Fatwapedia.com – Qurban adalah kepentingan orang yang berqurban. Karena itu, penyembelihan dan pendistribusiannya adalah tanggung jawab pengqurban. Pengqurban atau panitia tidak diperkenankan menjual bagian apapun dari hewan qurban untuk dijadikan biaya operasional. Imam Nawawi berkata
وَلَا يَجُوزُ بَيْعُ شَيْءٍ مِنْهُمَا، وَلَا أَنْ يُعْطِيَ الْجَزَّارَ شَيْئًا مِنْهُمَا أُجْرَةً لَهُ، بَلْ مُؤْنَةُ الذَّبْحِ عَلَى الْمُضَحِّي وَالْمَهْدِيِّ
[النووي ,روضة الطالبين وعمدة المفتين ,3/222]
“Tidak boleh menjual sedikitpun dari hewan qurban dan hadyu dan tidak boleh memberikan sedikitpun dari hewan qurban pada tukang jagal atas nama upah. Akan tetapi biaya penyembelihan adalah tanggung jawab orang yang berqurban atau yang melaksanakan hadyu”
Selain itu, pengqurban dan panitia juga tidak diperkenankan menggunakan fasilitas dan peralatan masjid untuk pelaksanaan qurban dari dana kemaslahatan masjid. Karena qurban adalah kepentingan pengqurban bukan masjid. Termasuk penggunaan air yang dibayar dari kas masjid. Ketika menggunakan fasilitas masjid, maka harus ada kas yang pantas yang masuk ke masjid.
* * *
Upah Untuk Penjagal (Penyembelih)
Tidak boleh memberikan upah dengan mengambil dari daging kurban, atau kepalanya, atau bagian tubuh mana pun, sebab Daging kurban adalah harta yang dipersembahkan dari dan untuk kaum muslimin, oleh karena itu dia tidak boleh dijadikan sebagai alat pembayaran/upah atau dijual belikan, termasuk kulitnya, demikian ijma’ (kesepakatan) para ulama. Namun, “penyembelih dibolehkan diberikan sedekah darinya”, dan tidak dinamakan upah. Sedangkan upahnya diambil dari sumber dana yang lain.
Dalilnya adalah, dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu:
أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan unta-untanya dan mensedekahkan daging, kulit, dan bagian punuknya, dan saya diamanahkan agar tidak memberikan si tukang potong dari hasil potongan itu (sebagai upah).” Ali berkata: “Kami memberikannya dari kantong kami sendiri.”[1]
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah tentang hadits tersebut:
وأنه لا يجوز أن يعطى الجزار منه شيئا، على معنى الاجرة، ولكن يعطى أجرة عمله، بدليل قوله: ” نعطيه من عندنا “. وروي عن الحسن أنه قال لا بأس أن يعطى الجازر الجلد.
“Bahwa tidak diperbolehkan memberikan tukang potong dari hasil potongannya sedikit pun, maksudnya adalah tidak boleh memberikan upah (dari daging potongan), tetapi dia boleh diberikan upah atas kerjanya itu, dalilnya adalah: “Kami memberikannya dari kantong kami sendiri.” Diriwayatkan oleh Al Hasan bahwa dia berkata: “Tidak mengapa memberikan kulit untuk tukang potongnya.” [2]
Jadi, ada beberapa pelajaran dari hadits tersebut. Pertama, tukang potong tidak diupah dengan daging hewan kurban, namun boleh diberikan daging tersebut untuknya asalkan atas nama sedekah, bukan upah, sebab daging kurban adalah hak seluruh kaum muslimin, termasuk si pemotong.
Kedua, tukang potong boleh diupah melalui sumber dana lain.
Ketiga, dibolehkannya pengurusan hewan kurban diamanahkan kepada orang lain. (istilah sekarang: Panitia Qurban).
Keempat, semua daging dan kulitnya adalah dibagi-bagikan (disedekahkan), bukan dijual.
Hukum Menjual Daging, Kulit, dan lainnya
Tertulis dalam Ta’sisul Ahkam:
التصدق بجميع الهدي وكل ما يتصل به
Bersedekah itu adalah dengan semua qurban dan semua hal yang terkait dengannya.[3]
Imam Al ‘Aini mengatakan:
وفيه من استدل به على منع بيع الجلد قال القرطبي وفيه دليل على أن جلود الهدي وجلالها لا تباع لعطفها على اللحم وإعطائها حكمه وقد اتفقوا على أن لحمها لا يباع فكذلك الجلود والجلال
Dalam hadits ini (hadits Ali Radhiallahu ‘Anhu di atas) terdapat dalil bagi pihak yang mengatakan terlarangnya menjual kulit. Berkata Al Qurthubi: “Pada hadits ini terdapat dalil bahwa kulit hewan qurban dan Jilal (daging punuk Unta) tidaklah dijual belikan, karena hukum menyedekahkannya itu satu kesatuan dengan daging. Mereka (para ulama) sepakat bahwa daging tidak boleh dijual, begitu juga kulitnya.” [4]
Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan:
فلا يجوز لكم إعطاء الجلد كأجرة للجزار، كما لا يجوز بيع شيء من الأضحية بما في ذلك الجلد له أو لغيره
Maka, tidak boleh bagimu memberikan kulit sebagai upah bagi penjagal, sebagaimana tidak boleh menjual bagian apa pun dari hewan qurban, seperti kulit atau lainnya. [5]
Ada pula yang membolehkan, yakni Al Auza’i, Ishaq, Ahmad, Abu Tsaur, dan segolongan Syafi’iyah. Abu Tsaur beralasan karena semua ulama sepakat bahwa kulit boleh dimanfaatkan, maka menjual kulit termasuk makna “memanfaatkan.” [6]
Menurut mayoritas ulama adalah tidak boleh. Berkata Imam Ash Shan’ani Rahimahullah:
واختلفوا في جلدها وشعرها مما ينتفع به فقال الجمهور لا يجوز وقال أبو حنيفة يجوز بيعه بغير الدنانير والدراهم يعني بالعروض
Para ulama berbeda pendapat tentang menjual kulit dan bulunya, yang termasuk bisa dimanfaatkan. Mayoritas ulama mengatakan tidak boleh, Abu Hanifah berpendapat boleh menjualnya dengan bukan dinar dan dirham, yakni dengan ’uruudh (barang berharga selain emas). [7]
Imam An Nawawi menjelaskan:
ومذهبنا أنه لا يجوز بيع جلد الهدى ولا الأضحية ولا شيء من أجزائهما
Pendapat madzhab kami adalah tidak boleh menjual kulit hewan qurban, tidak pula boleh dijual sedikit pun bagian-bagiannya. [8]
Beliau juga mengatakan:
وحكى بن المنذر عن بن عمر وأحمد واسحق أنه لا بأس ببيع جلد هديه ويتصدق بثمنه قال ورخص في بيعه أبو ثور
Ibnul Mundzir menceritakan bahwa Ibnu Umar, Ahmad, dan Ishaq menyatakan bahwa boleh menjual kulit hewan qurban, dan mensedekahkan uangnya. Katanya: Abu Tsaur memberikan keringanan dalam menjual kulit.[9]
Lalu, Imam An Nawawi juga menceritakan bahwa Al Auza’i dan An Nakha’i membolehkan menjual kulit dengan ayakan, timbangan, dan semisalnya. Al Hasan Al Bashri membolehkan kulit diberikan untuk penjagal. Lalu semua pendapat ini dikomentari Imam An Nawawi, katanya:
وهذا منابذ للسنة والله أعلم
Semua ini berlawanan dengan sunah. Wallahu A’lam.[10]
Demkianlah adanya perbedaan pendapat dalam hal menjual kulit. Namun, yang shahih –wallahu a’lam- adalah tidak boleh menjualnya sesuai zahir hadits tersebut, dan apa yang dikatakan oleh Imam An Nawawi, bahwa menjualnya adalah: “Berlawanan dengan sunah.” Wallahu A’lam.
Bersambung ..
Oleh: Farid Nu’man Hasan
Footnote
[1] HR. Muslim No. 1317
[2] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/742.
[3] Ta’sisul Ahkam, 3/313
[4] Imam Badruddin Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 15/254
[5] Fatawa Syabakah Al Islamiyah, No. 58258
[6] Ibid
[7] Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, 4/95
[8] Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,9/65
[9] Ibid
[10] Ibid