Oleh: M. Wafi
Fatwapedia.com – Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Jamaluddin Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Malik al-Tha’i al-Jayyani al-Asyafi’i. Ibnu Malik lahir tahun 600 H. menurut riwayat yang paling mu‘tabar di daerah jayan, distrik Andalus tengah.
Masa muda ibnu Malik disibukkan dengan menuntut ilmu. Pada awal kehidupan ilmiahnya, beliau menghafalkan al-Qur ‘an, kemudian diikutinya dengan belajar ilmu qiro‘at, kalam (teologi) dan tatabahasa Arab.
Dalam ilmu bahasa Arab, mula-mula beliau belajar dari syeikh Abi al-Mudzafar Tsabit bin al-Khiyar (w. 628 H.) dan syeikh Abu Ali al-Syalaubin. Tapi pengembaraannya tidak sampai di situ saja. ilmu memang tidak bertebing dan berbatas. Karenanya, selain kepada kedua syeikhnya di atas, beliau pun belajar pada syeikh Abi Rozin bin Tsabit dan Abi Abdullah Muhammad bin Malik.
Perjalanan Ibnu Malik ke Timur Jauh
Dimulai terjadinya chaos dan kekacauan di Andalus yang diikuti dengan keluarnya Amir al-Mukminin, Abu Abdullah Muhammad bin Ya’qub dari Isybili atau Sevilla (kota di Spanyol) tahun 609 H. menuju ke daerah Jayan, sekaligus menjadikannya sebagai tempat pemukiman sementara, sambil membangun dan menata kembali kekuatannya. Pada suatu acara perjalanan yang direncanakannya beliau bertemu dengan Advent di suatu tempat yang di kenal dengan “Ugqab” daerah sebelah barat benteng Salim.
Pertemuan ini dimanfaatkan oleh Advent untuk menyiapkan angkatan bersenjatanya. Satu hal yang tidak diduga sama sekali oleh Amir al-Mukminin. Akibat selanjutnya dan konfrontasi yang tidak imbang ini adalah; kekalahan dan jatuhnya banyak korban di pihak orang-orang Islam, yang disebabkan karena ketidaksiapsiagaan kekuatan pasukan Islam waktu itu.
Bahwa tragedi ini (terjadi pada pertengahan Safar 609 H.) telah melahirkan “ketakutan” yang dirasakan penduduk Andalus secara umum, dan penduduk jayan, secara khusus, adalah satu hal yang tidak bisa dipungkiri. Dan bukanlah hal mustahil bila dikatakan, bahwa mendiang ayahnya adalah salah satu korban dan peristiwa ini.
Bila itu yang terjadi, maka Ibnu Malik ditinggal ayahnya ketika ia masih keci dan kesebatangkaraannya di Andalus barangkat yang mengantarkan beliau hari pergi dan Andalus menuju ke Timur Jauh
Ada dua hal yang mendorong Ibnu Malik untuk melakukan pengembaraan ke Timur Jauh, (ketika itu kira-kira umurnya 25-30 tahun) pertama adalah; disebabkan pergolakan-pergolakan yang terjadi pada masa itu. Kedua adalah; tradisi orang-orang Andalus acapkali melakukan perjalanan jauh dan sebagian besar dilakukan ke wilayah Hijaz, untuk menunaikan ibadah haji dan mencari ilmu.
Dari paparan cerita di atas, maka jelaslah bahwa lbnu Malik melakukan perjalanannya di waktu usianya masih belia. Karenanya beliau tidak menyelesaikan pengembaraan ilmiahnya di kota kelahirannya itu, tapi diselesaikan dan disempurnakannya di Timur Jauh
Kepergian lbnu Malik adalah dalam rangka menghindari gejolak sosial dan politik yang terjadi di Andalus, tetapi tempat yang menjadi tujuan Ibnu Malik pun ternyata dalam keadaan bergejolak, akibat dari sisa-sisa perang Salib, dan Tartar ditambah dengan munculnya perebutan tampuk kekuasaan antara generasi pasca Shalahuddin al-Ayyubi di Timur Jauh. Hal ini berakibat pada pecahnya daulah al-Ayyubyah setelah kematian Shalahudin.
Kendatipun demikian, tumbuh suburnya kajian-kajian ilmiah dari berbagai disiplin ilmu tidak bisa dibendung dengan ditandai munculnya Mesir dan Syam menjadi pusat kegiatan dan kebangkitan kebudayaan dan peradaban, seiring dengan itu. gerakan tulis menulis dan kodifikasi ilmu pengetahuan mendapat concern ilmuwan waktu itu Secara lebih khusus menjamurnya beberapa disiplin ilmu, diantaranya: ilmu nahwu, tatebahasa dan qira‘at, melengkapi suburnya kajian ilmu fiqih, hadis, tafsir dan tasawuf.
Hal ini ditandai dengan munculnya beberapa ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu (kira-kira abad Vil). Seperti; lbnu Mu’thi, Ibnu al-Hayib, Ibnu Ya’isy, lbnu Amrun, al-Syakhawi, lbnu Khulkan, lbnu al-Faridi, alHafide Al-Mundzit. Ibnu Daqiq al-‘led dan lain-lainnya.
Disebutkan bahwa, lbnu Malik sampai di Damaskus, kemudian menuju daerah Aleppo (Bahase Arab Halb) dan sempat berdiam di kota tersebut beberapa saat Selang beberapa waktu kemudian beliau pergi menuju Hama. Di dua kota inilah beliau sempat menyelenggarakan pengajian. Meskipun tidak ada data yang jelas dan pasti sampai berapa lama beliau singgah dan diam di dua kota tersebut, tapi! yang pasti, Ibnu Malik kembali tiba di Damaskus yang kedua kalinya dan menetap selamanya di kota ini. Hal ini dilakukan setelah perjalanannya dari Andalus menuju Syam melalui kota Cairo (Mesir) dan Hijaz.
Ibnu Malik pernah berguru kepada Syeikh Alamuddin al-Syakhawi al-Nahwi al-Muqrie al-Syafi’i (w. 643H.), selain menghadiri pengajian syeikh tersebut, beliau berguru kepada Ibnu Shabah (w. 632H) juga kepada Mukarram yang dikenal dengan nama Abi Shaqr (w. 635H). Kepada ketiga gurunya tersebut, dilakukan ketika beliau berada di Damaskus. Dua orang gurunya dari Aleppo ialah; Ibnu Ya’tsy (w. 643+.) dan Ibnu ‘Amrun, murid dari syeikh Ibnu Ya’isy (w. 649H).
Dari rangkaian cerita di atas, jelaslah bahwa pada diri Ibnu Malik terkumpul pemikiran disiplin ilmu ini dari berbagai aliran, hampir semua ulama terkemuka (di Syria) yang hidup pada zamannya pernah menjadi gurunya, paling tidak, pernah mendiskusikan berbagai masalah dengannya.
Setelah lbnu Malik menyelesaikan pendidikannya dalam ilmu qiro‘at, hadis, tatabahasa Arab bersama guru-gurunya dari Damaskus dan Aleppo, di kota yang kedua inilah, beliau mulai bergumul dengan kesibukan barunya untuk mengajar, menulis buku sekaligus menjadi imam pada satu tempat yang dikenal dengan nama *
al-Shulthaniyah”. Adalah salah satu tempat peninggalan Malik Dzahir Ghozi bin Shalahudin di Aleppo (w. 613H.), tempat yang terletak tepat berhadapan dengan benteng Aleppo, yang dianggap milik bersama oleh madzhab al-Syafi’i dan al-Hanafi. Dan di tempat ini pula beliau membentuk semacam pengajian (halaqah).
Untuk yang kesekian kalinya Ibnu Malik kembali ke Damaskus setelah melalui kota Hama (di kota ini beliau sempat mengadakan pengajian beberapa saat). Seperti di kota Aleppo, di kota Damaskus pun melakukan malakukan kegiatan mengajar, menulis buku dan menjadi imam di sebuah tempat yang dikenal dengan nama “Adilyyah”. Kini dijadikan balai riset dan pengkajian ilmiah, letaknya dekat makam Shalahudin al-Ayyubi berhadapan langsung dengan perpustakaan al-Dzohinyah di komplek masjid Umawi. Shultan Nurudin Mahmud Zenki adalah peletak batu pertama dalam pembangunan madrasah ini, yang disediakan untuk mempelajari madzhab Syafi’’i. Namun sebelum beliau menyelesaikan tugasnya, Allah telah memanggilnya menghadap-Nya. Proyek itu selanjutnya dikerjakan oleh Malik ‘Adil (saudara kandung Shalahuddin al-Ayyubi) pada tahun 612 H. Bangunan ini di lengkapi ruangan pengajian, ruangan Ibnu Malik. Di sebelah kanan atas pintu masuk adalah kamar untuk penjaga (khadim) balai penelitian tersebut, dan sebelah kiri pintu masuk adalah kamar yang pernah ditempati Ibnu Khulkan dulu. Yang masih bisa kita saksikan sampai saat ini.
Perlu segera ditambahkan di sini, bahwa pengembaraan dari satu perguruan ke perguruan lainnya adalah tradisi yang dilakukan oleh ulama dan ilmuwan waktu itu, termasuk Ibnu Malik. Kedatangannya di Damaskus terkecuali mendapat sambutan yang antusias dan hangat dari para ulama terkemuka saat itu, juga Membawa perubahan terhadap karakter dan tatacara berpikir Ibnu Malik, dan tidaklah berlebihan kalau dikatakan, bahwa kepindahannya dari madzhab Maliki ke Syafi’l, adalah akibat logis dari kondisi sosiologi dimana beliau hidup.
Madzhab Syafi’i adalah madzhab yang dianut oleh sebagian besar penduduk Syam (Damaskus). Kendatipun madzhab lain ditemukan pula di kota ini.
Beberapa catatan sejarah, menyebutkan bahwa lbnu Malik hanya mempunyai dua putra, Badruddin dan Taqyuddin al-Asad, Yang kemudian salah satu diantara keduanya (Badruddin) mengikuti jejak ayahnya dalam menggeluti disiplin ilmu ini.
Karya-karya beliau:
Karya-karya beliau dalam bidang nahu, sharaf dan qiro’at antara lain:.
1. Al-Kafiyah al-Syofiyah: Dengan metode nadzoman, jumlahnya mendekati tga ribu bait, mengupas dan mengkaji ilmu Nahwu dan Sharaf.
2. Al-Khulasoh: adalah karya monumentalnya. Buku yang disusunnya ini sungguh merupakan satu-satunya buku yang paling komprehensif di bidang Nahwu dan Sharaf (baca: gramatika bahasa Arab), sistematis dan disusun dengan cara yang sangat baik, paling tidak, yang muncul pada saat itu.
3. Al-Tashil: seperti dua kitab sebelumnya, kitab ini juga berisikan tentang ilmu gramatika bahasa Arab (Nahwu dan Sharaf).
4. Ijaz al-Ta’rif fi ilmi af-Tashrif dan Sarh Tashrif Ibn Malik. Kedua kitab ini lebih difokuskan pada disiplin iimu Saraf.
5. Al-Malikiyah fi al-Qira‘at dan al-Lamiyyah fi al-Qiro’at
6. Nadzmu al-Farid dan ikmalu al-i’lam bi mutsallatsi al-Kalam adalah karyanya dalam bidang bahasa.
Demikian biografi singkat penulis kitab Alfiyah. Semoga Allah melimpahkan pahala melimpah kepada penulis dan menjadikan ilmunya bermanfaat untuk kita semua. Aamiin