Fatwapedia.com – Pembahasan ‘Qunut Subuh’ selalu menjadi ramai karena ada saja yang pro dan kontra. Dan sebenarnya itu perkara yang biasa karena para Ulama sejak zaman dahulu sudah biasa berbeda pendapat dalam Qunut dan lainnya.
Yang tidak biasa adalah menjadikan masalah Qunut Subuh sebagai ajang perpecahan, sesat menyesatkan, pensifatan Ahlus Sunah dan Ahlul Bid’ah.
Kita tidak akan membicarakan mana pendapat yang Rojih (kuat) dan yang Marjuh (lemah), karena ini adalah perkara yang Nisbiy (relatif) dimana setiap ulama punya Dalil dan cara pandang yang berbeda-beda. Sehingga pendapat yang anda anggap kuat akan dilemahkan oleh yang lain. Atau Hadits yang dilemahkan oleh seorang ulama pakar Hadits, maka disisi lain Hadits tersebut akan dikuatkan sama pakar Hadits yang lain. Dan semuanya adalah ulama, semuanya adalah pakar Hadits, semuanya adalah ahli Fikih.
Syaikh Muhamad Bin Sholih al Utsaimin ketika ditanya tentang pendapat 4 Madzab dalam Masalah Qunut maka beliau mengatakan:
“Pendapat empat Madzab adalah:
- Madzab Malikiyah, tidak ada Qunut kecuali hanya di Sholat Subuh saja dan tidak ada Qunut di sholat Witir dan tidak di Sholat Fardhu yang lain.
- Madzab Syafi’iyah, tidak ada Qunut di sholat Witir kecuali pertengahan Romadhon ke atas dan tidak ada Qunut di sholat Fardhu kecuali pada Sholat Subuh secara terus menerus dan Sholat Fardhu yang lain ketika ada Nazilah menimpa kaum muslimin.
- Madzab Hanafiyah, Sunnah Qunut dalam Sholat Witir dan tidak ada Qunut dalam sholat Fardhu kecuali ketika ada Nazilah dan itupun hanya dikerjakan khusus di Sholat Subuh. Imam Qunut dan Makmun mengaminkan, sedangkan kalau Munfarid (sholat sendirian) maka tidak Qunut.
- Madzab Hanabilah, Sunnah Qunut pada Sholat Witir dan Sholat Fardhu ketika ada Nazilah (Kejadian besar menimpa kaum muslimin) namun tidak dikerjakan ketika ada Thoun (Wabah penyakit), Imam Qunut di Sholat lima waktu kecuali sholat Jum’at. (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 14/157 – 158)
Sekali lagi kami tegaskan, kita tidak akan membicarakan mana pendapat yang Rojih (kuat) dan yang Marjuh (lemah), karena ini adalah perkara yang Nisbiy (relatif) dimana setiap ulama punya Dalil dan cara pandang yang berbeda-beda. Sehingga pendapat yang anda anggap kuat akan dilemahkan oleh yang lain. Atau Hadits yang dilemahkan oleh seorang ulama pakar Hadits, maka disisi lain Hadits tersebut akan dikuatkan sama pakar Hadits yang lain. Dan semuanya adalah ulama, semuanya adalah pakar Hadits, semuanya adalah ahli Fikih.
Namun yang akan kita bicarakan disini adalah cara bijak menyikapi perbedaan dalam masalah Qunut ini. Ada 5 poin penting yang akan kita sebutkan:
1. Setiap ulama pasti punya dalil
Setiap ulama pasti memiliki Hujah (Dalil) dalam pendapat mereka, maka jangan sembarangan dan gegabah menjuluki ulama yang berbeda dengan kita atau Madzab kita kita rasa lemah lantas kita juluki “Madzab ini ngak punya Dalil”.
Anggapan ini telah menuduh ulama berbicara dalam agama Allah tanpa ilmu, karena dalil adalah ilmu.
Ulama yang sudah diakui akan amanah mereka tidak mungkin dengan sengaja menyelisihi dalil yang Shohih, karena mereka sepakat wajibnya mengikuti Rosulullah.
Maka kita harus menghormati para ulama dan tahan lesan kita untuk merobohkan harga diri mereka walaupun kita tidak mengikuti Madzab mereka.
Syaikhul Islam berkata di Muqodimah kitab Rof’ul Malam an Aimatil A’lam (8-9) :
“Hendaknya diketahui bahwa tidak ada seorang ulama yang telah diakui keilmuanya di kalangan seluruh umat islam, ia dengan sengaja menyelisihi Sunah Rosulullah baik kecil maupun besar. Karena mereka telah sepakat secara pasti atas wajibnya mengikuti Rosulullah, dan sepakat bahwa semua orang selain Beliau ucapannya bisa diterima atau ditolak.
Akan tetapi jika ada seorang ulama yang berpendapat, dan kita mendapatkan sebuah Hadits Shohih yang berbeda dengan pendapat tersebut, maka pasti ulama tersebut memiliki Udzur (alasan) dalam pendapatnya”.
2. Tidak boleh memaksa orang lain untuk mengikuti sebuah pendapat
Imam Malik ketika kitab Muwatho’ beliau ingin dijadikan undang-undang negara oleh raja Abi Ja’far al Manshur maka beliau mengatakan: “Jangan anda kerjakan wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya para Sahabat telah tersebar dan tinggal di berbagai negeri, dan setiap mereka berfatwa kepada masyarakat negerinya sesuai dengan apa yang ia ketahui, dan menghalangi mereka dari apa yang selama ini mereka yakini sangat berat. Maka biarkan mereka dengan apa yang selama ini mereka yakini, dan biarkan setiap negeri memilih pendapat untuk mereka masing-masing” (Siyar A’lamun Nubala : 8/78, dan Tarikh Abi Zur’ah: 204)
Setingkat imam Malik saja tidak berani memaksa manusia untuk mengikuti pendapat pribadi, maka sangat aneh jika seorang yang digelari ustadz, Doktor, kiai, bahkan penuntut ilmu pemula berani memaksa manusia untuk Qunut atau tidak Qunut dan siapa yang tidak mau ikut maka langsung dijuluki sesat, Ahli Bid’ah, orang yang Ta’ashub (Fanatik Madzab) atau sholatnya tidak sah.
Maka hendaknya kita saling menghormati pendapat yang berbeda dengan kita karena semua yang bicara dalam masalah ini adalah para ulama panutan kita. Coba perhatikan ucapan yang indah dari Imam Ibnul Qoyyim, beliau berkata :
“Dan Ahlul Hadits bersikap pertengahan antara mereka (orang-orang yang melarang secara Mutlaq) dan diantara orang yang menyunahkan ketika Nawazil dan lainnya. Dan Ahlul Hadits adalah orang yang paling bahagia dengan hadits dibandingkan dengan dua kelompok ini, karena mereka berQunut ketika Rosulullah Qunut, dan meninggalkannya ketika beliau meninggalkannya, dan senantiasa mengikuti beliau dalam perbuatan dan peninggalan, dan mereka mengatakan: mengamalkan karena Sunnah dan meninggalkan pun karena Sunnah.
Namun mereka tidak mengingkari orang yang selalu melaksanakannya dan tidak membenci perbuatannya serta tidak menganggap perbuatanya sebagai Bid’ah, dan tidak mensifati pelakunya sebagai orang yang telah menyelisihi Sunnah.
Sebagaimana juga mereka tidak mengingkari atas orang yang mengingkarinya ketika Nawazil, tidak juga berpendapat bahwa meninggalkannya Bid’ah atau yang meninggalkannya adalah orang yang menyelisihi Sunah. Tetapi orang yang Qunut adalah baik, begitu juga yang meninggalkan Qunut adalah baik” (Zadul Ma’ad : 1/273)
3. Terkadang dalam praktek di lapangan kita harus membuang pendapat dan Madzab kita demi menyatukan barisan kaum muslimin dan supaya tidak terjadi perpecahan dan fitnah
Syaikhul Islam berkata:
“Jika imam berpendapat Sunnahnya sebuah amalan akan tetapi Makmun tidak mensunnahkanya, maka ketika imam meninggalkan Sunnah (sesuai versinya) tersebut dengan tujuan untuk menjaga persatuan dan persaudaraan, ini adalah sikap yang bagus.
Misalnya dalam tata cara Sholat Witir, imam berpendapat Fashl (dipisah 2 + 1 rekaat) sedangkan para Makmum lebih memilih Washl (disambung 3 rekaat langsung) lalu imam mengamalkan Fashl karena dengan tujuan untuk menyatukan hati manusia maka ini sikap yang baik.
Contohnya juga imam berpendapat Basmalah dikeraskan, tapi makmun tidak mensunahkannya, atau kejadianya sebalikanya, ketika praktek imam menyamai pendapat para makmun maka itu lebih baik” (Majmu’ Fatawa : 22/268)
Demikian halnya dalam masalah Qunut, Walaupun anda berpendapat Sunnahnya Qunut atau Bid’ahnya karena anda mengikuti pendapat yang kuat versi anda, namun ketika pendapat anda dipaksakan untuk anda amalkan di tengah masyarakat yang berbeda dengan anda, maka ini bukan perkara yang bijak.
Terkadang meninggalkan pendapat sendiri dan mengikuti pendapat mayoritas masyarakat dengan tujuan untuk menyatukan hati, menjaga persatuan, dan agar tidak terjadi perpecahan dan permusuhan, itu adalah sikap bijak yang bagus selama memang masalahnya adalah Khilafiyah dimana para ulama yang menjadi rujukan kita semua saling berbeda pendapat dalam masalah tersebut.
Coba perhatikan ucapan ulama-ulama rujukan Madzab Hambali bagaimana mereka menyikapi masalah Qunut ini padahal mereka berpendapat Qunut tidak ada dalam sholat subuh.
Imam Ahmad pernah ditanya tentang suatu kaum yang melakukan Qunut (subuh) di Bashroh, bagaimana menurut anda tentang sholat dibelakang orang yang qunut? Maka Imam Ahmad berkata: “Sesungguhnya kaum muslimin dari sejak dahulu senantiasa sholat dibelakang orang yang Qunut dan dibelakang orang yang tidak Qunut”. (dinukil oleh Imam Ibnul Qoyim dalam kitab As Sholah wa Hukmu Tarikiha : 20)
Syaikhul Islam berkata : “Jika Makmum sholat dibelakang Imam yang Qunut baik di sholat subuh atau sholat Witir, maka hendaknya makmum Qunut bersamanya sama saja Qunutnya sebelum ruku’ atau setelahnya. Namun jika Imam tidak Qunut maka makmum juga tidak Qunut.
Jika imam berpendapat sunnahnya sebuah amal tetapi para makmum tidak mensunnahkannya, lalu imam meninggalkan pendapatnya demi menjaga persatuan dan persaudaraan maka ini adalah perbuatan yang baik” (Majmu’ Fatawa : 22/286)
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata : “Membiasakan Qunut Subuh terus menerus adalah menyelisihi Sunnah, yang benar adalah meninggalkannya. Namun jika engkau Sholat di belakang imam yang Qunut maka tidak ada masalah engkau ikut Qunut bersamanya, engkau aminkan do’anya dan angkat kedua tanganmu” (Fatawa Nur Alad Darbi : 10 / 264)
Syaikh Utsaimin berkata: “Wajib bagi penuntut ilmu secara khusus dan manusia secara umum untuk menjalin kesepakatan dan persatuan sesuai dengan kemampuan, karena harapan orang ahli maksiat dan orang sesat adalah melihat orang-orang baik berselisih.
Dan kita sering kali mendapatkan perselisihan yang terjadi dari sebagian saudara-saudara kita dari orang-orang yang sangat semangat menjalankan Sunnah disebabkan karena masalah ini dan yang lainnya.
Maka perbuatan ini (menjadikan masalah ini sebagai ajang untuk berpecah belah) adalah perbuatan yang menyelisihi Sunnah dan menyelisihi apa yang dikandung oleh syariat dari persatuan umat dan kesepakatan pendapat. Karena perkara-perkara yang diperselisihkan ini bukan termasuk perkara yang diharamkan atau mungkar, bahkan ini perkara yang dibolehkan untuk berijtihad.
Kondisi kita yang jelek adalah kita selalu memunculkan Khilaf di tengah masyarakat dan membuka hati untuk saling benci, bermusuhan dan saling menghina terhadap orang yang menyelisihi kita dalam sebagian pendapat, padahal ini masalah yang dibolehkan untuk berijtihad dan tidak menyelisihi syariat.
Maka wajib bagi setiap manusia untuk berusaha dalam menyatukan umat sesuai dengan kemampuan.
Demikain juga seperti kegiatan mengikuti do’a khataman (selesai) dari Al Qur’an ini adalah kegiatan yang tidak apa-apa. Karena mengkhatamkan Qur’an telah dinyatakan oleh Imam Ahmad dan lainnya akan sunnahnya. Yaitu membaca doa khotaman Al Qur’an setelah menyelesaikan Al Qur’an sebelum Ruku’.
Perbuatan ini walaupun dari segi Sunnah tidak ada dalil secara khusus tetapi selama sebagian para imam berpendapat demikian, dan masalah ini boleh untuk berijtihad, walaupun kita anggap salah tetapi ini bukan perbuatan yang diharamkan.
Maka kenapa kita harus usir, kita bodoh-bodohkan, kita salahkan atau kita anggap sebagai ahli Bid’ah orang-orang yang melakukan suatu amalan yang kita tidak berpendapat demikian.
Selama amalan ini tidak diserahkan kepadamu (dalam sholat berjama’ah), tetapi diserahkan kepada imammu kemudian imam tersebut melaksanakannya, maka tidak masalah untuk melakukannya. Oleh karenanya lihatlah bagaimana sikap para ulama yang sangat mengetahui akan agung dan pentingnya sebuah persatuan dan kebersamaan.
Sungguh Imam Ahmad berpendapat bahwa Qunut waktu sholat shubuh adalah amalan Bid’ah, tetapi beliau berkata: ”Jika engkau dibelakang imam yang qunut, maka ikutilah dia dalam qunutnya, dan aminilah do’anya”.
Ini semua dilakukan dengan tujuan untuk mempersatukan umat, kesepakatan hati dan menjauhkan dari sifat benci sebagian kita kepada sebagian yang lain”. (Syarhul Mumti’ : 4/64, cet. Dar Ibnul Jauzi)
Inilah sikap ulama rujukan kita, maka hendaknya kita mengikuti ulama dalam teori dan prakteknya, jangan sampai dalam teori ilmu kita merujuk ke ulama akan tetapi dalam praktik di lapangan kita otodidak sehingga belum tentu ulama yang keras dalam berpendapat akan keras juga dalam bersikap.
4. Terkadang seorang ulama menganggap sebuah amalan yang diamalkan oleh ulama lain dengan julukan Bid’ah akan tetapi tetap sholat dibelakangnya.
Jika ada yang mengatakan: ‘Kan pendapat ane bahwa Qunut itu Bid’ah sebagaimana ucapan Abu Malik al Asyja’i : “Wahai puteraku Qunut itu perkara yang baru”, maka ane ngak akan Qunut selama-selamanya ngak peduli mau ribut ya ribut perang ya perang sekalian..!’
Ma sya Allah apakah memang seperti ini praktek di lapangan yang dijalankan oleh ulama rujakan anda..?
Coba perhatikan kisah Abdullah bin Mas’ud.
Dari Abdurahman bin Yazid Rodhiyallah Anhu berkata : “Utsman bin Affan pernah sholat menjadi imam bagi kami di Mina 4 rekaat, lalu permasalahan ini ditanyakan kepada Abdullah bin Mas’ud maka beliau mengingatkan masa lalu. Ibnu Mas’ud berkata : “Saya pernah sholat bersama Rosulullah di Mina dua rekaat, Saya sholat bersama Abu Bakr di Mina dua rekaat, Saya sholat bersama Umar bin Khottob di Mina dua rekaat. Kemudian jalan-jalan bagi kalian bermacam-macam (perbedaan pendapat).
Maka aku berharap empat rekaat yang aku kerjakan (bersama Utsman) bagaikan dua rekaat yang diterima oleh Allah” (H.R Bukhori dan Muslim)
Dalam Riwayat Abu Dawud dishohihkan oleh Syaikh Albani ada tambahan: “Lalu ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud : Anda mengkritik Utsman akan tetapi kenapa masih sholat di belakangnya?
Maka beliau berkata: “Sesungguhnya khilaf adalah jelek”.
Dan ini adalah Bid’ah di dalam Masa’il Khilafiyah Ijtihafiyah, yaitu masalah dimana para berbeda pendapat dan ada yang mengatakan Bid’ah dan ada yang mengatakan Sunnah.
Bahkan ulama Salaf terbiasa Sholat dibelakang Ahlu Bid’ah yang keBid’ahanya jelas tanpa khilaf dikalangan ulama Ahlus Sunnah.
Imam Bukhori membuat Bab : (باب إمامة المفتون والمبتدع) “Bab keimaman Ahli Fitnah dan Ahli Bid’ah”.
Kemudian beliau menyebutkan Riwayat dari Ubaidillah bin Adi bahwa beliau pernah masuk ke rumah Utsman bin Afwan ketika beliau dikepung sama para pendemo, lalu Ubaidillah bertanya kepada Utsman : “Wahai Utsman sesungguhnya anda adalah Imam kaum muslimin namun kita melihat apa yang telah menimpamu. Sekarang yang jadi Imam Sholat kita adalah imam ahli Fitnah, maka kita enggan.
Maka Utsman berkata : “Sholat adalah amalan terbaik yang dikerjakan manusia, maka jika mereka sempurna dalam mengerjakan sholat maka sempurnakan sholatmu bersama mereka, kalau mereka rusak maka jauhilah kerusakan mereka”.
Imam Ibnu Hajar menyebutkan bahwa yang menjadi imam adalah Kinanah Bin Bisyr salah satu tokoh Khowarij yang mengepung Utsman dan membunuh beliau.
5. Jangan Ghuluw (berlebihan) dalam bersikap sampai memunculkan problem baru
Terkadang karena Ghuluw (berlebihan) dalam menyikapi masalah Qunut, malah menjerumuskan kepada masalah yang baru. Diantara masalah baru yang terjadi di tengah masyarakat adalah :
– Anggapan bahwa sholat tidak sah kalau tidak Qunut..!
Ini Madzab siapa..? Dalam Madzab Syafi’i Qunut Subuh hanya Ab’adh Sholat yaitu perbuatan yang hukumnya Sunnah dan siapa yang tidak mengerjakan maka Sujud Sahwi. Dan tidak ada madzab yang menjadikan Qunut sebagai Rukun sholat dan siapa yang tidak mengerjakannya maka sholatnya batal.
– Tidak mau sholat Jama’ah karena berbeda Madzab dengan imam.
Syaikhul Islam berfatwa ketika ditanya tentang hukum sholat dibelakang imam yang berbada Madzab : “Sholatnya seseorang dibelakang imam yang menyelisihi Madzab adalah sholat yang sah dengan kesepakatan para Sahabat, Tabi’in, dan Imam yang empat” (Majmu’ Fatawa : 23/378 )
– Imam tidak Qunut akan tetapi berhenti dalam waktu yang lama untuk memberikan waktu bagi makmum untuk Qunut.
– Menjadi Qunut dan tidak Qunut sebagai tanda sebagai Ahlus Sunnah atau Salafi.
Semoga pembahasan ini bermanfaat. Dan semoga Allah Ta’ala mengampuni kesalahan penulis.
Barokallah Fikum…
Oleh : Ustadz Abul Abbas Thobroni
(Mudir Ma’had Nida’us Salam Pekalongan)