Fatwapedia.com – Sebagaimana diketahui dari sisi apakah sholat sunnah disyariatkan berjamaah atau tidak, maka ada dua kategori. Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya “al-Umm” (I/167) telah menerangkannya :
التَّطَوُّعُ وَجْهَانِ أَحَدُهُمَا صَلَاةُ جَمَاعَةٍ مُؤَكَّدَةٍ فَلَا أُجِيزُ تَرْكَهَا لِمَنْ قَدَرَ عَلَيْهَا وَهِيَ صَلَاةُ الْعِيدَيْنِ وَخُسُوفِ الشَّمْسِ وَالْقَمَرِ وَالِاسْتِسْقَاءِ وَصَلَاةُ مُنْفَرِدٍ وَبَعْضُهَا، أَوْكَدُ مِنْ بَعْضٍ
“Sholat Tathowu’ itu ada dua sisi, yang pertama adalah sholat dengan berjamaah lebih ditekankan, maka tidak boleh meninggalkannya bagi yang mampu melaksanakannya, yaitu : sholat dua hari raya, gerhana matahari dan bulan serta minta hujan. (Yang kedua) adalah sholat sendirian dimana sebagiannya lebih ditekankan dibandingkan sebagian lainnya.” -selesai-.
Adapun khusus untuk sholat Dhuha, maka ia termasuk kelompok yang disyariatkan dikerjakan sendiri. Al-Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya “al-Majmu” (III/548) berkata :
….وأما باقي النوافل كالسنن الراتبة مع الفرائض والضحى والنوافل المطلقة فلا تشرع فيها الجماعة , أي لا تستحب….
“…adapun sisa sholat nafilah lainnya, seperti sunah rawatib yang menyertai sholat wajib, DHUHA dan Nafilah mutlak, maka tidak disyariatkan padanya sholat berjamaah, yakni tidak dianjurkan…”.(faedah dari asy-Syaikh al-Munajid).
Kemudian permasalahannya adalah apakah diperbolehkan sholat yang disyariatkan dikerjakan sendiri-sendiri, pada kesempatan lain dikerjakan secara berjamaah?,
Maka dalam kasus ini, kita berangkat dari hadits-hadits yang menunjukkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengerjakan sholat dengan kategori diatas secara berjamaah. Misalnya hadits ‘Itbân bin Mâlik radhiyallahu anhu dalam Shahihain :
….فَغَدَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ حِينَ ارْتَفَعَ النَّهَارُ، فَاسْتَأْذَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَذِنْتُ لَهُ، فَلَمْ يَجْلِسْ حَتَّى دَخَلَ الْبَيْتَ، ثُمَّ قَالَ : ” أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ مِنْ بَيْتِكَ ؟ ” قَالَ : فَأَشَرْتُ لَهُ إِلَى نَاحِيَةٍ مِنَ الْبَيْتِ، فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَبَّرَ، فَقُمْنَا فَصَفَّنَا، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ سَلَّمَ…
“….keesokan harinya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Abu Bakar ketika siang sudah meninggi, lalu Rasulullah meminta izin (masuk rumahku), maka aku berikan izin, Beliau tidak duduk hingga masuk rumah, lalu berkata : “dimanakah tempat yang engkau ingin aku mengerjakan sholat didalam rumahmu?”,
Maka aku menunjukkan kepada Beliau tempat di pojok rumah, lalu Rasulullah berdiri, kemudian bertakbir, kami pun ikut berdiri dan menyusun shaf, lalu sholat dua rakaat, kemudian salam….”.
Hadits diatas dan yang senada dijadikan dalil oleh para ulama kita akan kebolehannya mengerjakan sholat sunnah yang tidak disyariatkan berjamaah untuk dikerjakan secara berjamaah, tapi dengan catatan TIDAK BOLEH DILANGGENGKAN ATAU MENJADI KEBIASAAN RUTIN. Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam kesimpulan fatwanya mengatakan :
والحاصل أنه لا بأس أن يصلي الجماعة بعض النوافل جماعة ولكن لا تكون هذه سنة راتبة كلما صلوا السنة صلوها جماعة؛ لأن هذا غير مشروع.
“Kesimpulannya bahwa tidak mengapa untuk sholat berjamaah pada sebagian sholat sunnah, namun tidak menjadikan hal ini sebagai kegiatan RUTIN, yakni tiap kali sholat sunnah ia kerjakan dengan berjamaah, karena hal ini tidak disyariatkan.” Wallahu Ta’âlâ A’lam.
Abu Sa’id Neno Triyono