Fatwapedia.com – Shalat merupakan tiang agama yang kaifiyatnya ditentukan berdasarkan nash yang sahih di mulai dari takbir sampai salam dengan gerakan dan bacaan yang khusus dan ma’tsur. Salah satu kaifiyat salat adalah membaca al-fatihah yang hukumnya wajib karena termasuk rukun rakaat, Adapun membaca ayat atau surat setelah membaca al-fatihah hukumnya sunat. Persoalannya bagaimana hukum membaca mushaf al-Quran ketika salat ? ada beberapa dalil yang perlu difahami.
Pertama, al-Quran memberi petunjuk untuk membaca al-Quran yang mudah, tentu makasudnya sesuai dengan hafalan masing-masing, sekiranya termasuk juga membaca mushaf, maka menjadi tidak berfaidah.
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ
karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. (al Muzzamil : 20)
kedua, Rasulullah Saw memerintahkan ketika masuk waktu salat, maka beradzan dan hendaklah jadi imam yang paling banyak hafalan al-Qurannya kaitan dengan qiroah ketika qiyam atau berdiri. Sekiranya maksud di dalamnya termasuk membaca mushaf tentunya perintah tersebut tidak menjadi tidak berfaidah. Rasulullah Saw bersabda :
فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنًا
Apabila masuk waktu salat, maka hendaklah adzan seorang diantara kamu dan hendaklah jadi imam yang paling banyak (hafalan) al-Qurannya (HR Bukhari, Sahih al-Bukhari, 5/150)
Ketiga, ketika salat kita diperintahkan untuk melihat tempat sujud, berikut hadis dari sahabat Anas bin Malik, Nabi Saw bersabda :
“مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي صَلاَتِهِمْ فَاشْتَدَّ قَوْلُهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى قَالَ لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kenapa orang-orang mengarahkan pandangan mereka ke langit ketika mereka sedang shalat? Suara beliau semakin tinggi hingga beliau bersabda: “Hendaklah mereka menghentikannya atau Allah benar-benar akan menyambar penglihatan mereka.” (Sahih al-Bukhari, 1/150)
Secara manthuq larangan untuk mengarahkan pandangan ke atas ketika salat, secara mafhum muwafaqah tentunya bukan hanya keatas saja, tapi pandangan yang dapat mengganggu kekhusyuan salat, mafhum mukhalafah berarti memerintahkan untuk mengarahkan pandangan ke bawah atau tempat sujud.
Keempat, membaca mushaf al-Quran dan salat merupakan dua ibadah yang berbeda, sehingga membaca al-Quran ketika salat dapat difahami sebagai perbuatan diluar salat
Kelima, membaca mushaf bisa dikategorikan sebagai talaqi mushaf sebagaimana diluar salat misalnya dalam pengajaran, sedangkan perkataan manusia tidak layak dalam salat, berdasarkan hadis dari sahabat Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami.
إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيهَا شَىْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
Sesungguhnya salat itu tidak dibenarkan padanya ada perkataan (obrolan) manusia, sungguh didalamnya hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Quran (H.R. Muslim, Sahih Muslim, 2/70)
Membaca al-Quran dalam hadis tersebut tentunya difahami sebagai bacaan dari hafalan, bukan dari mushaf, dari berbagai qorinah ayat dan hadis sebelumnya.
Keenam, membaca mushaf dengan berbagai caranya misalnya menggunakan hp, mushaf digendong, pakai google glass dan lainnya, berpotensi sangat besar membuat gerakan-gerakan yang banyak dalam salat tanpa kebutuhan.
Ketujuh, gerakan salat sudah ditentukan sehingga kita disibukan dengan gerakan-gerakan tersebut didlamnya, karena itu sebaliknya, kita diperintahkan menjauhi gerakan-gerakan diluar gerakan salat, salah satunya melihat mushaf ketika qiyam qiro’ah.
عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كُنْتُ أُسَلِّمُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ فَيَرُدُّ عَلَيَّ فَلَمَّا رَجَعْنَا سَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ وَقَالَ إِنَّ فِي الصَّلَاةِ شُغْلًا
dari ‘Abdullah radliallahu ‘anhu berkata: “Kami pernah memberi salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika Beliau sedang shalat dan Beliau membalas salam kami. Ketika kami kembali dari (negeri) An-Najasyi kami memberi salam kembali kepada Beliau namun Beliau tidak membalas salam kami. Kemudian Beliau berkata: “Sesungguhnya dalam shalat ada kesibukan” (HR. Bukhari, Sahih al-Bukhari, 2/66)
Adapun gerakan-gerakan yang dibolehkan diantaranya ketika ada al hajah atau kebutuhan, berikut hadis-hadisnya, pertama, memindahkan Ibn Abbas karena salah tempat dalam posisi berjamaah ketika berdua
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَأْسِي مِنْ وَرَائِي فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ فَصَلَّى وَرَقَدَ فَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ فَقَامَ وَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
Dari Ibnu ‘Abbas berkata, “Pada suatu malam aku pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan aku berdiri di samping kirinya. Rasulullah Saw kemudian memegang kepalaku dari arah belakangku, lalu menempatkan aku di sebelah kanannya. Beliau kemudian shalat dan tidur setelahnya. Setelah itu datang mu’adzin kepada beliau, maka beliau pun berangkat shalat dengan tidak berwudlu lagi (HR. Bukhari, Sahih al-Bukhari, 1/146)
Kedua, bergerak maju untuk formasi salat berjamaah bertiga, dari Jabir bin Abdillah beliau berkata :
فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ ، فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ ، وَأَتَى آخَرُ فَقَامَ عَنْ يَسَارِهِ ، فَتَقَدَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي ، وَصَلَّيْنَا مَعَهُ
Kemudian aku berdiri (jadi makmum) di sebelah kiri beliau, kemudian beliau memindahkanku ke sebelah kanannya. Lalu datang orang lain, dan dia berdiri di sebelah kiri beliau, ternyata beliau malah maju dan melanjutkan shalat. Dan kamipun menyelesaikan salat Bersama beliau (HR. Ibnu Khuzaimah, Sahih Ibn Khuzaimah, 3/18)
Ketiga, Rasul Saw pernah salat sambil menggendong cucunya yaitu Umamah putra dari Zainab, tentu diantara tujuannya adalah disamping kasih sayang, Pendidikan dini, juga supaya tidak mengganggu kekhusyuan yang lain. Berdasarkan keterangan dari Abu Qotadah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا، وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sambil menggendong Umamah putri Zainab bintu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila beliau sujud, beliau letakkan Umamah, dan apabila beliau bangkit, beliau menggendongnya. (HR. Bukhari 516, Muslim 543)
Keempat, beliau melepas sandal dan meletakkannya di sebelah kiri, kabutuhannya karena ada najis di sandal beliau, Dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu:
بَيْنَمَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ ، فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَهُمْ ، فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَلاَتَهُ ، قَالَ : مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَاءِ نِعَالِكُمْ ، قَالُوا : رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : إِنَّ جِبْرِيلَ صلى الله عليه وسلم أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا
Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat bersama para sahabatnya, tiba tiba beliau melepaskan kedua sandalnya lalu meletakkannya di sebelah kirinya. Sewaktu para sahabat melihat tindakan beliau tersebut, mereka ikut pula melepas sandal mereka. Maka tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai shalat, beliau bersabda: “Apa gerangan yang membuat kalian melepas sandal sandal kalian?” Mereka menjawab; Kami melihat engkau melepas sandal, sehingga kami pun melepaskan sandal sandal kami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Malaikat Jibril ‘Alaihis Salam telah datang kepadaku, lalu memberitahukan kepadaku bahwa di sepasang sandal itu ada najisnya.” (HR Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, 1/175)
Kelima, hajat untuk membukakan pintu, padahal beliau sedang salat, berdasarkan keterangan Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata :
اسْتَفْتَحْتُ الْبَابَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي تَطَوُّعًا وَالْبَابُ عَلَى الْقِبْلَةِ فَمَشَى عَنْ يَمِينِهِ أَوْ عَنْ يَسَارِهِ فَفَتَحَ الْبَابَ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى مُصَلَّاهُ
”Saya minta dibukakan pintu, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat sunah, dan pintu ada di arah kiblat. Kemudian beliau berjalanan ke kanan atau ke kiri, lalu membuka pintu dan kembali ke tempat shalatnya.” (HR. an-Nasa’I, Sunan al-Kubra, 3/15)
Keenam, Rasulullah menyuruh membunuh binatang yang berbahaya ketika salat, kebutuhannya tentu untuk hifz al-nafs atau menjaga jiwa karena dapat membinasakan dengan sebab racun. Berdasarkan keterangan dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda :
اقْتُلُوا الأَسْوَدَيْنِ فِي الصَّلاَةِ : الْحَيَّةَ ، وَالْعَقْرَبَ
Bunuhlah dua binatang yang hitam dalam salat, yaitu ular dan kalajengking (HR Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, 1/242)
Ketujuh, menjawab salam dengan isyarat. Menjawab salam hukumnya wajib, namun ketika dalam keadaan salat, maka terlarang membalasnya dengan perkataan, namun diperbolehkan dengan isyarat, berdasarkan keterangan dari Ibn Umar :
فَقُلْتُ لِبِلاَلٍ : كَيْفَ رَأَيْتَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَرُدُّ عَلَيْهِمْ حِينَ كَانُوا يُسَلِّمُونَ عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي ؟ قَالَ : يَقُولُ هَكَذَا ، وَبَسَطَ كَفَّهُ ، وَبَسَطَ جَعْفَرُ بْنُ عَوْنٍ كَفَّهُ ، وَجَعَلَ بَطْنَهُ أَسْفَلَ ، وَجَعَلَ ظَهْرَهُ إِلَى فَوْقٍ
“Aku bertanya kepada Bilal; “Bagaimana kamu melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab salam ketika mereka memberi salam kepada beliau yang sedang shalat?” Bilal menjawab; “Seperti ini, sambil membuka telapak tangannya. dan Ja’far bin ‘Aun membuka telapak tangannya dengan menjadikan bagian dalamnya di bawah dan bagian luarnya di atas.” (HR Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, 1/243)
Ketujuh dalil diatas menunjukan adanya perubahan gerakan salat disebabkan adanya illat atau hajat. Adapun membaca mushaf ketika qiyam dalam salat, disamping tidak ditemukan dalil hadis yang sarih yang dinisbatkan kepada Rasul Saw, juga kami tidak menemukan keperluan untuk melakukan perbuatan tersebut, cukup hafalan al-Quran yang mudah saja.
Adapun dalil ulama yang membolehkan membaca mushaf ketika salat berdasarkan keterangan dari Aisyah
أَنَّهَا كَانَ يَؤُمُّهَا غُلاَمُهَا ذَكْوَانُ فِى الْمُصْحَفِ فِى رَمَضَانَ
Bahwasanya dia (Aisyah) diimami oleh pemuda (hamba sahayanya) yaitu Dzakwan dengan membaca mushaf pada bulan Ramadlan (HR. al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubro, 2/253, Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, 2/123 dan Kisah ini diriwayatkan pula oleh al-Bukhari secara mu’allaq Sahih al-Bukhari 1/140)
Ada beberapa catatan terkait hadis diatas:
Pertama, perbuatan membaca mushaf merupakan seorang tabiin yang bernama Dzakwan, Aisyah posisinya sebagai makmum, ada keihtimalan (mempunyai berbagai kemungkinan) sikap Aisyah waktu itu, karena tidak ada keterangan Aisyah mendukung atau sebaliknya yaitu menolak.
Kedua, jika seandainya ditafsirkan sebagai taqrir (penetapan) Aisyah, maka hal tersebut semata ijtihad Aisyah, tidak ada keterangan hal tersebut marfu kepada Rasulullah Saw.
Ketiga, tidak ada keterangan hadis yang disandarkan kepada Rasulullah saw baik itu perkataan, perbuatan atau taqrir. Padahal waktu itu sudah ada sahifah atau lembaran yang berisi ayat al-Quran.
Keempat, kami belum menemukan sahabat yang lain melakukan hal tersebut, padahal mushaf sudah ada pada zaman mereka, sehingga menjadi dalalah yang kuat bahwa hal tersebut semata ijtihad Aisyah saja.
Kelima, dalil-dalil sebelumnya sudah dibahas, disamping tidak ada dalil hadis, juga tidak ada keperluan untuk membaca mushaf ketika salat, karena cukup dengan hafalan yang mudah saja, jika tidak demikian, maka menjadi tidak berfaidah.
Dengan demikian dengan berbagai pembahasan diatas menurut pendapat kami yang rajih adalah tidak boleh membaca mushaf ketika salat, baik salat wajib maupun salat sunat.