Fatwapedia.com – Sebelum kita membahas hukum qadha dan fidyah bagi wanita hamil atau menyusui yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan, kita mesti memahami terlebih dahulu bahwa wanita hamil atau menyusui termasuk ke dalam golongan yang diwajibkan untuk tetap berpuasa apabila mereka mampu melakukannya. Namun, mereka boleh berbuka apabila terdapat kesulitan atau bahaya, baik bahaya yang dikhawatirkan menimpa diri sendiri, ataupun bahaya yang dikhawatirkan menimpa janin atau bayi.
Bagaimana seseorang menilai bahwa ia sedang mengalami bahaya?
Maka, para ulama menyebutkan setidaknya melalui salah satu dari dua cara:
- Ia pernah berpuasa dan mengakibatkan terganggunya kesehatan, seperti lemas, pusing, dll.
- Melalui nasihat dari dokter atau ahli.
Apabila terbukti bahwa dengan berpuasa akan membahayakan dirinya, maka ia boleh bahkan wajib berbuka sebagaimana hukum yang berlaku bagi orang-orang yang sakit. Haram baginya untuk memaksakan diri karena dapat mengancam jiwanya atau jiwa janin dan bayinya.
Lalu, apabila seorang wanita yang hamil atau menyusui tidak berpuasa, apa yang mesti ia lakukan untuk mengganti puasa tersebut?
Dalam hal ini para ulama merinci masalah ini:
Pertama: Apabila ia tidak berpuasa disebabkan bahaya yang dikhawatirkan menimpa dirinya sendiri, atau menimpa dirinya sekaligus janin/ bayinya, maka statusnya sama seperti status orang yang sakit, ia cukup mengqadha sejumlah hari puasa yang ditinggalkannya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama dari kalangan ulama empat madzhab dan juga selainnya.
Kedua: Apabila bahaya tersebut dikhawatirkan menimpa janin atau bayinya, padahal dirinya sendiri tidak terancam oleh bahaya tersebut, maka para ulama berbeda pendapat kepada beberapa pendapat :
Pendapat pertama menyatakan: cukup bagi mereka untuk mengqadha saja tanpa fidyah, sama seperti keadaan pada poin pertama. Ini merupakan pendapat madzhab Hanafiyah dan kebanyakan Ahlur Ra’y. Juga yang tercatat secara tekstual dari Al-Imâm Al-Awzâ’iy, dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Al-Imâm Al-Muzaniy dari kalangan madzhab Asy-Syâfi’iy. Di antara ulama kontemporer yang memilih pendapat ini adalah Asy-Syaikh Muhammad ibn Shâlih Al-‘Utsaymîn dan Asy-Syaikh ‘Abdullâh ibn ‘Abdil Azîz ibn Bazz. Mereka menganalogikan hukumnya dengan hukum orang-orang yang sakit.
Asy-Syaikh Ibnul Utsaymîn dalam Asy-Syarhul Mumthi’ setelah menjelaskan perbedaan pendapat para Ulama dalam masalah, maka beliau mengatakan:
وهذا القول أرجح الأقوال عندي ، لأن غاية ما يكون أنهما كالمريض والمسافر فيلزمهما القضاء فقط
“Maka pendapat yang menyatakan hanya qadha ini merupakan pendapat yang paling unggul menurutku, disebabkan pada akhirnya keadaan wanita hamil dan menyusui sama dengan keadaan orang saki atau musafir, maka wajib bagi mereka untuk mengqadha saja.”
Pendapat kedua menyatakan cukup fidyah saja tanpa qadha, ini merupakan pendapat Asy-Syaikh Nâshîruddîn Al-Albaniy dan Asy-Syaikh Yûsuf Al-Qaradhâwiy. Hanya saja Asy-Syaikh Al-Qaradhâwiy membedakan wanita yang kehamilannya berjarak dan memiliki waktu jeda, maka ia hanya mengqadha tanpa fidyah.
Mereka menyandarkan pendapat ini kepada riwâyah dari Ibn Abbâs dan Ibn ‘Umar. Diriwayatkan dalam Mushannaf ‘Abdurrazzâq:
أن ابن عمر سئل عن امرأة أتي عليها رمضان وهي حامل؟ قال: تفطر وتطعم كل يوم مسكينًا.
“Bahwasanya Ibn ‘Umar ditanya mengenai seorang wanita yang hamil pada saat bulan Ramadhan. Maka beliau menjawab: “Berbukalah dan berilah makanan pada orang miskin sejumlah hari yang ditinggalkannya”.”
وروي عن ابن عباس: أنه كان يأمر وليدة له حبلى، أن تفطر في شهر رمضان، وقال: أنت بمنزلة الكبير لا يطيق الصيام، فأفطري، وأطعمي عن كل يوم نصف صاع من حنطة.
“Juga diriwayatkan dari Ibn ‘Abbâs bahwasanya beliau menyuruh seorang wanita yang menyusui untuk berbuka pada bulan Ramadhan, karena kedudukannya sama dengan orang tua yang tidak sanggup lagi berpuasa. Maka berbukalah, dan berikanlah makanan pada orang miskin setengah Sha’ makanan pokok setiap hari.”
Namun demikian, para ulama Syâfi’iyyah dan Hanabilah, juga sebagaimana diriwayatkan dari Al-Imâm Malik, menyatakan bahwa apa yang diriwayatkan dari Ibn ‘Abbâs dan Ibn ‘Umar tersebut bukanlah ashl (pokok), melainkan ziyâdah (tambahan). Karena asal hukum orang yang meninggalkan puasa adalah qadha, sebagaimana ayat yang berbunyi:
{وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ} [البقرة: 185].
“Dan siapa saja yang sakit atau dalam perjalanan, maka boleh baginya mengganti pada hari yang lain.”
Bahkan, pendapat ini dinilai oleh para ulama sebagai pendapat yang lemah. Asy-Syaikh Ibn Bazz mengatakan:
وذهب بعض أهل العلم إلى أنه يكفيهما الإطعام عن كل يوم : إطعام مسكين ، وهو قول ضعيف مرجوح
“Dan sebagian ulama berpendapat bahwa cukup bagi wanita hamil dan menyusui untuk memberikan fidyah kepada orang miskin. Namun, pendapat ini merupakan pendapat yang lemah dan tidak unggul.”
Oleh karena itu, pendapat ketiga yaitu pendapat madzhab Asy-Syâfi’iy, Ahmad, dan sebagian Mâlikiyyah menyatakan: wanita hamil atau menyusui yang khawatir terhadap keselamatan janin atau bayi, mendapatkan udzur tidak berpuasa di bulan Ramadhan dengan konsekwensi menqadha sekaligus membayar fidyah. Ini merupakan pendapat ketiga dan merupakan pendapat yang paling selamat, dari sisi keluar dari ikhtilâf.
Kemudian pendapat keempat, yaitu pendapat Al-Imâm Al-Layts dan Al-Imâm Mâlik, bahwa wanita hamil hanya menqadha tanpa fidyah, sedangkan wanita menyusui mengqadha sekaligus fidyah.
Demikian pendapat para ulama mengenai hukum wanita yang hamil atau menyusui apabila mereka tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Semoga bermanfaat. Wallâhu a’lam.
Penulis: Muhammad Laili Al-Fadhli