Fikroh.com – Berbakti kepada orang tua termasuk salah satu amalan yang sangat mulia. Timbangannya sangat berat di sisi Allah ‘Azza Wa Jalla. Bahkan, Rasul mendahulukan berbakti kepada orang tua dari berjihad di jalan Allah Ta’ala.
Bagi kita yang Allah mudahkan dapat senantiasa mendampingi orang tua, maka itu sebuah keberuntungan. Sayang, kesempatan seperti itu tak setiap kita bisa dapatkan. Barangkali, keadaan ekonomi atau yang lainnya membuat kita terpaksa harus hidup berjauhan.
Alhamdulillah. Allah begitu pemurah. Allah jadikan Islam ini agama yang mudah. Allah sediakan jalan bagi kita untuk dapat berbakti pada orang tua, meski kita terpaksa tidak bisa berada di sisi mereka berdua. Bahkan, ketika salah satu atau keduanya telah tiada, kita tetap dapat berbakti kepada mereka.
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketika seseorang mati, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Jadi, meski orang tua kita telah tiada, tak ada kata terlambat untuk berbakti pada mereka. Caranya: perbaiki diri kita menjadi pribadi yang shalih, lalu bersungguh-sungguh mendoakan kebaikan bagi keduanya. Doa-doa yang kita panjatkan untuk orang tua dapat menjadi kejutan buat mereka di alam sana.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bercerita, “Seseorang yang baru saja meninggal, Allah angkat derajatnya. Orang itu pun heran: ‘Ada apa ini duhai Rabb, apa yang terjadi?’ Maka, dikatakan kepada orang itu: ‘Anakmu memohonkan ampunan untukmu.'”(HR. Bukhari)
Selain doa, menyambung hubungan baik dengan kerabat dan sahabat orang tua kita, bersedekah atas nama mereka, termasuk di antara cara yang dapat kita tempuh untuk berbakti pada orang tua yang telah tiada.
Oleh karena itu, anak yang shalih adalah salah satu investasi yang sesungguhnya. Manfaatnya tidak hanya akan kita rasakan di dunia, bahkan kelak dapat diharapkan bisa memberi kejutan yang membahagiakan di sisi Allah Ta’ala. Allahu A’lam.
Seorang lelaki menemui Umar radhiyallahu ‘anhu. Dia berkata, “Wahai Amirul Mukminin. Ibuku sudah lemah dan renta. Aku menjadi kendaraannya. Aku gendong beliau di punggungku. Aku memuliakannya. Bersungguh-sungguh merawatnya sebagaimana beliau dulu bersungguh-sungguh merawatku. Apakah aku sudah cukup berterima kasih padanya?”
Umar menjawab, “Belum.” Lelaki itu bertanya, “Kenapa begitu wahai Amirul Mukminin?”
Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Sesungguhnya engkau merawat ibumu seperti itu sambil berharap bahwa kerepotan itu tidak lama. Sedangkan ibumu merawatmu sembari berharap kepada Allah agar engkau panjang umur.”
Suatu ketika, ada seorang lelaki menggendong ibunya sembari bersyair, “Aku adalah ontanya yang patuh dikendarai. Ketika onta yang lain melarikan diri, aku setia menemani.” Lelaki itu lalu bertanya kepada Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Apakah menurut Anda aku sudah membalas jasa ibuku?” Ibnu Umar menjawab, “Belum. Bahkan itu tak sebanding dengan satu tarikan nafas ibumu ketika melahirkanmu.”
Dalam syariat Islam, kedudukan seorang ibu sungguh luar biasa. Allah perintahkan kita berlemah lembut kepada ibu dalam sikap dan tutur kata. Bahkan sekadar mendenguskan rasa kesal kepada ibu pun Allah melarangnya.
Ada tiga hal yang membuat kedudukan seorang ibu menjadi sangat istimewa. Pertama, beban berat saat mengandung. Kedua, perjuangan saat melahirkan. Ketiga, menyusui dan segala kerepotannya.
Ketiga hal tersebut hanya ada pada sosok ibu. Tidak pada sosok ayah. Ulama jelaskan bahwa ketiga hal itulah yang membuat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutamakan ibu tiga kali lebih dulu dari ayah.
Begitulah para salafush shalih dahulu memuliakan sosok ibu. Barangkali itulah yang membuat kehidupan mereka dahulu penuh keberkahan.
Oleh karena itu, penting sekali menunjukkan keutamaan sosok ibu, agar anak-anak dapat berkhidmat dengan tepat. Agar anak-anak tidak sampai terjerumus dalam sikap durhaka. Sebab, durhaka kepada orang tua termasuk salah satu dosa besar yang menjauhkan seorang hamba dari ridha Allah Ta’ala.
Sumber: IG: @abun_nada