Fikroh.com – Pada Tahun 1991, Bulan Januari-Februari, diadakan Seminar Jalan Sutra (Silk Road), di atas sebuah kapal bernama Venetia yang berangkat dari Venesia Italia, menelusuri jalan sutra laut menuju Tiongkok (Cina).
Perairan Selat Malaka merupakan jalur jalan sutra laut yang terpenting dan cabang-cabangnya diperairan Indonesia. Dalam rencana kunjungan kapal tersebut diperairan Indonesia, ada tiga pelabuhan yang penting dicatat oleh Tome Pires (Pires, 1944), yaitu Perlak, Palembang (Sriwijaya) dan Tuban. Ternyata ketiga pelabuhan tersebut tidak mungkin dapat dikunjungi oleh kapal yang berbobot mati cukup besar, dan pada saat ini bukan merupakan pelabuhan samudra (kecuali Palembang), maka yang akan dikunjungi adalah Pelabuhan Surabaya (Tanjungperak).
Jalur jalan sutra merupakan jalur perhubungan/komunikasi antara timur dan barat pada awal tarikh masehi sampai sekitar abad ke 16, jalur komunikasi itu meliputi jalan darat melalui gurun pasir (desert route) dengan kendaraan unta.
Di samping itu dikenal pula jalan darat melalui padang rumput (steppe route) dengan alatnya kuda, dan jalan laut (maritiem route), Bagi Indonesia, peranan jalan sutra laut (disebut juga dengan jalur keramik) inilah yang sangat penting dalam kehidupan bangsa kita pada masa lampau.
Begitu pentingnya Selat Malaka, maka kerajaan-kerajaan di sekitar Selat Malaka berusaha menunjukkan hegemoninya, terutama Kerajaan Sriwijaya pada abad ke 7- 13.
Menguasai Selat Malaka berarti menguasai perdagangan yang melalui jalur sutra laut yang terpenting. Monopoli perdagangan berarti kemampuan memperolen penghasilan yang lebih besar berupa pajak perdagangan sehingga kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan besar dan berjaya.
Salah satu cabang jalur jalan sutra laut adalah Selat Sunda. Daerah Lampung termasuk dalam jalur cabang ini. Di Lampung pernah ditemukan benda-benda kramik Jaman Dinasti Han (Krom, 1956: 10) sehinggga pelayaran laut dari dan ke Tiongkok pada awal tarikh masehi telah ada ke Lampung. Dan ini melalui jalur sutra laut dengan cabang ke arah Selat Sunda dan Laut Jawa terutama Jawa Barat.
Sebelum munculnya Kerajaan Sriwijaya, menurut beberapa ahli sejarah seperti Krom, di Lampung terdapat kerajaan Tulang Bawang. Sampai saat ini lokasi dan pusat kerajaan Tulangbawang belum diketahui. Ada yang berpendapat bahwa kerajaan itu berada di sekitar Sungai Tulangbawang sekarang, yang mengalir melalui kota Menggala di Kabupaten Lampung Utara.
Slamet Mulyana dalam bukunya Sriwijaya (1969), tidak menyebutkan adanya kerajaan Tulangbawang, tetapi dalam bukunya “Kuntala, Sriwijaya dan Swarnabumi” (1981), menyebutkan bahwa Sriwijaya terlebih dahulu menaklukan kerajaan Tulangbawang sebelum tentara Sriwijaya menaklukan Bhumi Jawa (Tarumanagara) pada Tahun 686 M. Mulyana juga menyebutkan bahwa Po-hwang sebagai (Tulangbawang). Kerajaan Po-hwang mengirimkan utusan ke Tiongkok pada Tahun 442, 449, 451, 455, 456, 459, 464 dan 466 (Muljana, 1981: 132).
“…JIKA pada saat mana pun di seluruh wilayah kerajaan ini ada orang yang berkhianat, bersekutu dengan pengkhianat, menegur pengkhianat atau ditegur oleh pengkhianat, sepaham dengan pengkhianat, tidak mau tunduk, dan tak mau berbakti, tak setia kepadaku dan kepada mereka yang kuserahi kekuasaan datu, orang yang berbuat demikian itu akan termakan sumpah.
Kepada mereka, akan segera dikirim tentara atas perintah Sriwijaya. Mereka sesanak keluarganya akan ditumpas!”
Demikian sejarawan Slamet Muljana dalam Sriwijaya menerjemahkan sebagian kalimat kutukan yang ada dalam Prasasti Kota Kapur. Prasasti Kota Kapur adalah satu dari enam prasasti kutukan Kedatuan Sriwijaya yang sejauh ini sudah ditemukan. Prasasti ini berasal dari 686 M.
Toponim ini biasa dianggap sebagai singkatan To-lang-Po’hwang yang diindentifikasikan sebagai Tulangbawang oleh G. Ferrand yang terletak dipantai timur Lampung.
Nia Kurnia Sholihat Irfan mengemukakan dalam bukunya Kerajaan Sriwijaya (1983), bahwa di Lampung ada tiga kerajaan sebelum ada Kerajaan Sriwijaya yaitu Yeh-Poti (tercatat dalam uraian perjalanan pendeta Fa-hsien pada Tahun 414) yang diidentifikasikan Kerajaan Seputih yang terletak di daerah Way Seputih pantai timur Lampung.
Kerajaan kedua To-lang yang terletak di sekitar Talangpadang Lampung Selatan dan kerajaan ketiga Po-hwang yang terletak di daerah Bawang Lampung Barat (tercatat dalam Kronik Taiping-huanyu-chi).
Pada Tahun 1918 Gabriel Ferrand menggangap, Tolang dan Po-hwang sebagai satu nama : To-lang-po-hwang, lalu lokasinya didaerah Sungai Tulangbawang di Kabupaten Lampung Utara.
Mengenai Yeh-po-ti, para ahli masih simpang siur pendapatnya. Pada Tahun 1876, W.P.Groenevelt beranggapan bahwa Yeh-po-ti adalah translitasi dari Yawadwipa (pulau Jawa). Banyakjuga ahli sejarah yang menyetujui anggapan ini. Tetapi banyak juga yang menyangsikannya antara lain Rolland Braddle, G.E.Gerini dan Paul Wjeatley.O.W.Wolters setuju bahwa Yeh-p0-ti sama dengan Jawa, tetapi ditambahkan menjadi Jawadwipa. Jawadwipa tidak sama dengan Pulau Jawa sekarang, karena dapat diartikan berada di pulau lain selain Jawa. Nia Kurnia Sholihat Irfan berpendapat bahwa Yeh-po-ti adalah Seputih G.E. Gerini berpendapat bahwa Yeh-po-ti berada di pantai timur Sumatera. Tetapi lokasinya tidak dijelaskan. Data-data arkeologis membuktikan bahwa di daerah Seputih pernah berkembang pada jaman purba. Daerah Pugungraharjo, daerah Seputih, telah ditemukan lingga dan arca Hindu yang besar. Demikian juga di Gunung Sugih, ditepi Way Seputih ditemukan patung seorang Dewi Hindu. Hal ini membuktikan bahwa daerah Way Seputih pernah berkembang Agama Hindu. Lagi pula arah pelayaran pantai timur Lampung menuju Kanton ke arah timur laut diperkirakan memakan waktu sebulan yaitu sama waktunya bila dibandingkan dengan perjalanan I-tsing dari Kanton ke Sriwijaya.
Dari uraian itu dapat dikemukakan bahwa sejak abad ke 5 dan ke 6 telah ada hubungan Lampung dan Tiongkok. Dalam hal ini peranan jalur jalan sutra laut memegang peranan penting. Perjalanan Fa-hsien (414), kerajaan To-lang dan Po-hwang abad ke 5 dan ke 6 mengirimkan utusan ke Cina membuktikan bahwa jalur sutra laut sudah ada berhubungan dengan Lampung.
Berseberangan dengan Lampung, melintasi Selat Sunda, di Jawa Barat terdapat Kerajaan Tarumanegara. Berita Cina lainnya yang berasal dari Dinasti Sou (Periode Dinasti Utara dan Selatan 386–581M) menyatakan bahwa pada Tahun 528 dan 535, datang utusan dari To-lo-mo yang terletak di sebelah selatan. Demikian pula halnya terjadi pada Tahun 666 dan 669, berita Tang Muda menyatakan datangnya utusan dari kerajaan yang sama. Nama To-lo-mo ini merupakan nama kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat. Dengan demikian daerah sekitar Selat Sunda merupakan perairan yang ramai dikunjungi oleh musafir-musafir dari Cina. Jalan laut ini merupakan cabang Jalur Sutra yang akan menuju atau dari pantai barat Sumatera sebelum bersatu kembali di bagian utara pulau Sumatera dengan Jalur Sutra Selat Malaka.
Timbulnya Kerajaan Sriwijaya Pada Tahun 683 M.
Perkembangan selanjutnya daerah-daerah sekitarnya menjadi daerah taklukan Sriwijaya. Pada Tahun 686 dalam prasasti Kota Kapur disebutkan “Yam Bhumi Jawa tida bhakti ka Sriwijaya” yaitu Tarumanegara ditaklukkan.
Demikian juga kerajaan Tulangbawang menjadi bagian dari kerajaan Sriwijaya. Seperti kita ketahui kerajaan Sriwijaya adalah negara maritim yang menguasai Indonesia bagian Barat, sehingga hemogemoninya terhadap perairan Jalur Sutra Selat Malaka sangat besar. Demikian juga cabang-cabang Jalur Sutra terutama melalui Selat Sunda di bawah pengawasan Sriwijaya.
Pada akhir abad ke 13 muncul Majapahit yang menguasai hampir seluruh wilayah Indonesia. Perairan Selat Malaka juga dikuasainya.
Walaupun kerajaan Pajajaran baru pada Tahun 1357 dapat dikuasai, namun pelayaran sekitar Selat Sunda juga berada dibawah kekuasaan Majapahit.
Daerah Lampung termasuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Hal ini dapat kita lihat dalam kitab Negarakertagama (1365) yang memasukkan nama Lampung dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Dengan demikian pelayaran di sekitar selat Sunda berhubungan juga dengan Cina. Sejak dulu ternyata komoditi lada merupakan komoditi ekspor pada saat itu. Tetapi yang sudah pasti komoditi lada sebagai bahan ekspor adalah pada masa Kesultanan Banten.
Di sebelah utara Banten terdapat kerajaan Palembang yang mulai berperan dalam sejarah sejak awal abad ke 16. Antara Banten dan Palembang sering terjadi perebutan kekuasaan terutama untuk menguasai perdagangan lada di Lampung Utara.
Pernah terjadi pada Tahun 1605 Banten menyerang Palembang di bawah pimpinan Sultan Muhammad yang menyebabkan beliau tewas dalam penyerangan itu. Daerah Tulangbawang menjadi daerah perebutan antara Sultan Banten dan Sultan Palembang. Di sebelah selatan dan tengah Lampung. Banten menguasai sepenuhnya terutama dalam mengatur perdagangan lada. Dalam urusan pemerintahan setempat bagi Banten sudah cukup apabila setiap tahun penguasa di Lampung melakukan “seba” (menghadap penguasa) ke Banten.
Sejak saat itu yaitu abad ke 16 sampai 17, baik Palembang maupun Banten tidak lagi saling menyerang terutama untuk memperebutkan Lampung Utara, tetapi setelah Kesultanan Palembang sudah sangat lemah karena himpitan VOC. Banten dapat menguasai juga Lampung Utara.
Dalam prasasti tembaga yang ditemukan di Bojong berangka Tahun 1670. menyebutkan bahwa semua hasil lada sebelum dijual ke luar daerah, terlebih dahulu harus diselesaikan pembayaran pajak penjualan kepada jenang (pejabat setempat) sebagai wakil Sultan Banten di Lampung.
Pada abad ke-17, seluruh perairan Selat Sunda merupakan wilayah kekuasaan Banten. Perdagangan maju terutama oleh pedagang-pedagang Islam. Demikian juga terdapat pedagang-pedagang Cina yang memenuhi bandar (pelabuhan) Banten.
Sebagai data historis juga ditemukan lempengan prasasti tembaga di Kuripan Kalianda Lampung Selatan. Pada saat ini masih tersimpan pada keluarga Raden Intan I1. Pahlawan Nasional dari Lampung. Antara Banten dan Lampung terdapat perjanjian yang terdapat dalam piagam tersebut.
“Lamun ana musuh Banten. Banten pengerowa, Lampung tut wuri, lamun ana musuh Lampung, Lampung pengerowa, Banten tut wuri” (kalau ada musuh Banten, Banten di depan, Lampung di belakang, kalau ada musuh Lampung, Lampung di depan. Banten di belakang).
Konon menurut cerita Orang Lampung bahwa Fatahillah sendiri yang datang ke Lampung. Beliau kawin dengan putri Sinar Alam dari Keratuan Pugung yang menurunkan Ratu Darah Putih penguasa Lampung di sekitar Rajabasa Lampung Selatan, sebagai cikal bakal atau yang menurunkan Pahlawan Raden Intan II dari Lampung. Dengan demikian sekitar Tahun 1527 (bertepatan dengan lahirnya Kota Jakarta dan keruntuhan Majapahit), sebagai penguasa Demak yang mengusir Portugis dari Sunda Kelapa, terdapat hubungan antara bandar Sunda Kelapa dengan Lampung melalui peranan Fatahillah yang datang sendiri ke Lampung.
Kesimpulan.
Sejak abad pertama masehi sampai abad ke 16 perairan Selat Sunda sudah ramai dikunjungi oleh musafir dan pedagang pedagang dari Cina dan India, Musafir-musafir dan pedagang tersebut melalui selat Malaka atau laut Cina Selatan yang merupakan bagian dari Jalur Sutra jalur laut. Dengan demikian jalur Selat Sunda sangat ramai terutama pada abad ke 16 ketika Banten mulai memasuki peranan historisnya di wilayah Indonesia bagian barat.
Referensi:
1. Broersma, R. 1916, De Lampongshe Districten, Javasche, Boekhandelsen Drukkrij, Batavia.
2. Bukri, c.s, 1975, Monografi Daerah Lampung, Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Lampung, Tanjungkarang.
3. Hilaman Hadikusuma, 1977/1978, Adat Istiadat Daerah Lampung Proyek P3KD, Jakarta.
4. Hoessein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten Penerbit Jambatan, Koninklojke Institut Voo Taal, Land en Volkende, Tanpa tahun. penerbitan Pertama Tahun 1913.
5. Husin Sayuti, 1977/1978, Sejarah Daerah Lampung. P3KD Jakarta.
6. Hasan Muarif Ambary, 1990, Peranan Beberapa Bandar Utama di Sumatera abad ke 7-16 Masehi dalam Jalur Jalan 5utra melalui Lautan, seminar sejarah nasional V di Semarang.
7. Mukhlis, 1990 Jaringan perdagangan di Indonesia Bagian Timur, seminar sejarah nasional V di Semarang.
8. N.J.Krom, 1956, Zaman Hindu, P.T. Pembangunan Jakarta.
9. Nia Surnia Sholihat Irfan, Kerajaan Sriwijaya, 1983, Girimukti Pasaka, Jakarta.
10. Slamet Muljana, 1981, Kuntala, Sriwijaya dan Swarnabhumi, Yayasan ldayu, Jakarta.
11. Suwardi Ms, 1990 Warisan Bahari di Sepanjang Selat Malaka, Seminar Sejarah Nasional V di Semarang
12. Husin Sayuti, 1995 :41-46