Fatwapedia.com – Salah satu hukum riba dalam praktek muamalah adalah riba yang terjadi dalam jual beli atau perdagangan. Apa dan bagaimana riba perdagangan? Berikut penjelasan selengkapnya.
بسم الله الرحمن الرحيم
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتة
إنَّ الـحَمْدَ لِلّهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أشهد أن لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُه. أَمَّا بَعْدُ
Pada kali ini kita sampai pada pernyataan al-muallif rahimahullah:
والربا في الذهب والفضة والمطعومات
Dan yang dinamakan riba fadhl (riba perdagangan) bukan riba hutang-piutang bukan riba qard, bukan riba nasi’ah.
Riba yang terjadi pada akad jual-beli itu terjadi pada benda-benda berikut yaitu emas, perak dan seluruh jenis makanan, catatannya bila dibarterkan (dijualbelikan) sesama barang yang serupa atau barang yang fungsinya sama, maka berlaku padanya hukum riba yaitu kalau barangnya sama maka ketika barter harus sama takaran dan timbangannya.
Kalau barangnya berbeda tetapi fungsinya sama maka syaratnya harus tunai (serah terima fisik) dan kalau barangnya tidak sama tetapi sama fungsinya maka boleh selisih timbangan.
Tetapi ketika barangnya sama, fungsinya sama maka syaratnya harus dua yaitu takarannya sama dan harus terjadi tunai.
Contoh sederhananya, anda ingin barter (tukar menukar) emas. Emas itu sebagai standar nilai dan alat transaksi yang sah yaitu sebagai dinar dan dirham. Sampai saat ini alhamdulillah emas dan perak masih berlaku sebagai standar nilai.
Maka ketika anda tukar menukar emas, syaratnya harus dua yaitu :
(1) Tunai (ini emas yang lama dan ini emas yang baru) langsung terjadi serah terima fisik.
(2) Harus sama takaran (timbangnya), 1 gram dengan 1 gram tidak boleh melebihkan salah satunya dengan cara misalnya tukar tambah (emas barunya 1 gram emas lamanya 1 gram lebih sekian inch) ini termasuk riba.
Demikian pula barter bahan makanan, beras dengan beras maka syaratnya dua, yaitu:
Tunai, ini berasnya dan ini berasnya.
Sama takarannya, 1 Kg dengan 1 Kg
Ketika anda melebihkan 1 Kg (misal: beras raja lele, pandan wangi) dengan 2 Kg beras raskin (beras yang sudah berkutu atau bau apek, misalnya), satu banding dua, maka ini riba.
Kalau anda berkata, “mana ada yang mau?” menukar emas yang baru dengan emas yang lama nilainya sama. Beras yang bagus dengan beras yang jelek takarannya sama. Maka jawabannya sederhana jika anda tidak mau maka jangan barterkan.
Jual dahulu beras yang jelek dapatkan uangnya, terima uangnya kalau sudah dapat uangnya, gunakan untuk membeli beras yang bagus. Demikian dulu praktek yang dicontohkan (diajarkan) oleh Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam.
Suatu hari datang seorang sahabat, diriwayatkan beliau adalah sahabat Mu’adz bin Jabal atau yang lainnya, beliau datang dari negeri Khaibar dengan membawa kurma yang sangat bagus.
Maka Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bertanya kepada beliau,
أَكُلُّ تَمْرِ خَيْبَرَ هَكَذَا
“Apakah kurma negeri Khaibar seperti ini semua mutunya (bagusnya)?”
Kemudian beliau (sahabat nabi) menjawab,
لا، إِنَّا لَنَأْخُذُ الصَّاعَ مِنْ هَذَا بِالصَّاعَيْنِ مِنْ الْجَمْعِ
“Tidak, di sana kurmanya pun macam-macam, yang kami lakukan di sana kurma yang bagus ini 1 Kg di beli dengan 2 Kg kurma yang jelek (1 takar kurma bagus dibeli dengan 2 takar kurma jelek).
Maka Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan, أَوِّهْ عين الربا (aduh, inilah yang namanya riba / ini adalah nyata-nyata riba).
Kemudian beliau mengatakan, لا تفعل (janganlah engkau ulang lagi / jangan engkau lakukan lagi).
بِعْ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيبًا
Kalau engkau ingin membeli kurma yang baik, maka solusinya jual dahulu kurma yang jeleknya (dijual dengan dirham), jika uangnya sudah terima kemudian belilah kurma yang bagus.
Ini yang disebut hukum riba dalam perdagangan.
Kalau yang terjadi itu barter (jual beli antara emas dengan gandum atau emas dengan kurma) maka boleh tunai, boleh non tunai, boleh sama takarannya, boleh berbeda takarannya.
Intinya ada dua kelompok harta yang tidak boleh dibarterkan dengan barang yang sejenis (sama) atau barang yang fungsinya sama yaitu:
(1) Kelompok standar nilai: emas, perak, ataupun mata uang yang ada di zaman sekarang, uang giral yang ada di zaman sekarang.
(2) Kelompok makanan, dalam madzhab Syafi’i dijelaskan bahwa seluruh jenis makanan yang dimakan oleh manusia baik dalam kondisi itu sebagai makanan pokok atau sebagai makanan pendamping (pelengkap) atau sebagai makanan yang tujuannya untuk obat-obatan, maka semuanya sama tidak boleh dibarterkan dengan sesama makanan, kecuali memiliki kriteria hukum riba yaitu:
Kalau sama bahan makanannya, syaratnya harus ada dua yaitu sama takaran dan tunai,
Kalau beda jenisnya sama-sama makanan (beras dengan gandum atau gandum dengan kurma atau kurma dengan jagung misalnya), maka harus memenuhi satu persyaratan yaitu terjadi serah terima fisik secara tunai tidak boleh ada yang tertunda.
Kesimpulannya:
- Barang yang merupakan standar nilai emas perak ataupun uang kartal yang ada di zaman sekarang dan dalam madzhab Syafi’i dijelaskan kelompok yang kedua adalah kelompok makanan apapun makanannya yang dimakan sebagai makanan pokok atau sebagai makanan pendamping atau makanan yang di kategorikan sebagai bahan obat-obatan maka tidak boleh dibarterkan dengan barang yang sama kecuali dengan memenuhi dua kriteria; tunai dan sama takaran atau timbangannya.
- Tetapi ketika berbeda jenis (emas dengan perak) fungsinya sama sebagai alat transaksi dan standar nilai maka harus memenuhi satu kriteria, yaitu tunai. Gandum dengan kurma ataupun dengan beras, fungsinya sama sebagai makanan, tetapi jenisnya berbeda maka boleh selisih takaran tapi harus terjadi tunai serah terima fisik.
- Tapi jika kedua benda itu berbeda fungsi dan berbeda jenis, alat transaksi standar nilai dengan makanan, maka bebas, sebebas-bebasnya kita dalam memperdagangkan.
Ketentuan ini berdasarkan hadits Ubadah ibnu Shamit radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
الذهب بالذهب, والفضة بالفضة, والبر بالبر, , والشعير بالشعير, والتمر بالتمر, والملح بالملح ربًا إلا هاء وهاء
“Katanya emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, maka itu riba kecuali bila barternya dilakukan secara tunai dan tunai.”
Kemudian beliau bersabda lagi:
فإذا اختلفت هذه الأصناف فبيعوا كيف شئتم إذا كان يدا بيد
“Kalau jenis barangnya berbeda tetapi fungsinya masih sama maka perdagangkanlah secara sukarela sesukamu, selama jual belinya dilakukan secara tunai.”
Ini yang disebut dengan riba fadhl dan ketahuilah bahwa diharamkannya riba fadhl ini merupakan syari’at Islam hanya ada dalam agama Islam. Adapun agama-agama selain Islam, maka dalam literasi agama mereka tidak ada riba kecuali riba dalam utang-piutang atau disebut dengan riba nasi’ah atau riba jahiliyyah.
Adapun riba fadhl, riba buyu’, riba perdagangan yaitu riba barter itu hanya diharamkan dalam syari’at Islam, karenanya di sini al-muallif rahimahullah ta’ala mengatakan:
ولا يجوز بيع الذهب بالذهب والفضة كذلك إلا متماثلا نقدا
Karena itu tidak boleh menjual-belikan emas dengan emas, perak dengan perak kecuali متماثلا (sama timbangannya) ونقدا (dilakukan secara tunai).
ولا بيع ما ابتاعه حتى يقبضه ولا بيع اللحم بالحيوان
Katanya, sebagaimana tidak boleh menjual barang yang sudah dijual tersebut (menjual emas) sampai betul-betul emasnya itu diterima terlebih dahulu, baru dijualbelikan lagi dengan emas atau dengan perak agar tidak terjadi celah riba.
Betul-betul terjadi serah terima fisik, ini emasnya dan ini peraknya atau ini emasnya dan ini emasnya, tidak boleh ketika anda ingin menjual emas yang lama untuk membeli emas yang baru kemudian anda serahkan emas yang lama kepada pemilik toko kemudian oleh pemilik toko dicatat, “Saya catat anda memiliki uang di saya misalnya 10 juta silahkan pilih emas yang ada nanti tinggal saya potong atau saya minta tambah saja atau yang disebut dengan tukar tambah”, hal semacam ini tidak di benarkan.
Kalau memang mau membeli dan menjual, jual dulu secara sah, putus selesai terjadi pembayaran (serah terima barang), baru selanjutnya kita membeli barang yang kita butuhkan, ini kalau transaksinya terjadi pada komoditi riba.
Yaitu kelompok standar nilai dan alat transaksi dan kelompok makanan, di sini al-muallif rahimahullah ta’ala karena beliau bermadzhab (berafiliasi) ke madzhab Syafi’i, beliau mengatakan kelompok kedua adalah kelompok bahan makanan, ini madzhab Syafi’i rahimahullah ta’ala.
Sehingga dalam madzhab Syafi’i semua jenis makanan yang dimakan oleh manusia sebagai makanan pokok atau non makanan pokok, tidak boleh diperjualbelikan dengan barang yang sama kecuali dengan memenuhi dua kriteria; sama takaran dan serah-terima fisik (tunai).
Tapi ketika berbeda jenis, misalnya gandum dengan jagung (sama-sama makanan) tetapi beda jenis, maka harus memenuhi satu kriteria yaitu terjadi serah terima fisik di saat transaksi sehingga ketika mereka berdua berpisah tidak lagi tersisa, tidak ada lagi barang yang belum diserah-terimakan. Ini penjelasan dalam madzhab Imam Syafi’i rahimahullah ta’ala.
Menurut ulama yang lain, kelompok harta kedua yang berlaku padanya hukum riba adalah kelompok makanan pokok. Adapun non makanan pokok, maka tidak berlaku padanya hukum riba. Ini penjelasan dalam madzhab Imam Malik.
Beliau (Imam Malik) menjelaskan bahwa yang berlaku padanya hukum riba adalah kelompok makanan pokok dan bumbu, karena makanan pokok dan bumbu dibutuhkan oleh semua orang.
Sedangkan berlakunya hukum riba itu mempunyai tujuan, mempunyai illah (alasan) yang ingin dicapai yaitu adanya stabilitas pangan. Dan stabilitas pangan tercapai dengan makanan pokok dan kelompok bumbu, yang itu merupakan hajat semua manusia.
Sehingga dalam madzhab Maliki memperjualbelikan gandum dengan sayur mayur bebas, boleh serah terima fisik di majelis atau pun tidak, boleh sama takarannya dan tidak. Karena sayur mayur bukan kelompok makanan pokok dan juga bukan kelompok bumbu.
Sehingga dalam madzhab Malik lebih sempit sedangkan dalam madzhab Syafi’i lebih luas, dan wallahu ta’ala alam pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat yang diajarkan oleh madzhab Imam Malik, bahwa yang berlaku padanya hukum riba bukan semua jenis makanan, tetapi jenis makanan yang itu dijadikan sebagai makanan pokok masyarakat atau pun sebagai bumbu masakan mereka.
Karena ini merupakan hajat semua insan, sehingga kesimpulannya jual beli dengan barter (tukar menukar barang), kalau itu terjadi pada alat transaksi dan standar nilai emas dan perak, dan yang disebut emas ini emas yang zaman dahulu (klasik) adapun emas putih apalagi emas hitam itu tidak dikatakan emas dalam literasi syari’ah (fiqih Islam), sehingga anda boleh membarterkan emas putih dengan emas kuning sesuka anda.
Bisa dengan tunai, bisa dengan sama nilainya karena sejatinya emas putih bukanlah emas sehingga tidak berlaku padanya hukum riba.
Dan perlu ditekankan kembali ini berlaku pada skema barter;
Membarterkan alat transaksi dan standar nilai dengan sesama alat standar nilai, kalau barangnya sama, maka syaratnya dua, yaitu tunai dan sama timbangannya.
Kelompok kedua adalah kelompok makanan pokok dalam madzhab Malik, dan itu tadi yang kita katakan sebagai pendapat yang lebih rajih atau kelompok makanan secara umum dan ini adalah pendapat dalam madzhab Syafi’i.
Ketika terjadi barter antara barang yang sejenis yang fungsinya sama sebagai makanan pokok maka harus memiliki dua kriteria yaitu sama takaran dan serah terima fisik tunai.
Karena itu di sini al-muallif mengatakan:
ولا بيع اللحم بالحيوان
“Tidak boleh memperjualbelikan daging dengan hewan yang masih hidup.”
Kenapa? Karena takarannya tentu beda, padahal hewan yang masih hidup itu biasanya akan disembelih dan ujung-ujungnya akan menjadi bahan makanan kembali, sehingga tidak memenuhi kriteria sama takaran.
ويجوز بيع الذهب والفضة متفاضلا نقدا
“Sebagai aplikasinya pula boleh memperjualbelikan emas dengan perak tidak sama timbangan (متفاضلا), asalkan tunai (نقدا).”
وكذلك المطعومات لا يجوز بيع الجنس منها بمثله إلا متماثلا نقدا
Sebagaimana halnya dalam semua jenis bahan makanan menurut madzhab Syafi’i atau semua jenis makanan pokok menurut madzhab Maliki dan itu yang kita anggap sebagai pendapat yang lebih kuat. Tidak boleh diperdagangkan (dibarterkan) dengan barang yang sama dan serupa fungsinya kecuali dengan memenuhi dua kriteria متماثلا (sama takaran) dan نقدا (tunai).
Jadi kalau sama fungsinya yaitu sebagai makanan atau sebagai makanan pokok menurut pendapat yang rajih, tapi jenisnya berbeda (gandum dengan kurma) maka boleh dilakukan secara tidak sama takaran asalkan tunai.
Itulah yang beliau nyatakan.
ويجوز بيع الجنس منها بغيره متفاضلا نقدا
Boleh memperjual belikan satu jenis makanan dengan jenis makanan yang lain (satu jenis makanan pokok dengan jenis makanan pokok yang lain) selama itu dilakukan secara tunai, walaupun takarannya berbeda.
Ini yang bisa saya sampaikan pada kesempatan ini, semoga bermanfaat menambah hasanah keilmuan kita. Kurang dan lebihnya saya mohon maaf.
وبالله التوفيق و الهداية
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Oleh: DR Muhammad Arifin Badri MA