Fatwapedia.com – Raden Ayu Lasminingrat, yang lahir dengan nama Soehara pada tahun 1843, adalah seorang wanita luar biasa dengan latar belakang keluarga yang kaya budaya. Ia adalah putri dari seorang ulama dan sastrawan Sunda terkemuka, yaitu Raden Haji Muhamad Musa dan Raden Ayu Ria. Namun, keistimewaannya tidak berhenti di situ saja.
Lasmi juga dikenal sebagai istri kedua dari Rd. Adipati Aria Wiratanudatar VII, yang menjabat sebagai Bupati Garut pada masanya. Pernikahan mereka menciptakan ikatan keluarga yang penting dalam sejarah Garut.
Lasminingrat hidup hingga usia yang sangat panjang, meninggal pada tanggal 10 April 1948, ketika usianya mencapai 105 tahun. Jenazahnya dikebumikan di belakang Mesjid Agung Garut, berdampingan dengan makam suaminya yang tercinta.
Kejeniusan Lasminingrat juga patut diacungi jempol. Ia mendapatkan pendidikan di sekolah Belanda yang terletak di daerah Sumedang. Selama berada di Sumedang, Lasminingrat diasuh oleh seorang teman Belanda ayahnya, yaitu Levyson Norman. Berkat didikan yang diberikan oleh Norman, Lasminingrat menjadi salah satu perempuan pribumi yang langka pada zamannya karena kemampuannya yang luar biasa dalam menulis dan berbicara dalam bahasa Belanda.
Kisah Lasminingrat adalah bukti bahwa bakat dan kecerdasan tidak mengenal batasan budaya atau latar belakang sosial. Ia merupakan sosok yang menginspirasi dalam sejarah Garut dan Indonesia pada umumnya, dengan dedikasinya terhadap pendidikan dan warisan budaya.
Lasminingrat memulai perjalanannya dalam dunia kepenulisan, yang menjadi salah satu aspek kunci dari warisannya. Salah satu karya uniknya adalah terjemahan buku Carita Erman dari Christoph von Schmid, yang kemudian diikuti oleh karyanya yang menghadirkan berbagai dongeng, seperti Warnasari atawa roepa-roepa dongeng. Menariknya, kedua karya tersebut tidak hanya berdampak di Garut, tetapi juga menyebar ke daerah-daerah di luar Jawa setelah diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu.
Setelah menikah dengan Bupati, fokus perhatian Lasminingrat berubah ke bidang pendidikan, khususnya pendidikan perempuan. Hal ini tercermin dalam pendirian Sekolah Kautamaan Puteri pada tahun 1911, yang merupakan hasil dukungannya terhadap usaha Dewi Sartika dalam mendirikan Sakola Kautamaan Putri.
Namun, sayangnya, banyak orang yang belum mengenal Lasminingrat dengan baik, padahal ia dianggap sebagai pribadi yang luar biasa dan di luar zamannya oleh beberapa pihak. Ia tidak hanya menjadi istri kedua seorang Bupati, tetapi juga pada usia 32 tahun, di tengah kesibukannya, ia berhasil menyadur banyak cerita karya Grimm yang populer di Eropa. Tujuannya adalah agar masyarakatnya, khususnya kaum perempuan Sunda, dapat membaca dan merasakan makna dari karya-karya penulis Eropa tersebut. Kumpulan saduran ceritanya ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1875 oleh percetakan milik pemerintah dengan judul Tjarita Erman. Pada tahun berikutnya, yakni tahun 1876, ia meluncurkan karyanya yang kedua dengan judul Warnasari atawa Roepa-roepa Dongeng.
Pada tahun 1875, ketika Lasminingrat tengah berkiprah, nama-nama besar dalam sejarah perempuan Indonesia seperti R.A. Kartini, Raden Dewi Sartika, dan Rahman El-Yunusiyah, yang kemudian diakui sebagai pahlawan nasional, belum juga lahir ke dunia. Kartini melihat cahaya pertama kali pada tahun 1879, sementara El-Yunusiyah pada tahun 1900, dan Dewi Sartika pada tahun 1884. Lasminingrat, meskipun aktif dalam berkarya, hampir sepenuhnya dilupakan oleh sorotan sejarah, terlupakan di balik ketiga nama besar tersebut. Bahkan, ketenarannya juga terlampaui oleh wanita-wanita lain yang muncul setelah ketiga tokoh tersebut.
Namun, karya-karya Lasminingrat tetap hidup, terutama dalam bentuk tulisan-tulisannya yang masih menjadi bacaan di Sekolah Rakyat dan Sekolah Dasar di Jawa Barat. Selain itu, warisannya juga tercermin dalam bentuk sekolah yang didirikannya, yang hingga kini berdiri tegak di salah satu sudut kota Garut. Pemerintah provinsi bahkan telah mengakui bangunan sekolah ini sebagai bagian dari warisan budaya yang harus dilindungi, termasuk dalam kategori Bangunan Cagar Budaya (BCB) di kota Garut. Dengan demikian, jejak Lasminingrat tetap terukir dalam sejarah meskipun ia sendiri mungkin terlupakan oleh banyak orang.