Fikroh.com – Tahun 97 H, Khalifah Sulaiman Bin Abdul Malik berangkat haji bersama rombongannya. Sesampai di Madinah, ia bertanya;
“Masih adakah disini seseorang yang pernah bertemu dengan sahabat Rasulullah Saw?”
Kemudian diberitahukan kepadanya bahwa ada seseorang yang masih hidup dan pernah berjumpa dengan sahabat Rasulullah Saw, namanya Abu Hazim. Khalifahpun menyuruh utusannya agar meminta Abu Hazim menemuinya. Utusan itupun datang ketempat Abu Hazim dan memberitahukan kepadanya perintah Khalifah.
Abu Hazim menjawab: “Aku tidak punya kebutuhan apa-apa dari Khalifah, jika ia membutuhkanku hendaklah ia datang kesini”.
Khalifahpun terpaksa mendatangi Abu Hazim bersama rombongannya. Setelah mereka semua berada di majelis, Khalifah berkata pada Abu Hazim: “Kenapa kau bersikap ‘dingin’ kepadaku hai Abu Hazim”?
Abu Hazim menjawab: “wahai Amirul mukminin, sikap dingin seperti apa yang kau lihat dariku?”
Khalifah menjawab: “Semua tokoh-tokoh Madinah telah mendatangiku kecuali engkau.”
Abu Hazim menukas: “Wahai Amirul Mukminin, Kau sama sekali tidak mengenalku sebelum hari ini dan akaupun tidak pernah melihatmu”.
Khalifah kemudian meminta nasihat pada Abu Hazim: “wahai Abu Hazim, kenapa kami membenci kematian?”
Abu Hazim menjawab: “Karena kalian telah membangun dunia kalian dan menghancurkan akhirat kalian, pastilah kalian benci harus pindah pada kehancuran.”
Khalifahpun terus meminta nasihat hingga ia terisak dan menangis mendengarkan nasihat Abu Hazim.
Khalifah kemudian berkata: “Apa pendapatmu tentang kondisi kami wahai Abu Hazim?”
Abu Hazim menjawab: “Wahai Amirul mukminin, sesungguhnya nenek moyangmu (dari Bani Umayyah) telah memaksa umat ini dengan pedang terhunus agar tunduk pada mereka, mereka (nenek moyangmu) telah mengambil kekuasaan tanpa bermusyawarah dengan umat Islam dan tanpa meminta kerelaan mereka hingga sangat banyak umat Islam yang terbunuh. Mereka semua (nenek moyangmu) kini telah pergi. Andai kau mau mengambil pelajaran dari kata-kata mereka dan dari perkataan orang terhadap mereka.”
Salah seorang pengawal Khalifah yang marah kemudian menuju Abu Hazim dan berkata: “Perkataanmu sungguh keji Hai Abu Hazim…!”
Dengan lugas Abu Hazim menimpali: “Kau berdusta (apa yang aku katakan adalah benar adanya). Sesungguhnya Allah SWT telah mengambil perjanjian dengan para ulama untuk mengatakan kebenaran dan tidak menyembunyikannya.”
Khalifah melanjutkan: “Maukah kau ikut membersamai kami, agar kami mendapatkan manfaat darimu dan engkaupun mendapatkan manfaat dari kami wahai Abu Hazim?”
“A’udzubillah, Aku berlindung kepada Allah”!
Jawab Abu Hazim.
“Kenapa wahai Abu Hazim?”
Tanya Khalifah.
“Aku takut nantinya aku akan sedikit tunduk kepada kalian, lalu Allahpun menimpakanku kelemahan hidup dan mati”.
Abu Hazim terus menasehati Khalifah dengan kata-katanya yang tegas hingga kemudian khalifahpun pergi.
Setelah khalifah pergi, orang yang ada di majelis bertanya kepada Abu Hazim.
“Maukah engkau menafsirkan kepada kami firman Allah ﴾..Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik…﴿ wahai Abu Hazim?”
Abu Hazim menjawab: “Sepertinya kau mengira bahwa hikmah dalam berdakwah adalah bahwa agar seorang da’i berdakwah dengan cara yang tetap menjamin keselamatan hidup dan dunianya serta menjaga agar dirinya terhindar dari cobaan-cobaan duniawi dan musibahnya. Ketahuilah, makna seperti ini adalah bisikan syaitan terhadap teman-temannya sebagaimana dulu kaum munafik berlindung (dengan makna hikmah seperti ini) dari seruan Rasulullah Saw untuk keluar berjihad.
Hikmah bukanlah berarti agar kau berdakwah dengan cara yang bisa menjamin keselamatanmu dan duniamu, akan tetapi hikmah adalah engkau berdakwah dengan cara dan bahasa yang paling cepat sampai ke hati dan akal manusia.”
Orang di majelis kembali bertanya: “Tapi bukankah hikmah dalam ayat itu artinya adalah agar kita selali tidak bersikap keras dalam berdakwah? Bukankah Rasulullah Saw bersikap lunak terhadap kaum Quraisy ketika di Makkah dikarenakan ayat itu melarangnya bersikap keras?”
Abu Hazim menjawab: “Hikmah bukanlah bersikap lembut disetiap kondisi, bukan pula bersikap keras dalam setiap kondisi. Akan tetapi hikmah adalah agar engkau meletakkan sesuatu pada tempatnya serta menyampaikan kebenaran kepada seseorang dengan cara yang paling tepat masuk ke hati dan akalnya. Aku berlindung kepada Allah dari anggapan bahwa Rasulullah berdakwah dengan hikmah di Makkah lalu tidak hikmah saat berdakwah di Madinah. Sesungguhnya Rasulullah Saw bersikap hikmah ketika berdamai dengan kaum Quraisy di Mekkah, beliau bersikap hikmah saat hijrah secara sembunyi ke Madinah sebagaimana beliau bersikap hikmah saat bersabda ‘Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah’, sebagaimana beliau bersikap hikmah saat berkata kepada para sahabatnya bahwa sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar didepan penguasa zalim..”.