Fatwapedia.com – Bila pakaian, badan, tempat dan benda kena najis, hendaklah dicuci dengan air hingga hilang bentuknya bila asalnya ia dapat dilihat, seperti darah. Bila setelah dicuci itu masih ada bekas yang sukar menghilangkannya, maka hal itu dimaafkan.
Dan jika najis itu tidak kelihatan seperti kencing, cukuplah mencucinya walau agak sekali. Dari Asma binti Abu Bakar r.a. katanya, Artinya: Salah seorang di antara kami, kainnya kena darah haid, apa yang seharusnya diperbuatnya? demikian tanya salah seorang wanita yang datang menanyakannya kepada Nabi. Ujar Nabi: Hendaklah dikoreknya kemudian digosok-gosoknya dengan air, lalu dicuci, dan setelah itu dapatlah dipakainya buat sembahyang! (Disepakati oleh Ahli-ahli hadits).
Dan bila najis itu mengenai ujung bawah kain wanita, ia akan disucikan oleh tanah, berdasar apa yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud, bahwa seorang wanita menanyakan kepada Ummu Salamah r.a.: Saya melepas ujung kainku terjela ke bawah, padahal saya berjalan di tempat yang kotor. Ummu Salamah-pun berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: Ujung kain itu akan disucikan oleh barang yang mengenainya setelah itu. (H.R. Ahmad dan Abu Daud).
1. Mensucikan Tanah
Bila tanah ditimpa najis, maka disucikan dengan menumpahkan air padanya, berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a. katanya:
Artinya: Seorang badui berdiri lalu kencing di dalam mesjid. Maka orang-orang pun sama berdiri untuk menangkapnya. Nabi saw. bensabda: Biarkan dia dan siramlah kencingnya itu dengan seember atau setimba air, karena tuan-tuan dibangkitkan untuk memberi keringanan dan bukan untuk menyebabkan kesukaran. (H.R. Jamaah kecuali Muslim).
Juga dibersihkan dengan jalan mengeringkannya, baik tanah itu sendiri, maupun apa yang berhubungan erat dengannya seperti pohon dan bangunan. Berkata Abu Qalabah: Tanah kering adalah tanah yang suci,“ dan berkata Aisyah r.a.: Mensucikan tanah ialah dengan mengeringkannya. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaiban). ini berlaku jika najis itu cair. Adapun bila beku, maka tanah tidak menjadi suci kecuali dengan melenyapkan benda najis tersebut atau membuangnya.
Membersihkan Mentega Dan Lain-lain
Diterima dan Ibnu Abbas r.a. dan Maimunah r.a. Artinya: Bahwa Nabi saw. ditanya tentang tikus yang jatuh ke dalam minyak samin, maka sabdanya: Buanglah tikus itu begitupun samun yang terletak sekelilingnya, dan makanlah minyak samin yang tinggal. (H.R. Bukhani).
Berkata Hafidh: Menurut Ibnu Abdil Birr telah tercapai kesepakatan bahwa benda beku bila ditimpa bangkai, dibuangkan bangkai itu dengan yang terletak sekelilingnya, yakni bila ternyata bahwa bagian-bagian bangkai itu tidak mengenai yang lain. (Mengenai benda cair, maka terdapat pertikaian. Jumhur ulama berpendapat bahwa semua menjadi najis disebabkan kena najis itu, dan sebagian kecil di antara mereka di antaranya Zuhri dan Auzai berpendapat lain. 2)
Mensucikan Kulit Binatang
Kulit binatang mati itu, baik bagian luar maupun dalamnya disucikan dengan jalan menyamaknya, berdasarkan hadits Ibnu Abbas r.a.
Artinya : Bahwa Nabi saw. bersabda: Bila kulit disamak, maka ia menjadi suci. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Mensucikan Cermin Dan Lain-lain
Mensucikan cermin, pisau, pedang, kuku, tulang, kaca, bejana berkilat, dan setiap kepingan yang tidak ada lobang-lobangnya, ialah dengan jalan menggosok hingga dapat menghilangkan bekas najis. Para sahabat r.a. melakukan shalat, sedang mereka membawa pedang yang pernah kena darah.
Mata-mata pedang itu mereka hapus, dan cara itu mereka pandang cukup.
Mensucikan Terompah
Terompah yang bernajis dan begitu juga sepatu, menjadi suci dengan menggosokkannya ke tanah, jika hilang bekas najis tersebut, berdasarkan hadits Abu Hurairah r. a.: Artinya: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Jika salah seorang di antaramu menginjak kotoran dengan terompahnya, maka tanah dapat mensucikannya. (H.R. Abu Daud).
Dan dalam sebuah riwayat: Jika ia menginjak kotoran dengan kedua sepatunya maka mensucikannya ialah dengan tanah.
Dan dari Abu Said: Artinya: Bahwa Nabi saw. bersabda: Jika salah seorang di antaramu datang ke mesjid, hendaklah dibalikkannya kedua terompahnya lalu dilihatnya. Bila terdapat kotoran, hendaklah digosokkannya ke tanah. kemudian ia boleh memakainya dalam sembahyang. (H.R. Ahmad dan Abu Daud).
Sebagai alasannya pula ialah bahwa sepatu dan terompah itu merupakan tempat yang biasanya sering kena najis, maka cukuplah disapu dengan benda keras sebagai halnya tempat istinja, bahkan ini lebih pantas, karena tempat istinja itu dikenai najis hanya dua atau tiga kali saja sehari.
Beberapa Keterangan Yang Sering Diperlukan
- Tali cucian yang telah dipakai untuk menjemur pakaian-pakaian bernajis kamudian telah jadi kering disebabkan sinar matahari atau angin, tidak papa digunakan lagi setelah itu untuk menjemur kain bersih.
- Jika seseorang ditimpa sesuatu yang jatuh, dan ia tidak tahu apakah itu air ataukah kencing, tidaklah perlu ia bertanya, dan umpama ia menanyakan juga, maka yang ditanya tidak wajib menjawab, walau ia tahu bahwa itu sebetulnya najis: juga tidak wajib baginya mencuci itu.
- Bila kaki atau pinggir kain bagian bawah kena sesuatu yang basah yang tidak dikenalnya apa wujudnya, tidaklah wajib ia membaui atau berusaha untuk mengenalnya, berdasarkan sebuah riwayat bahwa ”Umar r.a. pada suatu hari lewat di sebuah tempat, kebetulan ia ditimpa sesuatu yang jatuh dari sebuah bumbung. Seorang teman yang ikut bersama Umar menanyakan: Hai empunya bumbung, apakah airmu suci atau najis? Umar pun berkata: Hai empunya bumbung, tak usah dijawab pertanyaan itu, dan ia pun berlalu.
- Tidaklah wajib mencuci apa yang kena tanah jalanan. Berkata Kumail bin Ziyad: Saya lihat Ali r.a. memasuki lumpur bekas hujan. Kemudian ia masuk mesjid, lalu sembahyang tanpa membasuh kedua kakinya.
- Bila seseorang berpaling setelah shalat, lalu terlihat olehnya di kain atau di badannya najis yang tak diketahui, atau ada diketahuinya tapi ia lupa, atau tidak lupa hanya tak sanggup menghilangkannya, maka shalatnya sah dan tiada perlu mengulanginya, berdasarkan firman. Allah Taa!a:
- Artinya: Dan tidaklah kamu berdosa mengenai hal-hal yang tak disengaja. (Al-Ahzab: 5). Inilah yang difatwakan oleh sebagian besar dan sahabat dan tabiin. Orang yang tidak mengetahui tempat najis sebenarnya pada kain, wajib mencuc keseluruhannya, karena tak ada jalan untuk mengetahui hilangnya najis secara meyakinkan kecuali mencuci dengan keseluruhannya itu. Ini termasuk dalam masalah sesuatu yang mutlak diperlukan untuk menyempurnakan yang wajib, maka hukumnya menjadi wajib pula.
- Bila seseorang menaruh keraguan terhadap pakaiannya, mana di antaranya yang bersih dan mana yang kotor, hendaklah ia mengambil saja salah satu di antaranya lalu memakainya untuk sekali sembahyang, sebagai halnya dalam masalah kiblat, biar jumlah pakaian yang suci itu banyak atau sedikit.