Oleh: Ahmad Syahrin Thoriq
Di tulisan sebelumnya kita telah menyimak pengakuan dan pujian para ulama kepada seorang ulama besar muslimin yang digelari Syaikhul Islam, sang jagoannya mujahidin, as Safar, al Hafidz, imam az Zuhd, pemimpinnya para ulama al imam Abdullah bin Mubarak rahimahullah ta’ala.
Di tulisan kali ini kita akan mengungkap kisah luar biasa orang tua dari al imam Ibnu Mubarak. Selamat menyimak.
Kita tentu sudah mengenal siapa sosok agung al imam Abdullah bin Mubarak, namun tidak banyak yang mengetahui tentang ayahnya yang juga seorang yang luar biasa?
Membaca sedikit saja dari fragmen nyata kehidupan Mubarak, pasti kita akan dibuat terkagum-kagum kepadanya, betapa jujurnya ia dan karenanya pantaslah jika putranya menjadi ulama besar.
Mubarak awalnya berstatus sebagai seorang budak. Ia ditugasi oleh tuannya untuk menjaga kebun delima. Bertahun-tahun Mubarak menjadi penjaga kebun tersebut. Sampai suatu hari, majikannya datang ke kebun tempat ia bekerja dan minta diambilkan delima yang manis.
Mubarak segera bergerak mengambilkan salah satu buah delima, tetapi majikannya tidak berkenan saat mencicipinya. “Ini masam, Mubarak,” katanya dengan nada kecewa, “carikan yang manis.”
Mubarak pun mengambilkan buah kedua. “Ini juga masam, carikan yang manis!” kata-kata itu kembali meluncur dari sang majikan setelah ia mencicipinya.
Mubarak mengambilkan buah delima ketiga. Lagi-lagi, wajah majikan menandakan raut muka kecewa setelah memakannya. “Ini masam, Mubarak. Apakah kau tidak bisa membedakan buah delima yang manis dan buah delima yang masam?”
Mubarak pun menjawab: “Saya tidak dapat membedakannya, antara yang manis dan yang masam tuan. Sebab saya tak pernah mencicipinya”
Mendengar jawaban itu, alangkah herannya sang majikan. “Kau tidak pernah mencicipinya? Padahal engkau sudah bertahun-tahun aku tugaskan menjaga kebun ini?”
“Iya tuan. Engkau menugaskan aku untuk menjaganya, bukan untuk mencicipinya.” jawab Mubarak.
Sang majikan tidak jadi marah. Persoalan tidak mendapatkan delima yang manis terlupakan begitu saja. Yang ada kini hanya kekaguman. Ia kagum dengan kejujuran budak penjaga kebunnya.
“Wahai Mubarak, aku memiliki putri yang belum menikah,” kata sang majikan mengubah topik pembicaraan, “menurutmu, siapakah yang pantas menikah dengan putriku ini?”
“Dulu, orang-orang jahiliyah menikahkan putrinya atas dasar keturunan,” jawab Mubarak, “Orang-orang Yahudi menikahkan putrinya atas dasar harta dan kekayaan. Orang-orang Nasrani menikahkan putrinya atas dasar ketampanan. Maka sudah selayaknya orang-orang Muslim menikahkan putrinya atas dasar agama.”
Jawaban ini semakin membuat sang majikan kagum dengan Mubarak. Dan selang beberapa waktu, Mubarak dipilih olehnya untuk menjadi menantu. Ia dinikahkan dengan putri kesayangannya. Dan dari pernikahan mereka inilah, lahir kemudian Abdullah bin Mubarak, ulama besar kebanggaan umat yang sangat sulit dicari bandingannya.
Demikianlah, kejujuran akan selalu berbuah manis. Apa yang dialami oleh Mubarak, kejujuran membuatnya bebas, yakni dari berstatus budak menjadi orang yang merdeka.
Bahkan, kejujuran pula yang mempertemukannya dengan cinta sejatinya hingga dikaruniai keturunan yang mulia.
Marja’: Wafayatul A’yan (3/33)