Fatwapedia.com – Para Ulama berbeda pendapat tentang batasan minimal diperbolehkan mengqoshor sholat menjadi beberapa pendapat. Dinukil dari Imam Ibnul Mundzir bahwa dalam masalah ini ada sekitar 20 pendapat. Kami akan menyebutkan beberapa pendapat yang Mu’tabar yaitu :
I. Pendapatnya Hanafiyah
Imam As Sarkhosiy berkata dalam kitabnya “Al Mabsuuth” yang merupakan rujukan penting dalam madzhab Hanafi : “Kami menetapkan ukuran dikatakan seorang bersafar adalah selama jarak tiga hari berjalan, berdasarkan dua hadits. Yang pertama sabda Nabi:
“Janganlah seorang wanita bersafar lebih dari tiga hari tiga malam melainkan harus ditemani saudara mahrohmnya”. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Kemudian beliau berkata, yang kedua sabda Nabi:
“diperbolehkan bagi orang yang mukim menyapu sepatunya selama satu hari satu malam dan bagi Musafir tiga hari tiga malam”. (HR. Tirmidzi dan Naa’i)
Sampai kepada perkataan beliau rohimahulloh: ‘hal ini tidak dikaitkan dengan jarak farsakh, karena hal ini sesuai dengan perbedaan jalan yang ditempuh dari segi kemudahan, jalan perbukitan, daratan atau lautan. Maka yang dijadikan ukuran adalah hari dan marhalahnya. Hal ini dapat diketahui orang-orang (yang biasa melakukan perjalanan), sehingga dikembalikan kepada kebiasan mereka ketika terjadi kebimbangan, ketika seseorang berniat untuk mengadakan perjalanan yang ditempuh dalam waktu tiga hari, maka (diperbolehkan) menqoshor sholat”.-selesai-
Jadi kesimpulan dalam pendapat Hanafiyah adalah : tidak diperbolehkan seseorang mengqoshor sholat dengan jarak perjalanan yang kurang dari tiga hari dan tidak ada batasan jarak tertentu, mereka hanya membatasinya dengan hari dan marhalah.
II. Pendapat Malikiyah
Imam Malik telah menulis dalam kitabnya “Al Mudawanatul Kubro” sebagai berikut : “sebelumnya Imam Malik berpendapat diperbolehkan mengqoshor sholat dengan jarak perjalanan sehari semalam, lalu beliau meninggalkannya. Kemudian Imam Malik merevisi pendapatnya dengan mengatakan : ”Tidak diperbolehkan mengqoshor sholat sebelum menempuh jarak 48 Mil sebagaimana perkataan Ibnu Abbas sejauh 4 Barid.
Jadi kesimpulan dalam pendapat Malikiyah adalah : tidak diperbolehkan seseorang mengqoshor sholat dengan jarak perjalanan yang kurang dari 48 Mil atau setara dengan 88.7 Km.
III.Pendapat Syafi’iyah
Sebagaimana dalam “Al Umm”, Imam Syafi’I berpendapat bahwa diperbolehkan qoshor sejauh perjalanan dua hari atau lebih, ini sekitar jaraknya 46 Mil Hasyimiy. Namun Imam Syafi’I memilih untuk dirinya sendiri dalam rangka kehati-hatian dengan membatasi jarakanya perjalanan tiga hari. Kemudian beliau rohimahulloh menyebutkan dalilnya yaitu :
A. Akhbaronaa Sufyan dari ‘Amr dari Athoo’ dari Ibnu Abbas ia ditanya, apakah engkau men-qashar sholat? Maka beliau menjawab : ‘tidak’, namun kalau ke ‘Usfaan, ke Jeddah atau ke Thoif (aku melakukan qoshar). Imam Syafi’I menyebutkan jarak kota-kota tersebut dari Mekkah adalah sekitar 46 Mil Hasyimiy, yaitu setara perjalanan dua hari atau lebih.
B. Akhbaronaa Malik dari Naafi’ bahwa beliau bersafar bersama Ibnu Umar sejauh 1 barid dan Ibnu Umar tidak men-qashar sholat. Akhbaronaa Malik dari Naafi’ dari Salim bahwa Ibnu Umar pernah melakukan perjalanan ke Dzaatun Nashob dan men-qashar sholat. Imam Malik berkata: “jarak antara Dzaatun Nashob dengan Madinah sejauh 4 Barid.
Jadi kesimpulan dalam pendapat Syafi’iyah adalah: diperbolehkan seseorang mengqoshor sholat dengan jarak perjalanan dua hari atau lebih atau setara dengan 85 Km. namun Imam Syafi’I memilih berhati-hati dengan mengambil jarak minimal perjalanan 3 hari atau setara dengan jarak 127.5 Km.
IV. Pendapat Hanabilah
Diwakili oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya “Al Mughni” dari Imam Al Atsram ia berkata, Imam Ahmad pernah ditanya, ‘berapakah jarak (diperbolehkan) sholat? Beliau menjawab. “4 barid”. Ditanyakan lagi, ‘apakah itu perjalanan satu hari penuh?’ beliau menjawab: “bukan 4 barid itu setara dengan 16 farsakah yaitu perjalanan 2 hari”. Dalinya adalah sebagaimana yang terdapat dalam riwayat Imam Syafi’i.
Jadi kesimpulan dalam pendapat Hanabilah adalah : diperbolehkan seseorang mengqoshor sholat dengan jarak perjalanan 48 Mil atau setara dengan 88.7 Km.
V. Pendapat Zhahiriyah
Diwakili oleh Imam Ibnu Hazm dalam “Al Muhalla”. Menurut beliau untuk menentukan batas minimal maka dikembalikan kepada istilah dimana bahasa Al Qur’an turun. Rosulullah pernah pergi ke Baqi’ untuk menguburkan orang yang meninggal, buang hajat di gurun dan terkadang para sahabat menemani Beliau , namun Beliau dan para sahabatnya tidak men-qashar sholat. Sehingga kita tidak menamakan sebuah perjalanan sebagai safar, melainkan apa yang dinamakan orang Arab yang Al Qur’an turun kepada mereka sebagai perjalanan Safar. Kami tidak menemukan riwayat minimal yang diperbolehkan qoshor, kecuali dengan jarak 1 mil sebagaimana dalam riwayat Ibnu Umar beliau berkata : “kalau aku pergi dengan jarak 1 Mil, aku akan men-qashar sholat”. Kemudian Imam Ibnu Hazm berpendapat bahwa apabila seseorang bepergian dan jarak rumah yang paling akhir dari kampungnya (atau batas kotanya) lebih dari 1 Mil, maka ia mendapatkan hukum safar yang membolehkan ia men-qashar atau berbuka puasa dan yang semisalnya.
Jadi kesimpulan dalam pendapat Zhahiriyah adalah : diperbolehkan seseorang mengqoshor sholat dengan jarak minimal 1 Mil atau setara dengan 1848 Meter (1.8 Km) yang sudah keluar dari batas kotanya.
Sebelum kita mendiskusikan pendapat-pendapat tersebut dan memilih yang rajih, maka kita perlu mengetahui beberapa kaedah Ushul Fikih sebagai berikut :
1. Wajib bagi seorang Muslim ketika terjadi perbedaan pendapat untuk mengembalikannya kepada Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Salah satu dalil yang masyhur yaitu firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An Nisaa’ (4): 59).
2. Permasalahan yang berkaitan dengan fatwa sahabat. Secara umum fatwa sahabat dibagi menjadi 3 jenis :
A. Pendapat sahabat yang tidak dapat dijangkau dengan akal, seperti berita-berita ghaib atau keadaan pada hari akhir. maka hal ini tidaklah mungkin berasal dari ijtihad mereka, melainkan berasal dari pendengarannya dari Rosulullah , sehingga hal ini adalah hujjah bagi kita. Ini yang disebut dalam istilah Mustholah hadits “Riwayat Mauquf yang dihukumi Marfu”.
B. Pendapat sahabat yang tidak diketahui adanya sahabat lain yang menentangnya, juga dalil bahwa hal ini berasal dari Rosulullah.
C. Para ulama Ushul fiqih hanya berbeda pendapat ketika ada pendapat sahabat yang berasal dari ijtihadnya dan terdapat pendapat sahabat lain yang menyelisihinya. Dalam hal para ulama terbagi menjadi dua pendapat :
yang pertama adalah pendapatnya Imam Abu Hanifah, beliau berkata: “Apabila saya tidak mendapati (hukum) dalam kitab Allah maupun Sunnah Rasul-Nya, maka saya mengambil pendapat sahabat Rasulullah yang saya kehendaki dan meninggalkan pendapat orangorang (shabat) yang saya kehendaki, kemudian saya tidak keluar dari pendapat mereka kepada selainnya”.
Jadi menurut Imam Abu Hanifah dan yang setuju dengannya bahwa perbedaan pendapat sahabat dalam suatu kasus kepada dua pendapat merupakan ijma dari mereka bahwa tidak ada pendapat yang ketiga, selanjutnya perbedaan pendapat terhadap suatu kasus sampai tiga pendapat misalnya, menunujukkan ijma mereka bahwa tidak ada pendapat yang keempat. Dan seterusnya.
Yang kedua adalah Zhahir dari Perkataan Imam Syafi’I bahwa pendapat sahabat tertentu bukan sebagai hujjah, sehingga boleh bagi orang setelahnya menentang pendapat mereka. Logikanya sekiranya hal itu hujjah tentu para sahabat lainnya tidak boleh menentang rekannya sesama sahabat, namun ketika terjadi perbedaan pendapat maka hal ini berasal dari ijtihad mereka yang tidak mengikat dan menjadi hujjah bagi orang lain.
3. Penggunaan istilah-istilah yang syariat menentukannya lebih didahulukan dibanding istilah-istilah secara bahasa.
Kita mulai mendiskusikan dalil-dalil yang dibawakan oleh para Aimah diatas. Kita mulai dari :
1. Pendapatnya Hanafiyah, mereka berdalil dengan dua hadits Nabawi yang pertama berkaitan dengan “tidak bolehnya bagi seorang wanita safar dengan jarak tempuh tiga hari tanpa Mahram”. Maka kelemahan dari pendapat ini adalah :
I. Hadits ini tidak berbicara tentang men-qashar sholat
II. Hadits ini berbicara kepada para wanita dan diketahui dalam ilmu ushul bahwa pembicaraan kepada kaum wanita hanya terbatas kepada mereka tidak kepada kaum pria, kecuali ada dalil lainnya.
Begitu juga dengan hadits yang kedua yang berbicara tentang “waktu diperbolehkan bagi Musafir untuk mengusap sepatu selama tiga hari”. Maka kelemahan yang mendasar adalah bahwa hadist ini tidak berbicara tentang batasan diperbolehkannya qashar. Kemudian apabila mereka beralasan bahwa kata safar dalam hadits tersebut dikaitkan dengan waktu tiga hari, maka dapat kita jawab bahwa kedua hadits ini tidak terdapat isyarat taqyid (pengikatan) bahwa waktu tiga hari adalah suatu perjalanan dikatakan safar. Bahkan dalam riwayat Bukhori-Muslim, “seorang wanita tidak halal safar selama satu hari satu malam perjalanan tanpa Mahram”. Nabi bersabda:
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk bersafar sejauh satu hari semalam tanpa didampingi oleh Mahromnya”.
Dan banyak riwayat yang senada yang menunjukkan bahwa masih dikaitkan dengan safar, perjalanan dengan jarak tempuh yang lebih sedikit dari 3 hari 3 malam, bahkan dalam riwayat lain perjalanan yang lebih sedikit dari sehari semalam, masih dikatakan sebagai safar, diantaranya sabda Nabi :
“Tidak boleh seorang wanita safar sejauh 1 barid (22 Km) tanpa didampingi Mahrom”. (HR. Abu Dawud dan Baihaqi)
2. Pendapatnya Malikiyah dibangun berdasarkan pendapatnya Ibnu Abbas , sehingga ini adalah ijtihad pribadi dari Ibnu Abbas dan sanggahannya akan kita sebutkan riwayat yang marfu dari Nabi dan juga pendapat sahabat lainnya yang bertentangan dengan Ibnu Abbas.
3. Pendapatnya Syafi’iyah juga dibangun berdasarkan ijtihadnya Ibnu Umar dan Ibnu Abbas . Namun dalam masalah ini kita tidak sedang membahas masalah taqlid.
4. Pendapatnya Hanabilah juga mengikuti pendapatnya sahabat.
5. Pendapatnya Zhahiriyah berdasarkan dari sudut istilah secara bahasa tentang safar padahal disana ada nash-nash syar’I yang memalingkannya dari sekedar istilah kebahasaannya. Kemudian Imam Ibnu Hazm juga berdalil dengan riwayat Ibnu Umar padahal lafadz yang datang dari Ibnu Umar juga berbeda-beda.
Kesimpulannya : Para Aimah diatas berdalil dalam menentukan batasan minimal perjalanan yang boleh diqoshor berdasarkan ucapan dan perbuatan sahabat yang merupakan hasil ijtihad dari mereka masing-masing.
Sekarang kita masuk dalam pembahasan tarjih, maka pertanyaan segera yang akan diajukan adalah ‘apakah ada riwayat yang marfu dari Nabi yang menunjukkan batasan minimal diperbolehkannya Qashar? Jawabannya adalah ada beberapa hadits yang berbicara tantang jarak ini yaitu :
1.Dari Jubair bin Nufair ia berkata :
“aku pergi bersama Syurohbiil ibnus Samthi ke sebuah perkampungan yang berjarak 17 atau 18 Mil dan sholat dengan dua rokaat (diqashar). Akupun menanyakan tentang hal ini kepadanya, beliau menjawab : ‘aku melihat Umar sholat dua rakaat (qashar) di Dzul Hulaifah’, aku pun menanyakan hal tersebut kepada beliau dan jawabannya’, sesungguhnya aku melakukan hal ini sebagaimana aku melihat Rosulullah mengerjakannya”. (HR. Muslim).
Dzul Hulaifah jaraknya dari Madinah sekitar 6 atau 7 Mil.
2. Dari Anas bin Malik ia berkata:
“Bahwa Nabi sholat di Madinah 4 rakaat lalu shalat Ashar di Dzul Hulaifah 2 rakaat (diqashar). (Muttafaqun ‘Alaihi)
3.Dari Yahya bin Yazid Al Hunaa’I ia berkata : saya bertanya kepada Anas bin Malik tentang men-qashar sholat? Anas menjawab
“Bahwa Rasulullah jika keluar dengan jarak perjalanan 3 Mil atau 3 Farsakh –
Syu’bah ragu-ragu- beliau shalat 2 rakaat”. (HR. Muslim)
4. Dari Abu Haarun dari Abu Said Al Khudriy ia berkata :
“Bahwa Rasulullah jika keluar dengan jarak perjalanan 1 farsakh (3 Mil) beliau men-qashar sholat dan berbuka”. (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Said bin Manshur, haditnya dilemahkan Imam Al Albani dalam Irwa)
Hadits yang pertama dan kedua menunjukan bahwa Beliau men-qashar sholat di Dzul Hulaifah yang berjarak 6 atau 7 Mil dari Madinah, bahkan dalam hadits yang kedua tegas disebutkan itu adalah sholat Ashar, sehingga dapat menepis keraguan kalau yang dikerjakan Nabi adalah sholat sunnah 2 rakaat, sedangkan dalam riwayat Imam Ahmad itu dilakukan pada waktu haji Wada’, sehingga juga menepis keraguan kalau hal tersebut telah dimansukh (dihapus). Adapun hadits yang ketiga jaraknya adalah 3 Mil atau 3 Farsakh dimana 1 farsakh adalah setara dengan 3 Mil sehingga totalnya adalah 9 Mil, terjadi keragu-raguan dalam diri Imam Syu’bah perowi hadits tentang jumlahnya apakah 3 Mil atau 3 Farsakh (9 Mil), sekalipun didapatkan penguat dalam riwayat hadits no. 4 bahwa jaraknya 3 Mil, namun riwayat ini lemah dengan sebab Abu Harun salah satu perowi haditsnya adalah rowi “Matruk”. Dari 3 hadits shohih ini dapat disimpulkan bahwa Nabi pernah men-qashar sholat dalam perjalanan yang berjarak 6 Mil atau 7 Mil dan 9 Mil. Dan pendapat yang rajih untuk kehati-hatian kami pilih 9 Mil atau setara dengan 17 Km sebagai jarak minimal diperbolehkannya Qashar untuk sholat. Wallahu A’lam.
IV. Batasan Minimal Waktu yang diperbolehkan Mengqoshor dan Menjamak Sholat
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batasan maksimal beberapa hari seorang dianggap Musafir setelah sampai di tempat yang dituju menjadi beberapa pendapat :
1. Maksimal adalah 4 hari, artinya kalau seseorang kemudian tinggal di tempat perantauannya lebih dari 4 hari maka setelahnya ia dianggap sebagai orang yang Mukim dan tidak lagi diperbolehkan men-qashar sholat. Ini adalah pendapatnya Jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Dalil mereka adalah larangan dari Nabi kepada para sahabat Muhajirin untuk tinggal di Mekah lebih dari 3 hari.
2. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat seorang Musafir kemudian menyempurnakan sholatnya setelah tinggal lebih dari 15 hari. Dalilnya adalah perkataan Ibnu Abbas dan Ibnu Umar :
“Jika engakau tinggal di suatu negeri pada waktu safar dan engkau menginginkan tinggal disitu selama 15 hari, maka (setelahnya) sempurnakan sholatmu”.
3. Imam Al Auzaa’I berpendapat setelah ia tinggal selama 20 hari.
4. Imam Robi’ah berpendapat setelah tinggal sehari semalam (24 jam).
5. Pendapat yang rajih adalah sebagaimana jawaban Lajnah Daimah ketika ditanya dengan pertanyaan sebagai berikut :
Soal : “terjadi perselisihan antara aku dengan sahabatku tentang qoshor dalam sholat ketika kami tinggal di Amerika. Kami tinggal disana selama dua tahun. Aku menyempurnakan sholat seperti seolah-olah berada di negeriku sendiri, sedangkan sahabatku men-qasharnya karena menganggap dirinya Musafir sekalipun lama tinggalnya adalah 2 tahun. Kami mohon penjelasan hukum qoshor berkaitan dengan masalah kami beserta dalil-dalilnya?
Jawaban :
Pada asalnya seorang Musafir mengerjakan qoshor pada sholat yang 4 rakaat, berdasarkan Firman Allah:
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu men-qashar sholat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” (QS. An Nisaa’ (4) : 101). Dan berdasarkan pertanyaan Ya’la bin Umayyah “aku bertanya kepada Umar tentang ayat berikut: “Maka tidaklah Mengapa kamu men-qashar sholat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir”. Bukankah kita sekarang dalam keadaan aman? Umar menjawab : ‘aku pun pernah heran sepertimu, lalu aku tanyakan kepada Beliau tentang hal tersebut, kemudian Beliau bersabda: “itu adalah sedekah yang Allah menyedekahkannya kepada kalian, maka terimalah sedekahnya”. (HR. Muslim no. 1605)
Ia dianggap masih dalam hukum safar ketika ia tinggal di tempat yang dituju selama 4 hari kurang, sebagaimana dalam hadits Jaabir dan Ibnu Abbas “bahwa Nabi tinggal di Mekkah pada tanggal 4 Dzul Hijjah untuk melaksanakan haji Wada’. Nabi tinggal pada hari keempat, kelima, keenam dan ketujuh. Beliau sholat subuh di Ibtih pada hari kedelapan dan beliau men-qashar sholat pada harihari tersebut. Beliau telah beniat untuk tinggal disana sebagaimana telah diketahui
(selama 4 hari)”. maka setiap Musafir yang berniat untuk tinggal seperti Nabi berniat untuk tinggal (selama 4 hari) atau kurang boleh baginya men-qashar sholatnya. Sedangkan barangsiapa yang berniat untuk tinggal lebih dari itu ia menyempurnakan sholatnya karena ia tidak berada dalam hukum safar.
Adapun seseorang yang dalam safarnya tinggal lebih dari 4 hari namun tidak berniat untuk tinggal disana, namun ia berkeinginan bulat ketika urusannya sudah selesai ia akan segera kembali, seperti orang yang berjihad menghadapi musuh atau ditahan oleh penguasa atau sakit misalnya dan niatnya ketika sudah selesai jihadnya dengan kemenangan atau bebas dari penjara atau sembuh dari sakitnya atau adanya sesuatu dalam jual belinya yang memaksanya tinggal dan yang semisalnya maka ia dianggap tetap sebagai Musafir dan boleh baginya men-qashar sholatnya, sekalipun masa tinggalnya lebih lama. Hal ini berdasarkan perbuatan Nabi bahwa beliau tinggal di Mekkah pada saat penaklukan Mekah selama 19 hari dengan men-qashar sholatnya. Beliau juga pernah tinggal di Tabuk selama 20 hari dalam rangka berjihad dengan Nashroni (Romawi) dalam kondisi Beliau dan para sahabatnya men-qashar sholatnya, karena Beliau tidak berniat untuk tinggal namun beliau berniat safar jika telah selesai kepentingannya.
Inti dari jawaban fatwa Lajnah Daimah adalah bahwa seseorang yang berniat tinggal di suatu tempat yang ia tuju, maka berlaku baginya hukum safar maksimal selama 4 hari setelah itu ia dianggap sebagai orang Mukim lainnya yang harus menyempurnakan sholatnya. Misalnya adalah seseorang yang berniat untuk bekerja di kota A yang berjarak dari kampung halamannya dengan jarak yang diperbolehkan qoshor dan ia menyepakati kontrak kerja untuk waktu lebih dari 4 hari semisal 6 bulan atau 1 tahun, maka setelah melewati masa tinggal di kota A tersebut lebih dari 4 hari, ia harus menyempurnakan shalatnya.
Namun berbeda kondisinya dengan seseorang yang dari awalnya ia datang ke kota A tersebut untuk memenuhi kepentingannya artinya apabila urusannya telah selesai ia akan segera kembali, kemudian qodarullah diluar kehendak dirinya situasi dan kondisi memaksa ia tinggal lebih lama dari 4 hari, maka selama ia berniat akan segera kembali setelah urusannya selesai, ia tetap dianggap sebagai Musafir dan berlaku hukum safar kepadanya.
V. Manakah yang Rajih Menyempurnakan Sholat atau Menqashar ketika dalam Perjalanan?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, yaitu :
1. Mayoritas ulama memandang bahwa yang lebih utama dalam perjalanan adalah menqashar, karena Nabi senantiasa menqashar sholatnya dalam perjalanannya. Begitu juga yang dilakukan Abu Bakar , Umar dan Ustman pada masa-masa awal pemerintahannya.
2. Jika tidak memberatkan, maka yang lebih utama menyempurnakan sholatnya, sebagaimana yang dilakukan Aisyah. Imam Baihaqi dalam Sunan Kubronya mengeluarkan hadits dengan sanadnya dari Urwah bin Zubair dari Bapaknya (Zubair), bahwa Aisyah sholat 4 rakaat dalam safarnya, maka aku (Zubair) bertanya : “engkau sholat empat rakaat? Aisyah menjawab : “Wahai keponakanku, sesungguhnya menyempurnakan 4 rakaat tidaklah memberatkanku”. Al Hafidz dalam Al Fath berkata : “Sanadnya Shahih”.
Pendapat yang rajih adalah ditinjau dari segi dalil Rasulullah senantiasa men-qashar shalatnya dalam semua perjalanannya, tidak dinukil riwayat yang shahih Beliau pernah menyempurnakan shalatnya dalam perjalanan-perjalanannya. Namun jika seseorang tidak merasa berat untuk menyempurnakan shalatnya, maka hal ini diperbolehkan sebagaimana yang dilakukan Aisyah. Dalam riwayat lain Ibunda
Kita Aisyah pernah melaksanakan ibadah Umrah bersama Rasulullah dari Madinah ke Mekkah. Ketika sampai di Mekkah, Ibu kita berkata:
”Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku menjadi tebusannya, engkau menqashar sedangkan aku menyempurnakannya, engkau berbuka puasa sedangkan aku tetap berpuasa. Beliau menanggapi : “engkau telah melakukan yang baik wahai Aisyah dan hal ini bukanlah aib bagi diriku”. (HR. An Nasa’i dan Ad Daruquthni, dishahihkan oleh Imam Al Baihaqi dan dihasankan oleh Imam Ad Daruquthni, namun sebagian ulama melemahkan hadits ini seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Imam Al Albani).
VI. Daftar Pustaka
1. Ilmu Ushul Fiqh karya Prof. Abdul Wahhab Khallaf, penerbit : Dina Utama Semarang.
2. Berburu Pahala Ketika Safar karya Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qohthoni, penerbit : Pustaka Al Husna.
3. Keringanan-keringanan Dalam Shalat karya Syaikh DR. Ali Abul Bashal, penerbit : Pustaka Al Kautsar.
4. Al Jaami’ul Li Ahkaamis Shalat karya Syaikh Mahmud Abdul Latif.
5. Sumber-sumber lainnya.