengan selain apa yang telah dikhabarkan), dan tanpa tasybih. Barangsiapa menafsirkannya pada hari ini maka ia telah telah keluar dari apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berada di atasnya dan memisahkan diri dengan jama’ah. Karena sesungguhnya mereka tidak menyifati (selain dari apa yang telah dikhabarkan) dan tidak menafsirkannya, tetapi mereka berfatwa dengan apa yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah lalu mereka diam. Barangsiapa yang berkata dengan pendapat Jahm, maka ia telah memisahkan diri dengan jama’ah, karena ia telah menyifati Allah dengan sifat yang tiada.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah, 3/432)
Al-Hafizh Ibn Hajar menukilnya dalam al-Fathul Bari dengan menyebutkan,
فمن فسر منها شيئًا وقال بقول جهم فقد خرج عما كان عليه النبي صلى الله عليه وسلم
“Maka barangispa yang menafsirkan sesuatu darinya dan berkata dengan perkataan Jahm maka ia telah keluar dari apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berada di atasnya.” (Fathul Bari, 13/418).
Jelaslah bahwa tafsir yang dimaksud adalah tafsir Jahmiyyah.
Keempat, perkataan imam Ahmad
قلت لأبي عبد الله حدث محدث وأنا عنده بحديث يضع الرحمن فيها قدمه وعنده غلام فأقبل على الغلام فقال إن لهذا تفسيرا فقال أبو عبد الله أنظر إليه كما تقول الجهمية سواء
“Aku berkata kepada Abu ‘Abdillah (imam Ahmad), Seseorang menceritakan sebuah hadits dan aku ada di sisinya dengan hadits “Allah Al-Rahman akan meletakkan kaki-Nya padanya”. Dan di sisinya terdapat seorang pemuda, lantas ia mendatangi pemuda tersebut dan berkata, “Sesungguhnya pada hadits ini terdapat tafsir”. Maka Abu ‘Abdillah berkata, “Lihatlah padanya (perkataannya) sama seperti yang dikatakan oleh Jahmiyyah.” (Al-Masa’il wa Ar-Rasa’il Al-Marwiyah ‘an al-Imam Ahmad fil-‘Aqidah, 1/31]
Jelas sekali, pengingkaran tafsir tersebut ditujukan kepada tafsir Jahmiyyah.
Kelima, perkataan imam Ibnu Baththah Al-‘Ukbari
ثم الإيمان والقبول والتصديق بكل ما روته العلماء، ونقله الثقات أهل الآثار عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، ويلقاها بالقبول … ولا يعمل لها التفاسير، إلا ما فسّره رسول الله صلى الله عليه وسلم أو رجل من علماء الأمة ممن قوله شفاء وحجة مثل أحاديث الصفات والرؤية
“Kemudian mengimaninya, menerimanya dan membenarkan semua yang diriwayatkan oleh para ulama dan dinukilkan oleh Ahlul-Atsar yang tsiqah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan diterima juga diridhai… Tidak diberlakukan tafsir-tafsir kecuali apa yang telah ditafsirkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau seorang ulama umat yang perkataannya adalah syifa dan hujjah, semisal hadits-hadits seputar sifat-sifat Allah dan ru’yah.” (Al-Ibanah Ash-Shughra, hal. 235]
Maka jelas ada tafsir yang ditolak dan ada pula yang tidak seperti tafsir ulama yang diakui keilmuannya dimana perkataannya adalah hujjah.
Hal ini senada dengan perkataan imam Sufyan bin ‘Uyainah yang diriwayatkan Ibnu Mandah berikut,
هذه الأحاديث التى جاءت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم فى الصفات والنزول والرؤية حق نؤمن بها ولا نفسرها إلا ما فسر لنا من فوق
“Hadits-hadits ini yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai sifat-sifat Allah, nuzul dan ru’yah adalah haq (benar). Kami mengimaninya dan kami tidak menafsirkannya kecuali apa yang telah ditafsirkan kepada kami oleh Dia yang ada di atas (Allah).” (At-Tauhid li-Ibni Mandah, 3/308]
Ini semua menunjukkan bahwa salaf sama sekali tidak mengingkari tafsir sebagaimana diklaim sebagian orang.
Keenam, para imam menggunakan ungkapan “tidak menafsirkan” pada hal-hal yang semua orang sepakat mengetahui maknanya. Diantaranya seperti perkataan jmam Ahmad berikut ini,
وهذه الأحاديث التي جاءت : «ثلاث من كن فيه فهو منافق» هذا على التغليظ، نرويها كما جاءت ولا نفسرها. وقوله: «لا ترجعوا بعدي كفارا ضلالا يضرب بعضكم رقاب بعض» , ومثل: «إذا التقى المسلمان بسيفيهما فالقاتل والمقتول في النار» , ومثل: «سباب المسلم فسوق وقتاله كفر» , ومثل: ” من قال لأخيه: يا كافر فقد باء بها أحدهما ” , ومثل: «كفر بالله تبرؤ من نسب , وإن دق» . ونحوه من الأحاديث مما قد صح وحفظ فإنا نسلم له وإن لم يعلم تفسيرها , ولا يتكلم فيه ولا يجادل فيه ولا تفسر هذه الأحاديث إلا بمثل ما جاءت
“Hadits-hadits ini : “Tiga perkara yang apabila ada pada diri sesorang maka ia adalah munafik”. Ini adalah sebagai ancaman berat, kami meriwayatkannya sebagaimana datangnya dan kami tidak menafsirkannya. Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam “Janganlah kamu kembali menjadi orang-orang kafir yang sangat sesat sepeninggalku. Sebagian kamu membunuh sebagian yang lain.” Dan semisal hadits, “Apabila dua orang muslim saling berhadapan dengan mengangkat pedang, maka si pembunuh dan yang terbunuh keduanya masuk ke dalam neraka.” Dan semisal hadits, “Mencaci seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekafiran.” Dan semisal hadits, “Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya, “Wahai orang kafir”, maka perkataan tersebut akan kembali kepada salah satu dari keduanya.” Dan semisal hadits, “Merupakan kekafiran kepada Allah adalah berlepas diri dari nasab walaupun sekecil apapun.” Dan yang semisal hadits-hadits tersebut dari apa yang telah shahih dan terjaga. Kami menerimanya walaupun tidak diketahui tafsirnya. Kami tidak membicarakannya dan tidak memperdebatkannya. Dan kami (juga) tidak menafsirkan hadits-hadits ini kecuali sebagaimana ia datang (seperti apa adanya).” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis-Sunnah li al-Lalaka’i 1/182, Ushul al-Sunnah li al-Imam Ahmad riwayat ‘Abdus al-‘Aththar hal. 82).
Dengan uraian di atas kita mengetahui dengan jelas bahwa perkataan Salaf “jangan ditafsirkan” sama sekali tidak bermaksud meniadakan pemahaman terhadap makna zahir yang dikandung di dalam nash. Wallahu A’lam.