Fikroh.com – Kita semua mengakui bahwa wafatnya ulama adalah sebuah musibah bagi umat Islam. Karena ulama adalah pewaris Nabi. Wafatnya ulama berarti hilangnya pewaris Nabi.
Wafatnya ulama adalah musibah bahkan ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi sallam dalam sabdanya :
مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيبَةٌ لا تُجْبَرُ ، وَثُلْمَةٌ لا تُسَدُّ , وَنَجْمٌ طُمِسَ ، مَوْتُ قَبِيلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ
“Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada meninggalnya satu orang ulama” (HR al-Thabrani dalam Mujam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman dari Abu Darda’).
Sebagai musibah dalam agama yang diibaratkan oleh Nabi laksana bintang yang padam, wajar bila kita bersedih ditinggal wafat seorang ulama.
Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi sallam sendiri menyatakan bahwa tidak bersedih dengan wafatnya ulama pertanda kemunafikan. Imam Al-Hafizh Jalaluddin bin Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi dalam Kitab Tanqih Al-Qaul mengutip sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ لَمْ يَحْزَنْ لِمَوْتِ العَالِمِ، فَهُوَ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ
“Barangsiapa yang tidak sedih dengan kematian ulama maka dia adalah munafik, munafik, munafik”.
Musibah ini akan dirasakan terutama oleh para pecinta ilmu, orang-orang yang peduli dengan warisan kenabian.
Seorang Tabi’in, perawi yang haditsnya tersebar di Kutubus Sittah, Imam Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah pernah berkata, sebagaimana dikutip Imam Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Awliya,
إني أُخبر بموت الرجل من أهل السنة وكأني أفقد بعض أعضائي
“Sesungguhnya aku diberitakan mengenai wafatnya seorang ahlus sunnah, seakan-akan aku kehilangan sebagian anggota tubuhku”.
Wafatnya Ulama Bermakna Diangkatnya Ilmu.
Kesedihan yang benar sebab ditinggal wafat seorang ulama bukanlah kesedihan berdasar nafsu karena kehilangan fisiknya. Kesedihan ini sejatinya adalah karena kehilangan orang yang mentrasfer warisan kenabian kepada umat. Kehilangan orang yang membimbing di jalan kebenaran sesuai dengan cahaya ilmu pengetahuan. Kehilangan orang yang dalam dadanya tersimpan bermacam ilmu yang diperlukan dalam menjalani kehidupan. Sehingga wafatnya ulama bermakna kehilangan ilmu pengetahuan.
Mengenai hal ini, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi sallam bersabda, sebagaimana diriwayatkan al-Imam al-Bukhari dan Muslim :
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺍﻧْﺘِﺰَﺍﻋَﺎً ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋُﻪُ ﻣﻦ ﺍﻟﻌِﺒﺎﺩِ ﻭﻟَﻜِﻦْ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻘَﺒْﺾِ ﺍﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺣﺘَّﻰ ﺇﺫﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺒْﻖِ ﻋَﺎﻟِﻢٌ ﺍﺗَّﺨَﺬَ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺭﺅﺳَﺎً ﺟُﻬَّﺎﻻً ، ﻓَﺴُﺌِﻠﻮﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻓَﻀَﻠُّﻮﺍ ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menggangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah menanggkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. mereka sesat dan menyesatkan.“
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan makna hadits diatas sebagai berikut,
ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻳﺒﻴﻦ ﺃﻥ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﻘﺒﺾ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﻲ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﺴﺎﺑﻘﺔ ﺍﻟﻤﻄﻠﻘﺔ ﻟﻴﺲ ﻫﻮ ﻣﺤﻮﻩ ﻣﻦ ﺻﺪﻭﺭ ﺣﻔﺎﻇﻪ ، ﻭﻟﻜﻦ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺃﻧﻪ ﻳﻤﻮﺕ ﺣﻤﻠﺘﻪ ، ﻭﻳﺘﺨﺬ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺟﻬﺎﻻ ﻳﺤﻜﻤﻮﻥ ﺑﺠﻬﺎﻻﺗﻬﻢ ﻓﻴﻀﻠﻮﻥ ﻭﻳﻀﻠﻮﻥ .
“Hadits ini menjelaskan bahwa maksud diangkatnya ilmu yaitu sebagaimana pada hadits-hadits sebelumnya secara mutlak. Bukanlah menghapuskannya dari dada para penghapalnya, akan tetapi maknanya adalah wafatnya para pemilik ilmu tersebut. Manusia kemudian menjadikan orang-orang bodoh untuk memutuskan hukum sesuatu dengan kebodohan mereka. Akhirnya mereka pun sesat dan menyesatkan orang lain”.
Wafatnya Ulama Pertanda Kiamat Sudah Dekat.
Ketika ilmu pengetahuan tentang ajaran agama diangkat Allah dari muka bumi, maka ini pertanda usia bumi tidak lama lagi. Satu persatu ulama diwafatkan adalah pertanda keping-keping bumi mulai dirontokkan.
Beberapa penafsir al-Qur’an dari kalangan sahabat Nabi dan Tabi’in, mengatakan bahwa yang dimaksud dalam ayat berikut ini adalah kehancuran bumi dengan diwafatkan para ulama,
أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الأرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا
Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi bumi, lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? (Al-Ra’d: 41).
Tafsiran ini semakna dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi sallam yang diriwayatkan al-Imam al-Bukhari,
ﻣﻦ ﺃﺷﺮﺍﻁ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﺃﻥ ﻳُﺮْﻓَﻊَ ﺍﻟﻌﻠﻢ، ﻭﻳَﺜْﺒُﺖَ ﺍﻟﺠﻬﻞُ
“Termasuk tanda-tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu dan teguhnya kebodohan“.
Ketika ilmu diangkat, kebodohan merajalela, maka dari situlah kehancuran bermula. Karena manusia tidak lagi menjalani kehidupan berdasarkan ajaran agamanya. Diriwayatkan al-Imam Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi sallam bersabda,
ﻳَﺘَﻘَﺎﺭَﺏُ ﺍﻟﺰَّﻣَﺎﻥُ ﻭَﻳُﻘْﺒَﺾُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢُ ﻭَﺗَﻈْﻬَﺮُ ﺍﻟْﻔِﺘَﻦُ ﻭَﻳُﻠْﻘَﻰ ﺍﻟﺸُّﺢُّ ﻭَﻳَﻜْﺜُﺮُ ﺍﻟْﻬَﺮْﺝُ
“Zaman saling berdekatan, ilmu dihilangkan, berbagai fitnah bermunculan, kebakhilan dilemparkan (ke dalam hati), dan pembunuhan semakin banyak”.
Bagaimana Sikap Kita Seharusnya memaknai wafatnya ulama?
Apakah dengan bergaya lebay seperti orang-orang yang kehilangan artis idola?
Benar, bahwa wafatnya ulama adalah bermakna kebocoran dalam agama, sebagaimana dalam hadits yang disebutkan diatas. Bahkan kebocoran ini tidak bisa ditambal sepanjang masa, sebagaimana diungkapkan seorang sahabat Nabi bernama Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anh,
موت العالم ثُلْمَة في الإسلام لا يسدُّها شيء ما اختلف الليل والنهار
“Kematian seorang ulama adalah kebocoran di dalam Islam dan tidak bisa ditutup meskipun malam dan siang datang silih berganti”.
Namun, apakah dengan melampiaskan duka cita tanpa memikirkan solusinya adalah bukti kita bersedih atas wafatnya ulama dengan kesedihan yang sesuai dengan aturan agama?
Sayyidina Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anh memberikan solusinya,
ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺑﺎﻟﻌﻠﻢ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﺮﻓﻊ ﻭﺭﻓﻌﻪ ﻣﻮﺕ ﺭﻭﺍﺗﻪ، ﻓﻮﺍﻟﺬﻱ ﻧﻔﺴﻲ ﺑﻴﺪﻩ ﻟﻴﻮﺩّﻥّ ﺭﺟﺎﻝ ﻗﺘﻠﻮﺍ ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺷﻬﺪﺍﺀ ﺃﻥ ﻳﺒﻌﺜﻬﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﻟﻤﺎ ﻳﺮﻭﻥ ﻣﻦ ﻛﺮﺍﻣﺘﻬﻢ، ﻓﺈﻥ ﺃﺣﺪﺍ ﻟﻢ ﻳﻮﻟﺪ ﻋﺎﻟﻤﺎ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎﻟﺘﻌﻠﻢ
“Wajib atas kalian untuk menuntut ilmu, sebelum ilmu tersebut diangkat/dihilangkan. Hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya para periwayatnya/ulama. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh orang-orang yang terbunuh di jalan Allah sebagai syuhada, mereka sangat menginginkan agar Allah membangkitkan mereka dengan kedudukan seperti kedudukannya para ulama, karena mereka melihat begitu besarnya kemuliaan para ulama. Sungguh tidak ada seorang pun yang dilahirkan dalam keadaan sudah berilmu. Ilmu itu tidak lain didapat dengan cara belajar .”
Iya, kesedihan yang benar itu adalah dengan cara kita menyiapkan diri kita untuk juga menjadi pengemban warisan ulama, pelanjut estafet mempertahankan keberlangsungan transfer ilmu agama. Kita harus menyiapkan generasi selanjutnya agar jangan terjadi kekosongan ulama.
Hal inilah yang dimaksud Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, sebagaimana dikutip Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya,
إذا مات العالم ثلم في الإسلام ثلمة لا يسدها الا خلف منه
Jika satu ulama wafat, maka ada sebuah lubang dalam Islam yang tak dapat ditambal kecuali oleh generasi penerusnya.
Kita harus mengambil ilmu sebelum ia pergi seluruhnya. Selagi masih ada ulama-ulama lain yang tersisa, kita harus manfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk belajar kepada mereka. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi sallam,
خُذُوا الْعِلْمَ قَبْلَ أَنْ يَذْهَبَ، قَالُوا : وَكَيْفَ يَذْهَبُ الْعِلْمُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ، قَالَ:إِنَّ ذَهَابَ الْعِلْمِ أَنْ يَذْهَبَ حَمَلَتُهُ
“Ambillah (pelajarilah) ilmu sebelum ilmu pergi!”
Sahabat bertanya, “Wahai Nabiyullah, bagaimana mungkin ilmu bisa pergi (hilang)?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
إِنَّ ذَهَابَ الْعِلْمِ أَنْ يَذْهَبَ حَمَلَتُهُ
“Perginya ilmu adalah dengan perginya (wafatnya) orang-orang yang membawa ilmu (ulama)”
Inilah cara memaknai kesedihan ditinggal wafat ulama yang sesuai dengan ajaran agama kita. Bukan seperti orang-orang yang kehilangan artis idola. Seorang bijak pernah mengatakan, “It’s better to light a candle than curse the darkness”, menyalakan lilin lebih baik daripada mengutuk kegelapan.