Fatwapedia.com – Pada asalnya, mengkritik penguasa dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau tertutup. Karena secara umum, metode seperti ini lebih berpeluang untuk diterima. Selain itu, wibawa penguasa lebih terjaga dan mudharat lebih bisa untuk diminimalisir. Hal ini berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa salalm :
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُوا بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Barang siapa yang ingin menasihati penguasa, hendaknya jangan melakukannya secara terang-terangan, tapi hendaknya dia amil tangannya dan bersendiri dengannya. Jika dia (penguasa) menerimanya (alhamdulillah), jika tidak, dia telah melakukan apa yang wajib baginya.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah : 1096 dan selainnya. Hadis ini dinilai hasan oleh sebagian ulama, tapi dinilai dhaif oleh ulama yang lain).
Perintah dalam hadis di atas sifatnya anjuran, bukan wajib. Artinya, tidak bermakna pembatasan, tapi hanya penyebutan salah satu metode dalam menasihati penguasa. Jika dirasa cara ini kurang berhasil, atau sulit dilakukan karena akses ke penguasa sangat sulit, maka dibolehkan untuk dilakukan secara terbuka. Apalagi di negera demokrasi seperti Indonesia, nahi munkar yang disampaikan secara terbuka, baik lewat pengajian, ceramah, seminar, konferensi pers, medsos (facebook, instagram, twitter, youtube, dan yang lainnya), disamping dilindungi oleh UU, juga terkadang lebih didengar dan prosentase keberhasilannya lebih besar (dengan beberapa ketentuan yang telah digariskan para ulama sebagaimana akan disampaikan setelah ini).
Ada beberapa dalil dalam masalah ini, diantaranya hadis dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Seutama-utama jihad adalah mengucapkan keadilan (dalam riwayat lain : kebenaran) di sisi penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud : 4344 dan selainnya).
Kata “di sisi” di dalam hadis di atas adalah “zarfu al-makan” (kata keterangan tempat) yang menunjukkan bahwa penyampaiannya dilakukan secara terang-terangan. Demikian dijelaskan oleh para ulama (simak : Tuhfatul Mujib : 146). Diriwayatkan pula dari sahabat Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu beliau berkata :
قِيلَ لَهُ: أَلَا تَدْخُلُ عَلَى عُثْمَانَ فَتُكَلِّمَهُ؟ فَقَالَ: أَتَرَوْنَ أَنِّي لَا أُكَلِّمُهُ إِلَّا أُسْمِعُكُمْ؟ وَاللهِ لَقَدْ كَلَّمْتُهُ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَهُ، مَا دُونَ أَنْ أَفْتَتِحَ أَمْرًا لَا أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ مَنْ فَتَحَهُ
“Ada yang berkata kepada beliau (Usamah) : “Tidakkah engkau masuk kepada (khalifah) Utsman dan menyampaikannya ?” Apakah kalian menyangka bahwa aku belum menyampaikannya kecuali aku memperdengarkan kepada kalian ?” (maksudnya : aku telah menyampaikan kepada Utsman dan tidak harus memberitahukannya kepada kalian). Demi Allah, sungguh aku telah menyampaikannya secara empat mata, tanpa membuka perkaranya secara luas karena tidak ingin menjadi orang pertama yang membukanya.” (HR. Muslim : 2989)
Kalimat yang berbunyi “tanpa membuka perkaranya secara luas karena tidak ingin menjadi orang pertama yang membukanya”, menurut imam An-Nawawi rahimahullah maksudnya : “Mengingkari penguasa secara terang-terangan di kerumunan orang/masa”. (simak Syarah shahih muslim : 18/118). Setelah itu, Imam An-Nawawi (w.676 H) rahimahullah menyatakan :
وَفِيهِ الْأَدَبُ مَعَ الْأُمَرَاءِ وَاللُّطْفُ بِهِمْ وَوَعْظُهُمْ سِرًّا وَتَبْلِيغُهُمْ مَا يَقُولُ النَّاسُ فِيهِمْ لِيَنْكَفُّوا عَنْهُ وَهَذَا كله اذا أمكن ذَلِكَ فَإِنْ لَمْ يُمْكِنِ الْوَعْظُ سِرًّا وَالْإِنْكَارُ فَلْيَفْعَلْهُ عَلَانِيَةً لِئَلَّا يَضِيعَ أَصْلُ الْحَقِّ
“Di dalamnya (riwayat di atas) terdapat adab terhadap para penguasa, bersikap lembut kepada mereka, berusaha untuk menasihati mereka secara sembunyi-sembunyi, serta menyampaikan aspirasi/kritkan rakyat kepada mereka agar mereka meninggalkannya (kemungkaran tersebut). Ini semua berlaku jika hal itu (menasihati secara sembunyi-sembunyi) memungkinkan. Jika tidak memungkinkan nasihat secara sembunyi-sembunyi, maka lakukanlah hal itu secara terbuka supaya kebenaran tidak hilang.” (Syarah Shahih Muslim : 18/118).
Diriwayatkan pula dari ‘Umarah bin Ruaibah :
رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ، فَقَالَ: «قَبَّحَ اللهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ، لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا، وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ»
“Dia (Umarah bin Ruaibah) melihat Bisyr bin Marwan mengangkat kedua tangannya di atas mimbar. Lalu beliau menegurnya secara langsung : “Semoga Allah memburukkan kedua tangan ini. Sungguh aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lebih dari mengangkat tangannya ini.” lalu beliau mengisyaratkan jari telunjuknya.” (HR. Muslim : 874).
Untuk lebih variatif, kami akan tampilkan juga beberapa fatwa ulama dari faksi (kelompok)Salafi yang membolehkan masalah ini (mengingkari penguasa secara terbuka). Kenapa ? Karena ada sebagian pihak dari mereka (oknum) yang sangat getol dalam mengingkari hal ini. Bahkan sebagiannya sampai pada tingkat menyesatkan dan meng-khawarij-kan siapa saja yang melakukan hal ini. Tindakan seperti ini tentunya tidak bisa dibenarkan dari sisi manapun. Bagaimana mereka akan menyesatkan orang yang melakukannya, sementara ulama mereka sendiri membolehkan dan mengamalkannya?!
Syekh Muhammad bin Salih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata : “Maka apabila kita memprediksi sesungguhnya pengingkaran secara terbuka akan menghilangkan kemungkaran dan kejelekan serta akan terealisasi kebaikan, maka kita ingkari secara terbuka. Tapi bila kita memprediksi pengingkaran secara terbuka tidak akan menghilangkan kejelekan dan tidak akan merealisasikan kebaikan, bahkan akan akan menyebabkan sebagian penguasa semakin mengingkari orang-orang yang baik, maka lebih baik kita ingkari secara sembunyi-sembunyi. Dengan demikian, akan bisa dikompromikan seluruh dalil-dalil yang ada dalam masalah ini. Dalil-dalil yang menunjukkan pengingkaran secara terbuka, adalah apabila kita menghendaki kemaslahatan di dalamnya, yaitu terealisasinya kebaikan dan hilangnya kejelekan. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan bahwa pengingkaran itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi, adalah apabila pengingkaran secara terbuka akan memperparah kejelekan dan tidak akan merealisasikan kebaikan. Saya tegaskan : Tidaklah sesat dari umat ini dari orang-orang yang sesat, kecuali disebabkan mereka mengambil satu sisi dari suatu dalil dan meninggalkan sisi yang lain, baik dalam masalah aqidah, muamalah dengan pemerintah, atau muamalah dengan manusia, ataupun selain itu.“ (Liqa’at Al-Bab Al-Maftuh : III/354).
Syekh Muqbil bin Hadi rahimahullah berkata : “Telah valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya beliau bersabda : (Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kalimat adil di sisi penguasa yang zalim). Dan kata “di sisi” tidak menunjukkan secara sembunyi-sembunyi hanya bersama penguasa saja (maksudnya disampaikan secara terbuka).” (Tuhfatul Mujib, hlm. 164). Perlu untuk diketahui, bahwa salah satu landasan syekh Muqbil membolehkan mengkritik penguasa secara terbuka, karena beliau menilai hadis yang memerintahkan untuk menasihati secara sembunyi-sembunyi sebagaimana telah disebutkan di awal, statusnya dhaif (lemah).
Topik pembahasan kita di sini adalah masalah kritik atau nasihat kepada penguasa. Tentunya hal seperti ini haruslah disampaikan dengan gaya bahasa yang baik, sopan, solutif dan argumentatif. Adapun caci maki, hinaan, celaan, atau provokasi untuk mengulingkan penguasa yang sah, maka di luar pembahasan ini. Kalau bentuknya seperti ini, kami pun sepakat tidak diperbolehkan.
Semoga tulisan kali ini bermanfaat dan menambah wawasan kita sekalian. Mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan. Wallahu ‘alam bish shawab.
Oleh : Ust. Abdullah Al-Jirani