Fikroh.com – Ada beberapa anggapan yang menyebar di kalangan kaum muslimin terkait dengan hal-hal yang membatalkan wudhu tapi sebenarnya tidak wudhu (dalam lingkup ijtihadiyah). Lalu bagaimana sebenarnya para ulama menyikapi hal ini? Ada beberapa Hal yang tidak membatalkan wudhu’ namun sering dianggap sebagai pembatal wudhu. Dan pada kesempatan ini penulis akan mengemukakan salah satunya yakni: Bersentuhan antara laki- laki dan wanita tanpa penghalang.
Masalah ini di perselisihan oleh para ulama apakah membatalkan wudhu’ atau tidak. Untuk mendapatkan informasi lebih lengkap dalam masalah ini silahkan lanjutkan membaca pada tulisan ini.
Terkait hukum bersentuhan kulit antara laki- laki dan wanita tanpa penghalang terdapat tiga pendapat Ulama :
Pertama: Mutlak membatalkan wudhu’, pendapat ini dikemukakan oleh mazhab syafii dan disepakati oleh Ibnu Hazm, pendapat ini juga disampaikan oleh Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar. (Lihat kitab Al-Umm: 1/15 dan Al-Majmu’: 2/23)
Kedua: Mutlak tidak membatalkan wudhu’, Ini adalah pendapat Mazhab imam Abi Hanifah dan Muhammad bin Hasan As-Syaibani, pendapat ini juga disampaikan oleh Ibnu Abbas, Thawus, Hasan dan Atha’, Ibnu Taimiyah memilih pendapat ini dan ini pendapat yang rajih. (Lihat Al-Mabsuth: 1/68 dan Al Badaa’i: 1/30)
Ketiga: Membatalkan wudhu’ apabila disertai dengan syahwat, ini adalah pendapat Mazdhab Imam Malik dan Imam Ahmad dalam pendapat yang masyhur. (Lihat Al Mudawwanah: 1/13 dan Hasyiyah Dasuqi: 1/119)
Penulis berkata: Sandaran utama pendapat yang mengatakan batalnya wudhu’ sebab bersentuhan dengan wanita adalah Firman Allah Subhanahu wata’ala :
أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا
“Atau menyentuh wanita dan jika kamu tidak menemukan air maka bertayamumlah” (Al-Qur`an Surat: Al Maidah: 6)
Dan juga riwayat sahih yang dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar mengatakan bahwa “al mass” (bersentuhan) maksudnya adalah selain bersetubuh”. (Shahih Tafsir Thabary: 1/502 dengan sanad jayyid)
Tetapi pendapat ini tidak disepakati oleh Ibnu ‘Abbas, beliau menegaskan “Al mass, Al lams dan Almubasyarah bermakna Al jima’ (bersetubuh) akan tetapi Allah memberi nama apa saja dengan nama yang Dia kehendaki.”
Tidak diragukan lagi bahwa penafsiran Ibnu ‘Abbas lebih didahulukan dari penafsiran lainnya. Begitupula dengan ayat itu sendiri yang sebenarnya menyanggah pendapat yang mengatakan batalnya wudhu’ karena bersentuhan, maka dalam ayat
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوْهَكُمْ وَأَيْدِيْكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُؤُوْسِكُمْ
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Wahai orang orang yang beriman juka kamu hendak melaksanakan shalat maka basuhlah wajahmu, kedua tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan basuhlah kedua kakimu sampai mata kaki”.
Bahwa maksud dari ayat tersebut adalah bersuci dari hadas kecil. Dan pada ayat:
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنَبًا فَاطَّهَّرُوا
“Dan jika kamu junub maka mandilah” maksud dari ayat tersebut adalah bersuci dari hadas besar.
kemudian dilanjutkan:
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا
“Dan jika kamu sakit atau dalam bepergian atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh wanita , maka jika kamu tidak memperoleh air maka bertayamumlah”.
Dalam ayat tersebut kata فَتَيَمَّمُوْا “bertayamumlah” adalah sebagai ganti dari dua cara bersuci (dari hadast kecil dan besar), dengan demikian ayat: أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ “ atau kembali dari tempat buang air.” menjelaskan penyebab hadas kecil, sedangkan ayat أَوْ لاَ مَسْتُمُ النِّسَاءَ “atau menyentuh wanita”, menjelaskan penyebab hadas besar.
Perlu diketahui bahwa penafsiran Imam Syafi’i itu sendiri terhadap makna al mass dalam ayat tersebut tidak bersifat pasti, bahkan beliau lebih terlihat berhati-hati dalam menafsirkan ayat tersebut sebagaimana yang tampak dalam ungkapan beliau dalam kitab Al Umm (1/12) setelah menyebutkan surat al Maidah ayat 6: Maka serupa bahwa Allah mewajibkan wudhu’ dari al ghaith (buang air besar ) dan Allah juga mewajibkan wudhu’ dari Al Mulamasah (bersentuhan), Allah menyebutkan al Mulamasah bersambung dengan Al Ghaith sesudah menyebutkan junub, maka serupa al Mulamasah bahwa maksudnya adalah bersentuhan dengan tangan, danqublah (mencium) bukanlah junub.
Ini juga diperkuat dengan penukilan Ibn Abdil Barr dari Imam Syafii, bahwa beliau berkata : jika hadsit Ma’bad Ibn Nabaatah tentang qublah (mencium ) shahih maka aku tidak melihat kewajiban berwudhu’ dalam masalah mencium dan berwudhu’, pendapat demikian juga dinukil oleh Ibnu Hajar dalam kitab At Talkhiis ( hal: 44).
Penulis berkata: Diantara dalil yang menegaskannya hal ini adalah:
Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha :
فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَلْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِيْ عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِيْ الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوْبَتَانِ وَهُوَ يَقُوْلُ : اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُبِكَ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ.
“Pada suatu malam aku pernah kehilangan Rasulullah dari tempat tidur maka aku mencarinya lalu tanganku mengenai kedua punggung kakinya yang tegak, beliau shalat di masjid seraya berdoa: “Ya Allah aku berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu.”
Hadits Aisyah radhiallahu ‘anha
كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَايَ فِيْ قِبْلَتِهِ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِيْ، فَإِذَا قَامَبَسَطْتُهُمَا، قَالَتْ : وَالْبُيُوْتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ لَهَا مَصَابِيْحُ، وَفِي لَفْظٍ : حَتَّى إِذَا أَرَادَ أَنْ يُوْتِرَ مَسَّنِيْ بِرِجْلِهِ.
“Suatu ketika aku sedang tidur di hadapan Rasulullah dan kedua kakiku berada di arah kiblat beliau, ketika akan sujud beliau memberi isyarat dengan menyentuhku kemudian aku melipat kedua kakiku, dan ketika Rasulullah berdiri kembali kubentangkan kedua kakiku. Aisyah berkata: dan rumah-rumah ketika itu tidak ada penerangan, Dalam redaksi lain : “apabila Rasulullah akan melaksanakan witir beliau menyentuhku dengan kakinya.”
Kaum Muslimin dahulu sering menyentuh istri mereka, dan tidak ada seorangpun yang menukil dari Rasulullah radhiallahu ‘anhu yang menyatakan bahwa beliau menyuruh mereka untuk berwudhu’ setelah menyentuh istri mereka, dan juga tidak seorang pun menukil dari para sahabat semasa hidup Rasulullah bahwa para sahabat berwudhu’ setelah menyentuh istri mereka, bahkan telah dinukil dari Rasulullah dalam Assunan :
أَنَّهُ كَانَ يُقَبِّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
“Bahwa Rasulullah mencium sebagian istri beliau tanpa berwudhu’ setelahnya.”
Keshahihan hadits ini diperselisihkan oleh para ulama, meskipun demikian tidak ada ikhtilaf bahwa tidak dinukil dari Rasulullah riwayat yang menegaskan wajibnya wudhu’ setelah menyentuh istri.
Adapun pendapat yang mengatakan batalnya wudhu’ karena bersentuhan laki-laki dan wanita disertai dengan syahwat ataupun sebaliknya adalah pendapat yang tidak berdasar, akan tetapi bisa juga dikatakan: Apabila berwudhu’ karena bersentuhan yang disertai dengan syahwat -selain jima’- maka hal itu dianggap baik untuk meredam syahwat sebagaimana disunnahkan berwudhu’ ketika dalam keadaan marah untuk meredamnya, adapun berwudhu’ setelah bersentuhan yang disertai dengan syahwat tidak bisa dikatakan wajib, Wallhu a’lam.