Fatwapedia.com – Pada 22 Februari 1982, dtengah pembantaian Hama, pasukan keamanan rezim Hafiz Al-Asad menggerebek rumah Syeikh Muhammad Basyir Al-Murad (Mufti Hama waktu itu) menangkapnya dan putranya yang masih berusia 14 tahun dan 8 anggota keluarga Alu Murad lainnya (yang merupakan para ulama dan penuntut ilmu). Mereka semua kemudian dibawa ke bandara militer kota Hama, Suriah. Seorang perwira militer berpangkat tinggi berkata kepada Syeikh: “Presiden meminta anda agar berbicara di televisi untuk mengutuk Ikhwan dan mengkambinghitamkan mereka sebagai penyebab pembantaian Hama. Dengan hal itu, anda akan dibebaskan dan bisa kembali kepada keluarga anda.”
Syeikh menjawab: “Tak ada yang tersisa dari umur yang mengharuskan untuk tetap (hidup). Apa yang telah pergi lebih banyak ketimbang yang tersisa.”
Mendengar jawaban Syeikh, perwira militer langsung menginstruksikan kepada para penembak pilihan untuk memberondong Syeikh dan keluarganya…”
Syeikh Muhammad Basyir Al-Murad lahir dari keluarga Alu Murad yang terkenal melahirkan banyak ulama. Ayahnya Syeikh Ahmad bin Syeikh Muhammad Salim Al-Murad adalah seorang ulama besar yang dijuluki sebagai Imam Abu Hanifah masanya. Beliau mengambil tarekat Naqsyabandiyah dari ayahnya yang merupakan Syeikh tarekat. Setelah menimba ilmu di kota Hama yang memang dikenal sebagai kota ilmu, beliau melanjutkan studinya di Al-Azhar dan berguru ke ulama-ulama besar seperti Syeikh Musthafa Al-Maraghi (Syeikh Jami’ Al-Azhar), Syeikh Yusuf Ad-Dajwy, Syeikh Zahid Al-Kautsary dan lain-lain hingga mendapatkan syahadah Al-‘Alamiyah Al-Azhariyah (setara doktoral) pada tahun 1948.
Sekembali dari Mesir, beliau ditugaskan mengajar di provinsi Der Zour selama setahun lalu diangkat menjadi Qadhi Syar’i selama 5 tahun di kota Dar’aa. Selanjutnya beliau dipindahkan ke Latakia, namun tidak lama kemudian beliau dibebastugaskan. Penyebabnya adalah karena sebuah kasus yang menyeret seorang pengusaha berpengaruh yang tidak mengakui pernikahannya dengan pembantu perempuannya. Selama bertahun-tahun, gugatan perempuan tersebut tidak diproses dan selalu ditunda karena pengaruh si pengusaha. Hingga kemudian Syeikh Muhammad Basyir Al-Murad datang dan bertekad untuk mengakhiri kasus tersebut. Meskipun disogok dengan sejumlah harta yang sangat banyak dan ancaman terhadap dirinya beliau tetap bergeming. Tibalah hari dibacakannya vonis hukum dan tiba-tiba sebuah surat mutasi beliau terima dimana beliau dipindahkan ke kota Al Nabk. Syeikh menolak menandatangani surat tersebut sebelum beliau membacakan vonis. Dan ketika vonis ditetapkannya pernikahan keduanya secara sah dibacakan, seisi pengadilan bergemuruh dengan tepuk tangan menyaksikan seorang Qadhi Al-Hamawi (dari kota Hama) berhasil mengakhiri penderitaan seorang perempuan lemah selama bertahun-tahun. Kasus tersebut membuat heboh seantero Latakia. Syeikh kemudian dipindahkan ke Al-Nabk. Sebuah ancaman pembunuhan beliau terima dan akhirnya dekrit presiden dikeluarkan dimana beliau dibebastugaskan dari jabatannya sebagai Qadhi pada tahun 1958.
Pada tahun 1960 beliau diangkat menjadi Mufti distrik Salamiyah, Hama. Saat berada di Salamiyah yang merupakan salah satu pusat sekte Syi’ah Isma’iliyah, Syeikh berjasa dalam menghalangi kedatangan Aga Khan (Imam Isma’iliyah) dari India. Berkat Syeikh, Nazim Al-Qudsi (Presiden Suriah saat itu) berjanji tidak akan mengizinkan Aga Khan ke Suriah selama ia jadi Presiden (Namun, diawal Pemerintahan Hafiz Al-Asad, sekte Isma’iliyah berhasil mendatangkan Aga Khan ke Suriah).
Ketika Mufti Hama Syeikh Muhammad Sa’id An-Na’asany wafat tahun 1967, Syeikh Muhammad Basyir Al-Murad dipilih menggantikannya menjadi Mufti Hama.
Saat krisis konstitusi tahun 1973 dimana Hafiz Al-Asad mengukuhkan kediktatoran dan sosialismenya serta membuang poin agama negara adalah islam, demonstrasi dan mogok massal meletus di Hama dan Damaskus dibawah ‘komando’ Al-‘Allamah Al-Mujahid Syeikh Hasan Habannakeh Al-Maidani lalu kemudian menjalar ke kota-kota Suriah lainnya. Hafiz Al-Asad kemudian mengumpulkan para ulama Hama dan menuduh mereka melakukan konspirasi dan pembangkangan terhadap negara. Dengan berani, Syeikh Muhammad Basyir Al-Murad mendustakan tuduhan Hafiz Al-Asad dan tuduhan intelijennya. Syeikh dengan kesaksian para ulama Hama menjelaskan bagaimana ia menjaga stabilitas kota dan berusaha mengakhiri mogok massal di Hama.
Suatu hari, Gubernur Hama mendatangi Syeikh dan menawarkan mobil kepada Syeikh dan ia berharap Syeikh sedikit melunak dan tidak ikut campur tangan dalam beberapa masalah. Syeikh langsung menimpali:
“Wahai Abu Imad (panggilan gubernur)…! Apakah kau menginginkan agar aku menggadaikan agamaku? Sesungguhnya jabatanmu itu berada dibawah sandalku. Demi Allah sesungguhnya aku siap untuk meninggalkan pekerjaanku dan berjualan jeruk dipinggir jalan. Tapi aku tidak akan menggadaikan agamaku..!”
Mendengar jawaban Syeikh, si gubernur langsung meminta maaf dan berkilah bahwa ia sama sekali tak bermaksud kurang ajar terhadap Syeikh.
Paska kejadian Aleppo Artillery School massacre tahun 1979 dimana kelompok Thali’ah Al-Muqatilah kelompok bersenjata yang tidak diakui Ikhwan menyerang sekolah militer dan membantai para pelajar Nushairiyah, militer Suriah mulai menekan Syeikh Muhammad Basyir Al-Murad dengan menangkap putranya Muhammad Ma’mun tanpa dakwaan apapun. Saat putranya dipenjara, beberapa antek rezim datang kepadanya dan menyarankan agar ia menemui Hafiz Al-Asad. Tak ada yang perlu Syeikh lakukan selain memohon kepada presiden (Hafiz Al-Asad) agar putranya dibebaskan. Syeikh langsung menimpali:
“Apa yang membedakan anakku dan tahanan-tahanan tak bersalah lainnya hingga aku harus meminta agar ia dibebaskan? Kenapa memangnya seandainya anakku harus mendekam dalam penjara? Bukankah ia punya teladan dalam hal ini yaitu Nabi Yusuf as. Demi Allah sesungguhnya aku tidak akan menghinakan diriku dengan meminta tolong kepada manusia. Aku tidak akan memohon kecuali kepada Allah agar Dia membebaskan semua tahanan.”
Setelah 7 bulan, putra Syeikh dan beberapa tahanan kemudian dibebaskan. Seorang petinggi militer menelpon Syeikh ditengah malam mengabarkan pembebasannya agar Syeikh datang mengambil putranya di kantor partai Ba’ts (partai Hafiz Al-Asad). Syeikh menjawab: “Kalianlah yang harus membawanya pulang kembali kerumah sebagaimana dulu kalian membawanya. Itu pekerjaan kalian dan aku tidak ikut campur.” Dan kemudian, putra Syeikhpun dikembalikan lagi kerumah.
Ustadz Muhammad Ayman putra Syeikh Muhammad Al-Basyir Al-Murad menceritakan bahwa pada tahun 1981 Syeikh menunaikan haji ke Mekkah. Ustad Muhammad Ayman yang saat itu bekerja di Uni Emirat Arab menemuinya di Saudi. Syeikh kemudian menceritakan kondisi kota Hama yang sulit, mencekam dan tidak menentu. Militer rezim merazia kota Hama dan menggeledah rumah Syeikh 8 kali dalam seminggu. Mendengar kondisi Hama seperti itu Ustad Muhammad Ayman menawarkan ayahnya untuk hijrah ke Uni Emirat Arab. Akan sangat mudah bagi Syeikh untuk mendapatkan pekerjaan di kementrian waqaf atau kementerian hukum. Akan tetapi, Syeikh menolaknya. Beliau menjawab:
“Kepada siapa akan kutinggalkan negeriku? Tidakkah kau melihat bahwa tidak ada lagi di Hama orang yang layak untuk diminta fatwa? Wahai anakku…! Demi Allah sesungguhnya aku takut nanti akan ditanya oleh Allah karena meninggalkan negeriku untuk berhaji padahal itu hanyalah haji sunnah.”
Syeikh kemudian menceritakan bahwa Hafiz Al-Asad mengutus seorang mayor jenderal dari kementerian dalam negeri untuk menemuinya. Ia menyampaikan salam presiden kepada Syeikh dan presiden menawarkan jabatan kepadanya di kementerian waqaf. Syeikh tertawa dan berkata:
“Sampaikan salamku kepada presiden dan katakan padanya bahwa banyak orang lain yang lebih layak di kementerian waqaf dan Basyir (Syeikh) bukanlah orang yang layak.”
Mendengar jawaban tersebut, utusan itu terkejut dan berkata:
“Ya sayyidi.. sesungguhnya tawaran ini tidaklah diberikan kecuali kepada orang yang sudah mendapatkan kepercayaan dari tuan presiden.”
Syeikh menjawab:
“Katakan padanya (presiden) bahwa Basyir (Syeikh) tidak akan keluar dari kota Hama. Tempatku adalah disini dan aku tidak akan meninggalkan kotaku.”
Utusan tersebutpun meninggalkan Syeikh dan berkata:
“Saya harap anda memikirkan kembali tawaran itu dan aku akan kembali lagi setelah beberapa hari.”
Beberapa hari kemudian, utusan tersebut kembali dan menagih jawaban Syeikh. Dengan lantang Syeikh kemudian menegaskan:
“Sampaikan kepada presiden bahwa Basyir tidak akan pernah keluar dari Hama Walaupun akibatnya ia harus meninggalkan jabatannya (sebagai Mufti) dan harus duduk dirumah. Tidak masalah bagiku. Sesungguhnya Allah Swt telah memilih keluarga kami untuk memberikan fatwa sejak zaman dulu. Inilah tugas orangtua dan nenek moyangku. Tak apa-apa.”
Mendengar cerita penolakan tersebut, Ustad Muhammad Ayman bertanya pada ayahnya:
“Menurutmu, apakah presiden akan membiarkanmu tanpa sanksi apapun?”
Syeikh menjawab:
“Ada dua kemungkinan, penjara atau dibunuh. Jika dipenjara, maka aku bukanlah orang pertama yang dipenjara. Adapun jika aku dibunuh, maka aku berharap Allah menerimaku dibarisan para syuhada.”
Setelah menunaikan haji, Syeikh kembali ke Hama. Tanggal 2 Februari 1982 pembantaian Hama dimulai. Diawal pembantaian, rezim mengirimkan banyak ambulance, bukan untuk para korban, tapi untuk menyelamatkan mereka yang ingin mereka selamatkan sebelum kota Hama dibumihanguskan hingga menelan korban jiwa sekitar 30.000 sampai 40.000 jiwa.
22 Februari 1982, dtengah pembantaian Hama, pasukan keamanan rezim Hafiz Al-Asad menggerebek rumah Syeikh Muhammad Basyir Al-Murad (Mufti Hama waktu itu) menangkapnya dan putranya yang masih berusia 14 tahun dan 8 anggota keluarga Alu Murad lainnya (yang merupakan para ulama dan penuntut ilmu). Mereka semua kemudian dibawa ke bandara militer kota Hama. Seorang perwira militer berpangkat tinggi berkata kepada Syeikh: “Presiden meminta anda agar berbicara di televisi untuk mengutuk Ikhwan dan mengkambinghitamkan mereka sebagai penyebab pembantaian Hama. Dengan hal itu, anda akan dibebaskan dan bisa kembali kepada keluarga anda.”
Syeikh menjawab: “Tak ada yang tersisa dari umur yang mengharuskanku untuk tetap (hidup). Apa yang telah pergi lebih banyak ketimbang yang tersisa.”
Mendengar jawaban Syeikh, perwira militer langsung menginstruksikan kepada para penembak pilihan untuk memberondong Syeikh dan keluarganya…”
Syeikh menjawab:
“Apakah kalian mencoba menakutiku dengan kematian?”
Dan terjadilah apa yang terjadi.
Menurut Syeikh Muhammad Wail Al-Hanbaly, setelah ditembak jasad Syeikh dilindas dengan tank sehingga tubuhnya hancur. Rahimahumullah.
{..Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya)} (Q S Al-Ahzab: 23).
Semasa hidupnya, Syeikh dikenal dengan ibadah dan zuhudnya. Beliau selalu menjaga wirid tarekat Naqsyabandiyah yang beliau ambil dari ayahnya. Dan betapa seringnya beliau memohon kepada Allah agar dikaruniai mati syahid dijalan-Nya.
Prof Dr. Abdul Aziz Al-Khayyath, Mentri Waqaf Yordania silam dan teman seperjuangan Syeikh di Al Azhar bersaksi:
“Aku telah mengenal para penguasa, para ulama, para saudagar, orang-orang khusus maupun awam namun aku tidak menemukan yang paling baik akhlaknya melebihi Syeikh Muhammad Basyir Al-Murad. Ia lebih jujur dari kami dan karenanya Allah menganugerahkan kepadanya kesyahidan. Wallahu A’lam.
Penulis: Taufik M Yusuf Njong
*Tulisan ini diadaptasi dari tulisan putra beliau Ustad Muhammad Ayman Basyir Al-Murad di situs Rabithah Al-Ulama As-Suriyyin/islam syria dan tulisan-tulisan lainnya.