Fatwapedia.com – Hadiah yang diberikan oleh orang yang berhutang (debitur) pada orang yang menghutangi (kreditur) ada tiga bentuk dan memiliki hukum yang berbeda-beda, yaitu:
Pertama, hadiah tersebut disyaratkan di awal oleh pemberi hutang (kreditur). Hal ini adalah haram menurut kesepakatan ulama’ karena termasuk kategori riba. Rasulullah bersabda
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوهِ الرِّبَا
“Setiap hutang piutang yang di dalamnya menarik manfaat, maka itu termasuk baian dari riba” (HR. Baihaqi 11252)
Kedua, hadiah tersebut diberikan di akhir ketika membayar hutang, tanpa ada syarat di awal serta murni dari inisiatif orang yang berhutang. Hal ini adalah boleh bahkan disunnahkan. Rasulullah bersabda
إنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
“Sesungguhnya yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang (tepat waktu dan melebihi sebagai tanda jasa).” (HR. Bukhari no.2305)
Ketiga, hadiah tersebut diberikan di tengah (bukan pada waktu melunasi hutang), tanpa ada syarat di awal serta murni dari inisiatif orang yang berhutang. Jika hal tersebut telah menjadi kebiasaan sebelum penghutang berhutang (seperti penghutang adalah teman, tetangga, atau saudara dari yang menghutangi yang sudah terbiasa memberikan hadiah sebelum terjadinya transaksi hutang-piutang), maka ulama’ sepakat hukumnya boleh. Dalam hal ini Rasulullah bersabda
اذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا، فَأَهْدَى لَهُ، أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ، فَلَا يَرْكَبْهَا وَلَا يَقْبَلْهُ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ»
‘Jika seseorang di antara kalian memberikan hutang, lalu si penghutang memberikan hadiah kepadanya, atau memboncengnya dengan hewan tunggangan, maka jangan mau dibonceng dan jangan terima hadiahnya. Kecuali jika hal itu memang sudah biasa terjadi di antara mereka‘” (HR. Ibn Majah no. 2432)
Jika pemberian hadiah tersebut bukan menjadi kebiasaan sebelumnya, maka mayoritas ulama’ (Hanafi, Maliki, dan Hanbali) menganggapnya haram berdasarkan hadis di atas sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, vol. 33, hal. 131-132. Namun menurut madzhab Syafi’iyyah diperbolehkan meski lebih baik dihindari. Dalam kitab Mughnil Muhtaj disebutkan
وَلَا يُكْرَهُ لِلْمُقْرِضِ أَخْذُ هَدِيَّةِ الْمُسْتَقْرِضِ بِغَيْرِ شَرْطٍ. قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَالتَّنَزُّهُ عَنْهُ أَوْلَى قَبْلَ رَدِّ الْبَدَلِ.
[الخطيب الشربيني، مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج، ٣٤/٣]
“Tidak Makruh bagi orang yang menghutangi untuk menerima hadiah dari orang yang berhutang jika tidak disyaratkan di awal. Imam Mawardi berkata ‘hanya saja lebih baik menghindarinya jika hadiah tersebut diberikan sebelum pelunasan hutang”…
Berdasarkan hal tersebut bagi yang ingin berhati-hati lebih baik menghindarinya. Namun tidak boleh menghujat orang yang bersedia menerimanya karena memang dalam madzhab Syafi’i diperkenankan ketika inisiatif dari yang berhutang dan tidak disyaratkan di awal. Wallahu A’lam.
Oleh: Ust. Abdul Wahid Alfaizin