Fatwapedia.com – Biografi ulama yang akan diulas pada artikel ini adalah Imam Syaukani. Beliau adalah seorang ulama yang sudah mencapai derajat Mujtahid, sebagaimana ditegaskan oleh sebagian ulama. Al-Imam al-Albani rahimahullah dalam salah satu tanya jawabnya yang direkam, lalu ditranskip dari kaset yang berjudul “Fatâwâ Jiddah kaset no. 2”, memberikan jawaban terkait al-Imam asy-Syaukâniy rahimahullah, kata beliau :
لا شك أن الإمام الشوكاني إمام مجتهد ، وله قدم راسخة في الفقه
“Tidak diragukan lagi bahwa al-Imam asy-Syaukâniy adalah Imam Mujtahid, beliau memiliki kemapanan dan kedalaman dalam fiqih.”
Al-‘Allâmah DR. Muhammad Ali Ferkauz hafizhahullah juga mengatakan hal yang senada ketika mengulas sedikit biografi beliau :
عُرف بالإمام المجتهد
“(Asy-Syaukâniy) dikenali sebagai seorang Imam yang ahli ijtihad.”
Al-Imam yang nama lengkapnya adalah Abu Ali Muhammad bin Ali bin Muhammad yang digelari dengan Badruddin, lahir pada hari Senin, 28 Dzul Qa’dah 1173 H di desa yang bernama Hijrah Syaukân, sekitar 20-an KM sebelah selatannya kota Shon’a, Yaman.
Ayahnya adalah seorang hakim, sekaligus juga ulama besar di kota Shon’a, sehingga beliau tumbuh berkembang di kota Shon’a, dibawah asuhan ayahnya langsung dan para ulama pada waktu itu di kota tersebut. Beliau hapal Al-Qur`an dan bagus dalam hapalannya dibawah bimbingan para masyaikh lokal, lalu menghapal kitab-kitab matan dari berbagai macam cabang ilmu.
Beliau termasuk ulama yang tidak sempat rihlah ke luar kota untuk menuntut ilmu, karena tidak diizinkan oleh kedua orang tuanya, sehingga beliau hanya mengambil ilmu dari masyaikh lokal, termasuk dari Ayahndanya langsung. Dalam sehari semalam, beliau benar-benar memadatkan jadwalnya sehingga ada 13 pelajaran yang beliau pelajari dari guru-gurunya dan juga mengajarkan murid-muridnya. Beliau membaca dari gurunya sebuah pelajaran, lalu ketika selesai langsung diajarkan kepada muridnya, bahkan sampai ada yang belum selesai utuh satu kitab dari membaca kepada gurunya, para muridnya sudah minta untuk diajarkan, sehingga laksana pedagang besar, kulakan belum habis diambil oleh pengecer, langsung kulakan lagi secara simultan. Hal ini berlangsung terus-menerus sampai tidak ada lagi guru yang tersisa untuk beliau bacakan kitab dihadapannya.
Oleh sebab itu setelahnya, al-Imam berkata dalam otobiografinya :
ثم إن صاحب الترجمة جلس لإفادة الطلبة فقط
“Kemudian penulis biografi (maksudnya beliau sendiri) duduk untuk memberikan faedah kepada santrinya saja.”
Dalam sehari, beliau kuat membuka lebih dari 10 pelajaran dari berbagai macam cabang ilmu agama, yaitu : tafsir, hadits, ushul fiqih, nahwu, shorof, al-bayân, al-Ma’âniy, Manthiq, Fiqih, Jidal dan ‘Arûdh.
Diantara guru beliau yang berpengaruh dalam karakter kehidupannya adalah :
✓ al-Hafizh Abdul Qâdir bin Ahmad al-Kaukabâniy (w. 1207 H), gurunya ini adalah murid langsung al-Imam ash-Shon’aniy, penulis Subulus Salam.
✓ al-‘Allâmah Ahmad bin Muhammad al-Harâziy (w. 1227 H), beliau bermulazamah kepadanya lebih dari 13 tahun.
Diantara ulama yang memberikan pengaruh juga kepada beliau, namun berbeda zamannya adalah al-Imam Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyyah dan ash-Shon’aniy rahimahumullah.
Awalnya al-Imam dalam masalah fiqih bermazhab Zaidiy (dinisbatkan kepada Zaidiyyah, sebuah sekte dalam Syi’ah), karena ini yang tersebar di kotanya pada waktu itu, kemudian setelah mempelajari hadits, maka pelan-pelan beliau berpindah kepada mazhabnya ahlu hadits. Asy-Syaikh Abu Abdillah al-‘Irâqiy menyimpulkan secara ringkas bagaimana mazhab fiqih dan ushul fiqihnya beliau :
كان منهجه الترجيح والاختيار في الفقه واصول الفقه.
“Al-Imam metodenya adalah tarjîh dan memilih (pendapat secara independen) dalam masalah fiqih dan juga ushul fiqih.”
Untuk fiqihnya, mazhab beliau bisa kita dapatkan salah satunya di kitabnya “Nailul Authâr”, sedangkan ushul fiqihnya di kitabnya “Irsyâd al-Fuhûl”. Di kitab ushul fiqihnya tersebut, beliau menyanggah beberapa permasalahan yang dipegangi oleh mazhab Zhahiriyyah dalam masalah ushul fiqih. Adapun dalam masalah fiqih, beliau sangat jarang sekali tawaquf (abstain) ketika mendapati perbedaan pandangan mazhab dalam sebuah pembahasan fiqhiyyah, biasanya beliau akan melakukan kajian, lalu memilih atau mentarjih salah satu pendapat yang beliau anggap sesuai dengan nash-nash yang shahihah, beliau adalah manusia yang jauh dari tawaquf tanpa pilihan pendapat.
Banyak para ulama yang telah melakukan kajian terhadap pilihan dan tarjih-annya al-Imam Asy-Syaukâniy dalam kitab-kitabnya, diantaranya adalah disertasi doktoral, yang berhasil dipertahankan oleh DR. Zuhair bin Umar yang kemudian diterbitkan oleh Dâr al-‘Âshimah, Riyadh. Ketika membahas tentang mazhab fiqihnya al-Imam asy-Syaukâniy, asy-Syaikh Zuhair tanpa ragu lagi mengatakan bahwa al-Imam tidak menisbatkan diri kepada mazhab tertentu, bahkan tidak juga mazhab Zaidiyyah, namun beliau independen dan pendapatnya berjalan sesuai dengan dalil-dalil yang beliau pandang kuat, bahkan beliau mengkritik keras sikap taklid dan fanatik mazhabi, yang mana mereka tidaklah membela, kecuali membela pendapat Imamnya, tidak berfokus untuk membela kebenaran.
Senada dengan diatas, asy-Syaikh Miflâh bin ‘Audah dalam tesis magisternya yang mengkaji pilihan pendapat al-Imam asy-Syaukâniy dalam masalah Ushul Fiqih di kitabnya “Irsyâd al-Fuhûl”, tatkala menyebutkan mazhab fiqih al-Imam juga mengatakan bahwasanya al-Imam awalnya bermazhab Zaidiy, lalu dengan meningkatnya kemapanan ilmunya, beliau adalah seorang mujtahid independen yang pilihan pendapatnya didasari oleh dalil-dalil naqliyyah, sekalipun menyelisihi jumhur ulama, tidak hanya dalam masalah fiqih, tapi juga ushul fiqih, bahkan ilmu lainnya.
Jika mengacu kepada pembagian aliran dalam ushul fiqih yang dibagi oleh asy-Syaikh Muhammad Khudhori Biek, bahwa secara umum aliran ushul fiqih itu dibagi menjadi dua, yaitu mutakalimin dan Hanafiyyah, maka pilihan al-Imam asy-Syaukâniy dalam membangun ushul fiqihnya lebih condong kepada aliran mutakalimin, sebagaimana disimpulkan oleh asy-Syaikh Abu Abdillah al-‘Irâqiy.
Kembali kepada kehidupan Al-Imam, beliau ditunjuk oleh penguasanya pada waktu itu, al-Manshûr untuk menduduki posisi hakim Agung pada bulan Rajab tahun 1209 H, menggantikan hakim yang sebelumnya, tanpa ada keinginan beliau sebelumnya untuk menduduki posisi hakim, beliau terus-menerus dipertahankan sebagai hakim agung, sampai berganti pimpinan kepada anaknya al-Manshûr, yaitu al-Mutawakil Ahmad, lanjut lagi ketika terjadi pergantian kepemimpinan kepada anaknya, yang bernama al-Mahdiy Abdullah.
Posisinya sebagai pejabat negara, tidak menjadikan beliau tidak berani menyuarakan kebenaran, disamping beliau anti korupsi dengan tidak mau menerima hadiah, beliau juga lantang dalam mengkritisi fanatisme mazhab, yang pada waktu itu digandrungi oleh sekte Zaidiyyah yang berkuasa pada waktu itu, yaitu banyak yang taklid kepada pendapat al-Hadawiyyah, bahkan beliau sampai menulis risalah khusus untuk menyingkap tabir gelap tersebut dalam risalahnya yang berjudul “al-Qaul al-Mufîd fî Adilah al-Ijtihâd wa at-Taqlîd”.
Beliau meninggalkan karya tulis yang sangat banyak sekali, diantara kitabnya yang masyhur adalah : Nail al-Authâr, as-Sâ`il al-Jarrâr, Durrar al-Bahiyyah yang kemudian disyarah juga oleh beliau sendiri, ketiga kitab ini dalam bidang fiqih, adapun dalam tafsir, beliau menulis kitab tafsir yang terkenal yang berjudul “Fath al-Qadîr dan cabang-cabang ilmu lainnya. DR. Zuhair mencoba menginventaris karya al-Imam asy-Syaukâniy dan jumlahnya ada sekitar 295 buah, baik yang sudah tercetak, maupun yang masih dalam bentuk manuskrip.
Adapun secara akidah, maka biarlah al-Imam al-Albani rahimahullah yang akan mensifatinya sebagaimana dalam transkip rekaman diatas :
وهو يغلب عليه العقيدة السلفية ، ولكن صدق الإمام مالك الذي قال : ” ما منَّا من أحد إلا ردَّ و رُدَّ عليه ؛ إلا صاحب هذا القبر ” – وأشار إلى قبر النبي صلى الله عليه وآله وسلم – ، فله بعض الآراء التي يُخالف ما كان عليه السلف ، وهذه تُغتفر منه تجاه أن غالب عقيدته مطابقة لعقيدة السلف الصالح .
يحضرني الآن من شواذِّه أنه يُجيز التوسُّل بالنبي – صلى الله عليه وآله وسلم – ، طبعًا هذا بعد وفاته – عليه السلام – ، ويستدل على ذلك بحديث الأعمى المعروف والمشهور بين طلبة العلم في هذا الزمان ، أنه لا يدل إلا على التوسُّل بدعاء النبي – صلى الله عليه وآله وسلم – وشفاعته
“Al-Imam secara umum diatas akidah salafiyyah, namun benarlah al-Imam Malik yang mengatakan : “tidak ada diantara kami, seorang pun, kecuali ditolak atau diterima (pendapatnya), melainkan penghuni kuburan ini.” -beliau berisyarat kepada kuburan Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Al-Imam memiliki beberapa pandangan yang keliru yang menyelisihi as-Salaf, maka ini diampuni, mengingat secara globalnya akidahnya sesuai dengan akidah salafus shalih.
Yang bisa aku ingat sekarang, diantara keganjilan beliau adalah membolehkan bertawasul dengan (Jahnya) Nabi shallallahu alaihi wa sallam, tentunya ini setelah beliau wafat, beliau berdalil dengan hadits orang buta yang ma’ruf, namun yang masyhur dikalangan penuntut ilmu pada zaman ini, bahwa hadits tersebut tidak menunjukkan, kecuali bertawasul dengan doanya Nabi dan syafaatnya -secara langsung ketika beliau masih hidup-.”
Setelah beliau mengarungi kehidupan penuh berkah dalam ilmu dan pengajaran, fatwa, ijtihad serta dakwah memberangus kesyirikan, bid’ah dan khurafat, akhirnya pada malam Rabu, 27 Jumadil akhir tahun 1250 H, beliau wafat dalam usia 76 tahun. Semoga Allah Ta’âlâ mengampuni kesalahan-kesalahan beliau dan merahmatinya dengan rahmatNya yang luas serta menempatkannya di JannahNya yang penuh nikmat.
Abu Sa’id Neno Triyono