Fatwapedia.com – Diantara bentuk mu’asyarah suami istri yang diperbolehkan oleh syari’at adalah bersikap lemah lembut terhadap pasangan dan saling menyenangkan satu sama lain. Persoalan ranjang yang tidak harmonis kerap menjadi batu sandungan munculnya masalah rumah tangga. Lantas bagaimana cara melakukan hubungan intim dengan berbagai posisi dan gaya demi memuaskan pasangan? Adakah posisi dan cara bersenggama yang dilarang?
السؤال
هل هناك وضعيات في الجماع محرمة في الشرع ؟ “الإتيان من القبل فقط لا الدبر -والعياذ بالله- لكن في شكل وضعيات”؟ هل يجوز النظر للفرج والاستمتاع به للزوجين؟ هل تجوز المداعبة أثناء الاستحمام؟
Pertanyaan: apakah ada posisi jimak yang dilarang menurut syari’at? Contohnya mendatangi istri dari belakang tanpa memasukan ke dubur, jadi hanya posisi dari belakang? Bolehkah melihat kemaluan istri dan bersenang-senang dengannya? Dan bolehkah bercanda di dalam kamar mandi?
الإجابــة
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعد:
فعلى أي هيئة جامع الرجل زوجته، أو داعبها، جاز ذلك، إذا كان يأتيها في مأتى واحد وهو القبل، وكان ذلك لا يترتب عليه ضرر لأحدهما، ويجوز نظر كل منهما للآخر؛
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعد:
فعلى أي هيئة جامع الرجل زوجته، أو داعبها، جاز ذلك، إذا كان يأتيها في مأتى واحد وهو القبل، وكان ذلك لا يترتب عليه ضرر لأحدهما، ويجوز نظر كل منهما للآخر؛
Jawaban: segala puji bagi Allah shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan sahabatnya. Dengan posisi apapun seorang suami menggauli istrinya boleh, selama mendatangi dari tempatnya (kemaluan), cara seperti itu tidak membahayakan salah satu dari keduanya, dan boleh saling memandang kemaluan pasangan.
فقد روى البخاري ومسلم عن عائشة- رضي الله عنها- أنها قالت: كنت أغتسل أنا ورسول الله صلى الله عليه وسلم من إناء بيني وبينه واحد، تختلف فيه أيدينا، فيبادرني حتى أقول: دع لي، دع لي، قالت: وهما جنبان…
Aisyah radhiayallohu ‘anha berkata: “Aku pernah mandi bersama rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana (semacam ember) [tangan-tangan kami saling bersentuhan dalam bejana tersebut]. Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam berebutan (air) denganku sampai aku berkata: sisakan untukku, sisakan untukku”. Aisyah -radhiyallohu ‘anha- mengatakan bahwa keduanya dalam keadaan junub.
قال الحافظ في الفتح: استدل به الداوودي على جواز نظر الرجل إلى عورة امرأته وعكسه، ويؤيده ما رواه ابن حبان من طريق سليمان بن موسى أنه سئل عن الرجل ينظر إلى فرج امرأته؟ فقال: سألت عطاء، فقال: سألت عائشة، فذكرت هذا الحديث بمعناه، وهو نص في المسألة.
Berkata Al-Hafizh dalam Fathul Bari (1/364), “Ad-Dawudi dengan dalil ini berpendapat boleh seorang suami melihat aurat istrinya, begitu juga sebaliknya. Dan yang menguatkan pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari jalan Sulaiman bin Musa bahwasanya ia ditanya tentang seseorang yang melihat kemaluan istrinya. Ia pun menjawab, ‘Aku bertanya kepada Atho, ia pun menjawab, ‘Aku bertanya kepada Aisyah tentang hal itu, beliau pun menyebutkan makna hadits ini. ‘ Hadits ini merupakan nash dalam masalah ini.
ويدل لجواز جميع الوضعيات ما رواه البخاري ومسلم عن جابر- رضي الله عنه- قال: كانت اليهود تقول: إذا جامعها من ورائها جاء الولد أحول. فنزلت: نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم.
Dalil bolehnya melakukan jimak dengan berbagai posisi adalah hadits riwayat Bukhari dari Jabir, ia berkata: dahulu orang-orang Yahudi akan mengatakan jika dia bersetubuh di belakangnya, maka anak itu akan menjadi juling” lalu turun ayat: istri-istri kalian adalah ladang kalian maka datangilah semau kalian.
ولأبي داود عن ابن عباس- رضي الله عنهما- قال: َ كَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنَ الْأَنْصَارِ وَهُمْ أَهْلُ وَثَنٍ مَعَ هَذَا الْحَيِّ مِنْ يَهُودَ وَهُمْ أَهْلُ كِتَابٍ وَكَانُوا يَرَوْنَ لَهُمْ فَضْلًا عَلَيْهِمْ فِي الْعِلْمِ فَكَانُوا يَقْتَدُونَ بِكَثِيرٍ مِنْ فِعْلِهِمْ وَكَانَ مِنْ أَمْرِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَنْ لَا يَأْتُوا النِّسَاءَ إِلَّا عَلَى حَرْفٍ
“Dalam sunan Abu Daud dari Anas bin Malik berkata: Sesungguhnya terdapat sebuah kampung anshar yang merupakan para penyembah berhala, hidup bersama kampung yahudi yang merupakan ahli kitab. Dan mereka memandang bahwa orang-orang yahudi memeliki keutamaan atas mereka dalam hal ilmu. Dan mereka mengikuti kebanyakan perbuatan orang-orang yahudi. Diantara keadaan ahli kitab adalah bahwa mereka tidak menggauli isteri mereka kecuali dengan satu cara,
وَذَلِكَ أَسْتَرُ مَا تَكُونُ الْمَرْأَةُ فَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنَ الْأَنْصَارِ قَدْ أَخَذُوا بِذَلِكَ مِنْ فِعْلِهِمْ وَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ قُرَيْشٍ يَشْرَحُونَ النِّسَاءَ شَرْحًا مُنْكَرًا، وَيَتَلَذَّذُونَ مِنْهُنَّ مُقْبِلَاتٍ وَمُدْبِرَاتٍ وَمُسْتَلْقِيَاتٍ فَلَمَّا قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ الْمَدِينَةَ تَزَوَّجَ رَجُلٌ مِنْهُمُ امْرَأَةً مِنَ الْأَنْصَارِ فَذَهَبَ يَصْنَعُ بِهَا ذَلِكَ فَأَنْكَرَتْهُ عَلَيْهِ،
dan hal tersebut lebih menjaga rasa malu seorang wanita. Dan orang-orang anshar ini mengikuti perbuatan mereka dalam hal tersebut. Sementara orang-orang Quraisy menggauli isteri-isteri mereka dengan cara yang mereka ingkari, orang-orang Quraisy menggauli mereka dalam keadaan menghadap dan membelakangi serta dalam keadaan terlentang. Kemudian tatkala orang-orang muhajirin datang ke Madinah, salah seorang diantara mereka menikahi seorang wanita anshar. Kemudian ia melakukan hal tersebut. Kemudian wanita anshar tersebut mengingkarinya dan berkata;
وَقَالَتْ: إِنَّمَا كُنَّا نُؤْتَى عَلَى حَرْفٍ فَاصْنَعْ ذَلِكَ وَإِلَّا فَاجْتَنِبْنِي، حَتَّى شَرِيَ أَمْرُهُمَا فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ {نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ}أَيْ: مُقْبِلَاتٍ وَمُدْبِرَاتٍ وَمُسْتَلْقِيَاتٍ يَعْنِي بِذَلِكَ مَوْضِعَ الْوَلَدِ
sesungguhnya kami didatangi dengan satu cara, maka lakukan hal tersebut, jika tidak maka jauhilah aku! Hingga tersebar permasalahan mereka, dan hal tersebut sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. kemudian Allah ‘azza wajalla menurunkan ayat: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” Yakni dalam keadaan menghadap (saling berhadapan), membelakangi dan terlentang, yaitu pada tempat diperolehnya anak (farj).” (Sunan Abu Dawud, No. 2164).
. وقال القرطبي في تفسيره: ويباح الإتيان على كل حالة إذا كان الوطء في موضع الحرث: أي كيف شئتم من خلف، ومن قدام، وباركة، ومستلقية… اهـ.
Berkata Al-Qurtubi dalam tafsirnya: dan dibolehkan mendatangi istri pada semua kondisi/posisi jika jimak dilakukan pada bagian farji, artinya bagaimana kalian mau dari belakang dari depan dan terlentang. Selesai.
وتجوز المداعبة بما لا يؤذي من الضرب إن كانا يستمتعان بذلك ما لم يضرها، فإن ترتب عليها ضرر منعت؛ لحديث الموطأ: لا ضرر ولا ضرار.
Dan boleh bermain-main bersama pasangan dengan sesuatu yang tidak menyakiti seperti memukul, jika itu dinikmati oleh keduanya dan tidak membahayakan, jika berdampak pada bahaya maka dilarang. Berdasarkan hadits: Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri.