Oleh: Ust. Sahal Japara
Fatwapedia.com – Berikut ini adalah catatan kecil dalam Pekan Qiraat Internasional di Masjid Suciati Saliman dan Masjid Agung Sleman pada Hari Ahad 27 Agustus 2023, Seharian Mengaji Bersama: Syekh Abdurrasyid Ali Shufi Somalia/Qatar, Syekh Abdunnasir Mesir, Prof KH Said Agil Almunawwar, Walid Dr. KH Ahsin Sakho Muhammad, KH Raden Abdul Hamid Abdul Qadir Munawwir
A. Petikan Dhawuh-Dhawuh Prof KH Said Agil Al Munawwar tentang Urgensi Sanad dalam Ta’lim al Qur’an:
1. Kalau kita mau belajar sungguh-sungguh pada satu disiplin keilmuan tertentu, maka pada hakikatnya kita belajar tentang banyak ilmu. Semakin mendalam di satu disiplin keilmuan, maka semakin berhubungan dengan ilmu-ilmu yang lain. Termasuk juga ilmu Qiraat ini.
2. Syarat orang boleh mengajarkan al Qur’an, termasuk di dalamnya juga ilmu Qiraat, adalah harus Talaqqi dan Musyafahah atau setoran al Qur’an di hadapan Guru. Orang mengajar al Qur’an kok tidak punya sanad, tidak pernah Musyafahah di hadapan Guru, maka dia adalah Guru yang liar. Dan ketika ia punya murid, lalu muridnya itu mengajar, maka asyaddu liyaran, semakin bertambah liarnya.
3. Kalau kita mau mengajarkan al Qur’an, maka harus digurukan. Kalau ingin mendapatkan Ijazah ya harus mau ber-Musyafahah atau setoran langsung kepada Guru. Kalau untuk ilmu-ilmu yang lain, kitab-kitabnya boleh saja dibaca secara sendiri, tetapi jika mendapatkan Ijazah dari Syekh/Guru, maka akan jauh lebih bagus, supaya jelas keilmuannya.
4. Sanad keilmuan dari beberapa Guru akan menguatkan derajat sang Murid. Sebagaimana di dalam diskursus Ilmu Hadits, semakin banyak perawi yang meriwayatkan suatu hadits maka akan semakin menguatkan derajat hadits, كثرة الرواة تقوى درجة الحديث.
5. Dahulu, jika ada orang Ahli Hadits, maka sudah pasti ia hafal al Qur’an. Tetapi zaman sekarang, belum tentu.
6. Dalam tradisi mengaji al Qur’an, Ijazah (dari kata أجاز-يجيز-إجازة, artinya: memperbolehkan/ kebolehan untuk melakukan sesuatu, sesuai dengan apa yang diijazahkan) diberikan oleh seorang Muqri’/Guru al Qur’an kepada Murid, manakala ia telah menyelesaikan Musyafahah/Setoran al Qur’an.
7. Sanad al Qur’an atau Sanad keilmuan yang turun temurun dari Rasulullah SAW dan Sahabat kepada Tabi’in, dari Tabi’in ke Tabi’it Tabi’in, hingga sampai kepada kita ini merupakan tradisi keilmuan yang khas dimiliki oleh Ummat Islam yang harus tetap dijaga dan dilestarikan.
8. Ada beberapa tipe Guru/Syekh dalam memberikan Sanad dan Ijazah: Pertama, tipe Guru yang mudah dalam memberikan Sanad dan Ijazah, manakala Murid sudah selesai dalam ber-Musyafahah. Kedua, tipe Guru yang sulit dan ketat dalam menerapkan pemberian Sanad dan Ijazah, sebagai bentuk tanggung jawab guru atas keilmuan dan sikap kehati-hatian supaya tidak sembarangan dalam memberikan Sanad dan Ijazah. Tipe Guru yang ketat dalam menerapkan pemberian Sanad dan Ijazah jangan disalahpahami bahwa Guru tersebut pelit atau kitmanul ilmi atau menyembunyikan ilmu.
9. Orang yang berdusta tentang Sanad, berbohong mengaku-ngaku mendapatkan Sanad-nya Syekh Fulan, mengaku sebagai Muridnya Syekh Fulan padahal tidak, sudah ada sejak zaman dulu. Di eranya Imam Ahmad bin Hambal, ada orang yang mengaku-ngaku sebagai muridnya Imam Ahmad dan mengaku mendengar riwayat hadits dari beliau. Kemudian si Pendusta ini sering menyampaikan hal itu di hadapan banyak orang. Suatu ketika, saat ia sedang berceramah di depan khalayak, telah hadir di dalam majlisnya: Imam Ahmad dan Muridnya Yahya bin Ma’in. Kemudian si Pendusta pun ditanyai oleh Imam Yahya bin Ma’in, tentang siapa yang duduk di samping Yahya bin Ma’in? Dan ternyata si Pendusta tidak kenal dengan orang yang dimaksud Imam Yahya, yang tidak lain adalah Imam Ahmad bin Hambal.
10. Prof Said Agil Munawwar mendapatkan wasiyat dari Syekh Yasin bin Isa al-Fadani, pada pertemuan terakhirnya, yakni sembilan hari sebelum wafat Syekh Yasin. Syekh Yasin berwasiyat supaya Prof Said Agil al Munawwar berkenan untuk menyebarkan sanad-sanad keilmuan yang beliau dapatkan dari Syekh Yasin kepada murid-muridnya kapan pun dan dimana pun.
B. Petikan Dhawuh-Dhawuh Syekh Abdurrosyid Ali Shufi Qatar/Somalia tentang Pentingnya Menjadikan Al Qur’an Sebagai Wiridan:
1. Seseorang bisa dikatakan sebagai Ahli al Qur’an, manakala di dalam dirinya terkumpul tiga perkara ini: (1) Beramal di lisannya dengan membaca al Qur’an sesuai dengan ilmu Tajwid. (2) Beramal di hatinya dengan mentadabburi al Qur’an, berusaha memahami maknanya, berusaha memahami maksud tiap ayat, dan merasakan lezat manisnya membaca al Qur’an. (3) Beramal dengan badan, dengan cara berusaha mengamalkan dan mempraktikkan kandungan al Qur’an, serta menjauhi segala larangan dengan setiap anggota badan.
لا بد من أهل القرآن أن تجتمع ثلاث خصال: (1) عمل اللسان: بتجويد القرآن. (2) عمل الجنان: بتدبر القرآن، ومعرفة معانيه، ومعرفة مقاصد آياته، والتلذذ بحلاوة القرآن. (3) عمل الأبدان: العمل بما في القرآن وتطبيقه واجتناب نواهيه بكل أعضاء من الأبدان
2. Imam Hasan al Bashri Rahimahullah berkata: “Carilah manisnya hati di dalam tiga perkara: (1) Di dalam Shalat (2) Di dalam Dzikir (3) Di dalam membaca al Qur’an. Jika kalian memang bisa menemukan. Tetapi jika tidak (menemukan manisnya hati dalam tiga perkara tadi), maka ketahuilah bahwa pintu (hatimu) tertutup.”
قال الحسن البصري رحمه الله: ” تفقدوا الحلاوة في ثلاثة أشياء: في الصلاة وفي الذكر، وفي قراءة القرآن، فإن وجدتم. وإلا فاعلموا أن الباب مغلق “
3. Seorang penghafal al Qur’an itu setidaknya minimal dalam seminggu harus sekali khatam. Bahkan seminggu khatam sekali pun ini menurut Syekh Abdurrasyid masih kurang. Saat masih muda, beliau pernah ditanyai oleh Ayahnya yakni Syekh Ali Sufi Mufti Somalia, “Bagaimana nderesmu? Berapa kali khatam dalam seminggu?” Syekh Abdurrasyid pun menjawab, “Seminggu khatam sekali”, dengan harapan sang Ayah memujinya. Malah kenyataan berkata lain. Sang Ayah justru tidak senang, dan berkata, “Apakah kamu rela, huruf-huruf al Qur’an hanya melintas di hati dan fikiranmu sekali saja dalam seminggu? هل رضيت أن تمر حروف القرآن مرة واحدة فقط في كل أسبوع? Paling tidak, tiga hari harus khatam satu kali.”
4. Seorang penghafal al Qur’an harus menjadikan al Qur’an sebagai wiridnya. Wirid bacaan al Qur’an bagi Hamilul Qur’an tentunya beda dengan orang-orang awam kebanyakan.
5. Syekh Abdurrosyid sangat mengagumi Ayahanda sekaligus Gurunya Syekh Ali Sufi yang konsisten dan istiqamah dalam menjaga al Qur’an serta menjadikannya sebagai wirid. Baik sedang di rumah atau sedang bepergian, baik sedang ada banyak kegiatan ataupun tidak, baik sedang dalam keadaan sehat atau pun sakit, Syekh Ali Sufi selalu istiqamah mengkhatamkan al Qur’an minimal dalam tiga hari khatam satu kali.
6. Suatu ketika, Syekh Ali Sufi berkunjung ke Italia dan transit di Mesir. Beliau mengunjungi Kantor Dubes Somalia di Mesir sembari menengok putranya Abdurrasyid muda yang masih belajar di Ma’had Qiraat Mesir. Sudah lama Syekh Ali Sufi tidak mengunjungi putranya. Kendati demikian, Syekh Ali Sufi tidak lantas berlama-lama melepas rindu dengan Abdurrasyid muda. Beliau bicara seperlunya, kemudian berucap, “Sudah cukup ngobrolnya. Kalau kamu ingin kembali ke Ma’had, ini aku beri uang saku. Tapi kalau kamu masih tetap ingin di sini bersama ayah, maka kamu harus ikut wiridan al Qur’an. Kita baca al Qur’an secara bergantian.” Akhirnya, Abdurrasyid muda pun memilih untuk tetap menemani sang Ayah, melepas rindu dengan saling mendaras-simak hafalan al Qur’an. Syekh Ali Sufi betul-betul sangat menjaga dan menghargai waktu. Tidak ada waktu yang terbuang sia-sia.
7. Dalam menjaga hafalannya, Syekh Abdurrasyid menganjurkan para penghafal al Qur’an menggunakan model bacaan Hadr/حدر, yaitu membaca dengan cepat tetapi masih menjaga Makhraj Sifat dan Tajwidnya. Durasi Syekh Abdurrasyid ketika membaca al Qur’an secara Hadr adalah 5 Juz ditempuh dalam waktu 1,5 Jam atau 90 menit. Setiap Juz dibaca sekitar 18 menitan.
8. Syekh Abdurrasyid Ali Sufi memberikan komentar atas bait nadzam Jazariyyah:
والأخذ بالتجويد حتم لازم :: من لم يجود القران آثم
لأنه به الإله أنزلا :: وهكذا منه إلينا وصلا
Gunakan Tajwid itu wajib hukumnya :: Baca Qur’an tanpa Tajwid itu dosa
Demikianlah Allah menurunkannya :: Begitulah Qur’an sampai pada kita
Syekh Abdurrasyid Ali Sufi berkata: “Yang dimaksud berdosa ketika baca Qur’an tanpa Tajwid adalah manakala ada orang diberikan kesempatan untuk belajar Tajwid tetapi ia tidak mau, sehingga bacaan al Qur’annya banyak yang keliru dan bisa merubah makna. Adapun orang yang sudah mau belajar, namun lisannya tetap belum bisa melafalkan Makhraj Sifat secara baik, belum bisa mentaati hukum-hukum Tajwid secara totalitas, maka hukumnya tidak apa-apa.”
C. Petikan Dhawuh Syekh Abdunnashir Mesir murid Syekh Abdurrasyid Ali Sufi dan Syekh Abdul Hakim Abdul Lathif Mesir:
1. Ketentuan atau syarat umum yang berlaku bagi orang-orang yang ingin Musyafahah Qiraat Sab’ah, juga yang dipraktikkan oleh Syekh Abdunnashir ketika Musyafahah Qiraat Sab’ah kepada Syekh Abdurrasyid dan Qiraat Asyrah kepada Syekh Abdul Hakim, adalah sebagai berikut: (1) Harus hafal Matan Syathibiyyah (2) Mengetahui kaidah-kaidah Ushul dan Farsyiyyat dalam Qiraat (3) Musyafahah Qiraat Sab’ah/’Asyrah di depan Guru.
2. Metode Musyafahah Qiraat Sab’ah Syekh Abdunnashir kepada Syekh Abdurrasyid Ali Shufi adalah sebagai berikut: (1) Musyafahah al Qur’an dengan Qiraat Sab’ah di hadapan Syekh Abdurrasyid Ali Sufi (2) Setiap kali ada kaidah Ushul atau Farsyul Huruf, Syekh Abdurrasyid selalu bertanya mengapa dibaca demikian dan apa dalilnya dari Matan Syathibiyyah? (3) Setelah khatam, Syekh Abdunnashir diminta membaca setiap riwayat (Ifradat Riwayat) seluruhnya, yakni empat belas perawi, setiap rawi dikhatamkan sendiri-sendiri, supaya bacaan tiap riwayat betul-betul mutqin.
3. Satu pelajaran penting yang bisa diambil dari Syekh Abdunnashir adalah bahwa beliau berguru kepada Syekh Abdurrasyid Ali Sufi Qatar/Somalia dan Syekh Abdul Hakim Abdul Lathif Mesir di usia dewasa, waktu dimana beliau sudah berumah tangga, punya anak dan istri. Artinya, sudah menikah dan berkeluarga bukanlah halangan bagi keberhasilan seorang Murid, jika ia sungguh-sungguh dalam mengaji.
4. Nasehat beliau kepada para penghafal al Qur’an, supaya meluangkan waktunya setiap hari untuk mendaras al Qur’an. Jika bisa demikian, maka segala urusannya akan dipermudah dan diberkahi, dan Allah SWT akan memberikan pertolongan kepadanya dalam memanajemen waktu, sehingga semua urusannya berjalan dengan baik.
5. Kisah beliau mengaji juga luar biasa. Beliau setoran Qiraat Asyrah Kubra kepada Syekh Abdul Hakim Abdul Lathif Mesir selama kurang lebih sembilan tahun. Sembilan tahun ini tidak penuh selama 12 bulan dalam setahun, tetapi hanya sekitar 2-3 bulanan dalam setahun. Sebab, Syekh Abdunnashir baru bisa Musyafahah ketika liburan, karena beliau bertugas menjadi Imam di salah satu Masjid di Qatar. Waktu liburannya tidak digunakan untuk melancong, tetapi malah diisi dengan Musyafahah kepada Syekh Abdul Hakim Abdul Lathif, salah satu ulama besar Qiraat di bumi Kinanah.
Catatan tambahan:
Tulisan ini Dicatat untuk mudah diingat-ingat kembali. Semoga melimpah berkah dan manfaat, serta bisa mengamalkan. Masih ada dua catatan Narasumber yang belum saya publish, Walid Dr KH Ahsin Sakho Muhammad dan KH Raden Abdul Hamid Abdul Qadir, semoga lain waktu bisa menuliskannya di sini.
*Gang Masjid Muslimat, Krapyak-Yogyakarta, 28 Agustus 2023