Telah masyhur dikalangan ulama Qur`an, pembagian pembacaan Al-Qur`an agar dikhatamkan selama 7 hari, yang dikenal dengan nama “Hizib”. Yang menjadi landasan secara tersurat pembagian hizib ini adalah hadits yang dikeluarkan oleh al-Imam Abu Dawud dalam “Sunannya” (No. 1185), al-Imam Ibnu Majah dalam “Sunannya” (No. 1335) dan al-Imam Ahmad dalam “al-Musnad” (No. 15578 & 18248, semua penomoran hadits mengacu kepada aplikasi Ensiklopedi Hadits kitab 9 Imam), semuanya dari jalan yang bermuara kepada (ini lafazh Musnad Ahmad)
Hadits tentang hizib Al-qur’an terbagi menjadi tujuh untuk tujuh hari.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الطَّائِفِيُّ ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَوْسٍ الثَّقَفِيِّ ، عَنْ جَدِّهِ أَوْسِ بْنِ حُذَيْفَةَ ، قَالَ : كُنْتُ فِي الْوَفْدِ الَّذِينَ أَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْلَمُوا مِنْ ثَقِيفٍ مِنْ بَنِي مَالِكٍ، أَنْزَلَنَا فِي قُبَّةٍ لَهُ، فَكَانَ يَخْتَلِفُ إِلَيْنَا بَيْنَ بُيُوتِهِ وَبَيْنَ الْمَسْجِدِ، فَإِذَا صَلَّى الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ انْصَرَفَ إِلَيْنَا، فَلَا يَبْرَحُ يُحَدِّثُنَا وَيَشْتَكِي قُرَيْشًا وَيَشْتَكِي أَهْلَ مَكَّةَ، ثُمَّ يَقُولُ : ” لَا سَوَاءَ، كُنَّا بِمَكَّةَ مُسْتَذَلِّينَ، أَوْ مُسْتَضْعَفِينَ، فَلَمَّا خَرَجْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ كَانَتْ سِجَالُ الْحَرْبِ عَلَيْنَا وَلَنَا “. فَمَكَثَ عَنَّا لَيْلَةً لَمْ يَأْتِنَا، حَتَّى طَالَ ذَلِكَ عَلَيْنَا بَعْدَ الْعِشَاءِ، قَالَ : قُلْنَا : مَا أَمْكَثَكَ عَنَّا يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : ” طَرَأَ عَلَيَّ حِزْبٌ مِنَ الْقُرْآنِ، فَأَرَدْتُ أَنْ لَا أَخْرُجَ حَتَّى أَقْضِيَهُ “. فَسَأَلْنَا أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ أَصْبَحْنَا، قَالَ : قُلْنَا : كَيْفَ تُحَزِّبُونَ الْقُرْآنَ ؟ قَالُوا : نُحَزِّبُهُ ثَلَاثَ سُوَرٍ، وَخَمْسَ سُوَرٍ، وَسَبْعَ سُوَرٍ، وَتِسْعَ سُوَرٍ، وَإِحْدَى عَشْرَةَ سُورَةً، وَثَلَاثَ عَشْرَةَ سُورَةً، وَحِزْبُ الْمُفَصَّلِ ؛ مِنْ : ( ق )، حَتَّى تَخْتِمَ.
“telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abdurrahman Ath-Tha’ifi dari ‘Utsman bin Abdullah bin Aus Ats-Tsaqafi dari kakeknya, Aus bin Hudzaifah radhiyallahu anhu berkata, saya berada dalam rombongan utusan yang mendatangi Nabi ﷺ. Mereka telah masuk Islam, dari kabilah Tsaqif, dari Bani Malik. Kami mendatangi kemah besar Beliau, yang kemah tersebut berada antara rumah Beliau dan masjid Nabawi. Jika Beliau telah melaksanakan salat Isya pada akhir malam, Beliau mengunjungi kami, dan kami tidak meninggalkan tempat itu sampai Beliau menceritakan kepada kami dan mengadukan penderitaannya dari orang Quraisy dan penduduk Makkah. Selanjutnya Beliau bersabda, “Tidak sama, kami di Makkah dalam keadaan selalu dihinakan dan dilemahkan. Tatkala kami keluar ke Madinah, terjadilah peperangan, Kemenangan dan kekalahan terjadi silih berganti, terkadang kami menerima kekalahan, namun terkadang memperoleh kemenangan.” Suatu malam Beliau tidak mendatangi kami, hal itu berlalu sekian lama sesudah waktu Isya.’ (Aus bin Hudzaifah) berkata, apa yang menyebabkan Anda meninggalkan kami Wahai Rasulullah? Beliau bersabda, “Telah turun kepadaku sekian kumpulan Al-Qur’an, sehingga memaksa saya tidak keluar sampai hal itu selesai. (Aus bin Hudzaifah) berkata, kami bertanya kepada para sahabat Rasulullah keesokan harinya, ” BAGAIMANA CARA KALIAN MEMBAGI-BAGI (BACAAN) AL-QUR’AN?”, mereka menjawab, “kami membaginya (hari pertama) 3 surat, (lalu hari berikutnya) 5 surat, lalu 7 surat, lalu 9 surat, lalu 11 surat, lalu 13 surat, lalu hizbil mufashshal dari surat Qaf sampai selesai.”
Kedudukan sanad :
√ Abdullah bin Abdurrahman Ath-Tha’ifi, ada penilaian al-Imam Bukhari terhadapnya, “مقارب الحديث، فيه نظر”. Seandainya berhenti di lafazh maqârib al-hadîts, tentu akan kita nilai beliau sebagai perawi yang hasanul hadits, hanya saja ada perkataan beliau, fîhi nadhor, maka ini adalah menunjukkan jarh juga kepadanya dari beliau.
Al-Imam Ali bin al-Madini, gurunya al-Imam Bukhari yang terkenal sebagai ulama jarh yang mutasyadid memberikan penilaian tsiqah untuknya, ini tentu menjadi point lebih kepada perawi ini. Oleh sebab itu, mungkin Al-Hafizh dalam “at-Taqrîb” menilainya sebagai perawi “صدوق يخطىء ويهم”, ini mengindikasikan perawi ini hasan haditsnya menurut beliau.
Penulis kitab “at-Tahrîr”, yang merupakan koreksi terhadap kitab at-Taqrîb, memberikan penilaian :
ضعيف يعتبر به في المتابغات والشواهد
” Dhoif, bisa dijadikan penguat.”
√ Utsman bin Abdullah bin Aus Ats-Tsaqafi, ditsiqahkan oleh al-Imam Ibnu Hibban. Al-Imam Ibnu Abi Hatim dalam kitabnya “al-Jarh Wa at-Ta’dil” menyebutkan bahwa ia meriwayatkan hadits dari kakeknya yang merupakan seorang shahabi, yaitu Aus bin Hudzaifah radhiyallahu anhu, yang merupakan perawi hadits yang kita bahas ini. Namun al-Imam Ibnu Abi Hatim tidak menyebutkan jarh maupun ta’dil kepadanya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya “at-Taqrîb”, memberikan penilaian “Maqbul”, artinya ia seorang perawi dhoif, namun masih bisa dijadikan penguat. Sedangkan penulis kitab “at-Tahrîr”, malah menilainya lebih tinggi dengan mengatakan:
صدوق حسن الحديث، إذ روى عنه جمع، ووثقه ابن حبان
“Shaduq hasan haditsnya, jika sejumlah ulama meriwayatkan darinya dan Ibnu Hibban mentsiqahkannya.”
Berdasarkan keterangan diatas, maka minimal penilaian untuknya adalah dhoif, namun dhoifnya kategori ringan. Al-Imam al-Albani dan Syu’aib Arnauth bersama timnya mendhoifkan hadits yang kita bahas ini. Al-‘Allâmah Abdul Muhsin al-‘Abbad, ahli hadits kenamaan zaman ini dalam Syarat Sunan Abu Dawud menambahkan penilaian alasan kedhoifannya, yakni matan (isi) haditsnya mengandung nakarah, karena dalam lafazh Abu Dawud :
كَانَ كُلَّ لَيْلَةٍ يَأْتِينَا بَعْدَ الْعِشَاءِ يُحَدِّثُنَا و قَالَ أَبُو سَعِيدٍ قَائِمًا عَلَى رِجْلَيْهِ حَتَّى يُرَاوِحُ بَيْنَ رِجْلَيْهِ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَأَكْثَرُ مَا يُحَدِّثُنَا مَا لَقِيَ مِنْ قَوْمِهِ مِنْ قُرَيْشٍ ثُمَّ يَقُولُ لَا سَوَاءَ كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ
“Setiap habis Isya’, beliau selalu menemui kami kami untuk bercakap-cakap.” -Abu Sa’id mengatakan-, “Sambil berdiri di atas salah satu kakinya secara berganti-gantian di antara kedua kakinya, karena lamanya berdiri. Dan yang paling banyak yang diceritakan adalah apa yang beliau alami dari kaumnya, Quraisy.”
Yakni cara Nabi ﷺ menemui mereka dengan kakinya gonta-ganti bersandar adalah cara yang tidak sopan dalam menemui tamu, Beliau berbicara kepada mereka dengan berdiri, sedangkan tamunya dalam kondisi duduk, ini adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh Nabi kita yang mulia ﷺ.
Rincian nama-nama surat pada tiap hizb |
Akan tetapi fiqih hadits yang hendak kita sampaikan bahwa Al-Qur’an sudah dikenal sejak dulu dengan membaginya menjadi 7 hizib, maka ini dikuatkan dalam hadits riwayat Shahihain dari riwayat Ibnu Amr radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah ﷺ berkata kepadanya :
«وَاقْرَأِ الْقُرْآنَ فِي كُلِّ شَهْرٍ» قَالَ قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ، إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ، قَالَ: «فَاقْرَأْهُ فِي كُلِّ عِشْرِينَ» قَالَ قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ، إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ، قَالَ: «فَاقْرَأْهُ فِي كُلِّ عَشْرٍ» قَالَ قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ، إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ، قَالَ: «فَاقْرَأْهُ فِي كُلِّ سَبْعٍ، وَلَا تَزِدْ عَلَى ذَلِكَ
“Khatamkanlah membaca Al-Qur’an dalam setiap bulan!”. Abdullah bin Amru berkata: “Wahai nabi Allah, saya mampu lebih dari itu.”
Beliau ﷺ melanjutkan : “Khatamkanlah membaca Al-Qur’an dalam setiap dua puluh hari!”. Abdullah bin Amru berkata: “Wahai nabi Allah, saya mampu lebih dari itu.”
Beliau ﷺ melanjutkan : “Khatamkanlah membaca Al-Qur’an dalam setiap sepuluh hari!”. Abdullah bin Amru berkata: “Wahai nabi Allah, saya mampu lebih dari itu.”
Pada pungkasannya, Beliau ﷺ mengatakan : “Khatamkanlah membaca Al-Qur’an DALAM SETIAP TUJUH HARI dan jangan lebih cepat dari itu!”.
Adapun rincian apa saja surat-surat yang dibaca dalam masing-masing hizib, dapat dilihat pada poster yang kami lampirkan juga. Wallahu A’lam.
Oleh: Abu Sa’id Neno Triyono