Berkat Dukungan Ulama NU, HMI Batal Dibubarkan oleh Soekarno

Berkat Dukungan Ulama NU HMI Batal Dibubarkan oleh Soekarno

Fikroh.com – Rencana pembubaran HMI disampaikan Presiden Soekarno kepada KH. Syaifuddin Zuhri, Ulama NU yang saat itu dipercaya sebagai Menteri Agama tahun 1962-1967. 

Sontak KH. Saifuddin Zuhri kaget dan bertanya apa alasannya?

“Saya terima laporan bahwa dimana-mana HMI melakukan tindakan anti-revolusi dan reaksioner” kata Bung Karno.

“Kadar antri-revolusi maupun reaksionernya sampai dimana Pak Presiden?” Tanya KH. Saifuddin Zuhri.

“Yah, misalnya selalu bersikap aneh, tukang kritik, bersikap liberal seolah-olah hendak mengembalikan adat kebarat-baratan dan lain-lain” Sambung Bung Karno.

“Apakah HMI sudah bapak panggil untuk dinasehati?” Tanya KH Saifuddin Zuhri.

“Secara umum dan terbuka sudah saya ingatkan berulang kali lewat pidato saya” Tegas Bung Karno.

“Mohon dipertimbangkan sekali lagi rencana pembubaran HMI ini”

Pinta KH Saifuddin Zuhri.

“HMI itu anak-anak muda. Mereka sudah termakan oleh pidato-pidato bapak di banyak peristiwa. Kalau saya anak muda, saya juga akan memberontak melihat hal-hal yang tidak beres di kanan-kiri kita. Mereka adalah kader-kader bangsa, dan sudah jamak mereka berpikiran dinamis seperti yang bapak pidatokan. Mereka bisa membentuk gelombang arus listrik. Karena itu, arus listrik harus disalurkan supaya menjadi kekuatan yang bermanfaat. Kalau HMI dibubarkan nanti mereka frustasi dan kita semua rugi”.

“Mereka kan anak-anak Masyumi. Tentu sama seperti bapaknya, tetap saja reaksioner”

“Bagaimanapun, HMI dan SBII bakal saya bubarkan. Kalau HMI bubar, NU kan untung karna PMII makin besar” Kata Bung Karno.

“Kalau Bapak hendak membubarkan HMI, artinya pertimbangan saya bertentangan dengan keinginan bapak. Tugasku sebagai pembantu Bapak hanya sampai disini” Kata KH. Saifuddin Zuhri.

“Jangan berkata begitu. Saya tetap memerlukan bantuan saudara.. Baiklah, HMI tidak akan saya bubarkan” Jawab Bung Karno.

Jangan karna kebencian kita pada sesuatu (kelompok/orang) membuat kita bersikap tidak adil dalam memutuskan [Q.S. Al-Maidah ayat 8]. Selain itu, lebih baik seorang pemimpin salah dalam memaafkan daripada salah dalam memberi hukuman/memutuskan (HR. At-Tirmidzi).

Sumber Buku: KH. Saifuddin Zuhri, Berangkat Dari Pesantren, 2012 | Syaikhul Islam Ali, Kaidah Fikih Politik, 2018.

Leave a Comment