Fatwapedia.com – Istilah mahram adalah istilah yang terdapat di dalam bab fiqh nikah. Berasal dari kata haram yang artinya tidak boleh atau terlarang. Dari asal kata ini kemudian terbentuk istilah mahram, yang pengertiannya wanita atau laki-laki yang haram untuk dinikahi. Contoh hubungan mahram adalah seorang ibu yang menjadi mahram buat anaknya. Tidak boleh atau tidak mungkin terjadi hubungan pernikahan antara ibu dengan anak. Demikian juga seorang laki-laki menjadi mahram buat saudara wanitanya, dengan tidak boleh adanya perikahan sedarah.
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah memberikan definisi : “Mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena seba nasab, persusuan dan pernikahan.” Sedangkan Imam Ibnu Atsir rahimahullah berkata, ” Mahram adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti bapak, anak, saudara, paman, dan lain-lain”. definisi diatas adalah mahram dalam pengertian umum. Sedangkan mahram dimasyarakat lebih dikenal dengan istilah khusus yaitu : haram dinikahi karena masih termasuk keluarga dan dalam mazhab Syafi’i dengan tambahan tidak membatalkan wudhu bila disentuh.
Kita juga sering mendengar istilah muhrim, yang asal katanya sama-sama dari kata haram. Namun makna muhrim sebetulnya adalah orang yang sedang melakukan ibadah ihram, di mana baginya diharamkan untuk memakai parfum, mencabut rambut, membunuh binatang atau berburu dan perbuatan lain.
Sedangkan istilah mu’abbad bermakna abadi, berkesinambungan, terus-terusan atau selamanya. Dan makna ghairu mu’abbad (mu’aqqatah) adalah lawannya, yaitu untuk sementara waktu, temporal dan terbatas waktunya. Sewaktu-waktu bisa berubah keadaannya.
Mahram Mua’abadah (Selamanaya)
Mereka adalah perempuan yang sebab keharamannya memiliki sifat yang tidak akan mengalami perubahan seperti anak-anak perempuan, saudara-saudara perempuan, dan saudara-saudara perempuan dari bapak. Mereka inilah yang tidak dihalalalkan bagi laki-laki untuk menikahi mereka selamanya. Sebab-sebab mahram muaqqadah (pengharaman selamanya) ada tiga: pertama karena nasab, kedua haram mushaharah (ikatan perkawinan) dan ketiga karena penyusuan.
a. Perempuan-perempuan yang haram dinikahi karena nasab, seperti firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu milik (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa’ 22-24)
- Pokok-pokok pertalian darah yaitu bapak dan kakek-kakeknya wanita dan terus ke atas, baik (kakek-kakek itu) dari pihak bpak atau pihak ibu wanita tersebut.
- Cabang-cabang pertalian darah yaitu anak-anak lelakinya wanita dan cucu lelaki dari anak laki-lakinya wanita serta cucu lelaki dari anak perempuannya wanita dan terus ke bawah.
- Saudara-saudara lelakinya wanita, baik itu saudara sekandung atau sebapak atau seibu. Tapi sepupu laki-laki bukan termasuk mahram.
- A’mam (paman-paman)nya wanita tersebut, baik itu paman-paman yang merupakan saudara-saudara lelaki kandung bapaknya wanita atau saudara-saudara lelaki sebapak dengan bapaknya wanita atau saudara-saudara lelaki seibu dengan bapaknya wanita tersebut dan baik mereka itu adalah paman-pamannya wanita tersebut atau pamannya bapak atau ibu wanita tersebut, karena paman seorang manusia adalah paman baginya dan keturunannya dan terus ke bawah.
- Akhwal (paman-paman)nya wanita tersebut, baik itu paman-paman yang merupakan saudara-saudara lelaki kandung ibunya wanita atau saudara-saudara lelaki sebapak dengan ibunya wanita atau saudara-saudara lelaki seibu dengan ibunya wanita dan baik mereka itu adalah akhwalnya wanita tersebut atau akhwalnya bapak atau ibu wanita tersebut, karena khal seorang manusia adalah paman baginya dan keturunannya lalu terus ke bawah.
- Anak-anak lelaki dari saudara-saudara lelakinya wanita (keponakan) dan anak-anak lelaki dari keponakan (anak lelaki dari saudara lelakinya) wa nita tersebut dan anak-anak lelaki dari keponakan (anak perempuan dari sa udara lelakinya) wanita tersebut sampai terus ke bawah, baik mereka itu s ekandung atau sebapak atau seibu.
- Anak-anak lelaki dari saudara-saudara perempuannya wanita (keponakan) dan anak-anak lelaki dari keponakan (anak lelaki dari saudara perempuannya) wanita tersebut dan anak-anak lelaki dari keponakan (anak perempuan dari saudara perempuannya) wanita tersebut sampai terus ke bawah, baik mereka itu sekandung, sebapak atau seibu.
b. Perempuan-perempuan yang haram dikawin karena mushaharah, seperti dalam firman Allah SWT :
“Diharamkan ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);” (QS. An-Nisa: 23).
- Ibu istri (ibu mertua), dan tidak dipersyaratkan tahrim ini suami harus dukhul ”bercampur” lebih dahulu. Meskipun hanya sekedar akad nikah dengan puterinya, maka sang ibu menjadi haram atau menantu tersebut.
- Anak perempuan dari isteri yang sudah didukhul (dikumpul), oleh karena itu, manakala akad nikah dengan ibunya sudah dilangsungkan namun belum sempat (mengumpulinya), maka anak perempuan termasuk halal bagi mantan suami ibunya itu. Hal ini didasarkan pada firman Allah, ”Tetapi kalian belum bercampur dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian campur), maka tidak berdosa kalian menikahinya.”
- Isteri anak (menantu perempuan), ia menjadi haram dikawini hanya sekedar dilangsungkannya akad nikah.
- Isteri bapak (ibu tiri) diharamkan ats anak menikahi isteri bapak dengan sebab hanya sekedar terjadinya akad nikah dengannya.
c. Perempuan-perempuan yang haram dikawini karena sepersusuan.
Allah SWT berfirman yang artinya, ”Ibu-ibu kalian yang pernah menyusui kalian; saudara perempuan sepersusuan.” (an-Nisaa’: 23).
Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika beliau berhijab di depan pamannya sepesusuan yang bernama Aflah:
لاَ تَحْتَجِبِى مِنْهُ فَإِنَّهُ يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
Artinya: “Janganlah kamu berhijab darinya, karena sesungguhnya seseorang menjadi mahram dari sepersusuan sebagaimana mahram dari pertalian darah”. (Hadits riwayat Bukhari).
Nabi saw. Juga bersabda, ”Persusuan menjadikan haram sebagaimana yang menjadi haram karena kelahiran.” (Muttafaqun ’alaih).
Oleh karena itu, ibu sepersusuan menempati kedudukan ibu kandung, dan semua orang haram dikawini oleh anak laki-laki dari jalur ibu kandung, haram pula dinikahi bapak sepersusuan, sehingga anak yang menyusui kepada orang lain haram kawin dengan:
1. Ibu yang menyusui (nenek),
2. Ibu dari wanita yang menyusui,
3. Ibu dari suami yang istrinya menyusuinya,
4. Anak wanita dari ibu yang menyusui,
5. Saudara perempuan dari suami wanita yang menyusui,
6. Saudara wanita dari ibu yang menyusui.
Maharm Mu’aqatah (Sementara)
Mahram mu’aqqat adalah perempuan yang haram dinikahi untuk sementara waktu atau pada kondisi tertentu dan jika kondisi ini hilang maka menjadi halal, diantaranya adalah:
a. Mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara (ipar).
Tidak boleh bagi seorang pria untuk menikahi saudara perempuan dari istrinya dalam satu waktu berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika istrinya meninggal dunia atau ditalak oleh si suami, maka setelah itu ia boleh menikahi saudara perempuan dari istrinya tadi.Allah SWT berfirman,
“…..dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau……..”(An-Nisa’: 23).
b. Mengumpulkan seorang isteri dengan bibinya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibunya.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,.
لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا
“Tidak boleh seorang wanita dimadu dengan bibi (dari ayah atau ibu)-nya.” (HR. Muslim)
Namun jika istri telah dicerai atau meninggal dunia, maka laki-laki tersebut boleh menikahi bibinya.
c. Isteri orang lain dan
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki….(An-Nisa’:24)
Yaitu diharamkan bagi kalian mengawini wanita-wanita yang berstatus sebagai isteri orang lain, terkecuali wanita yang menjadi tawanan perang. Maka ia halal bagi orang yang menawannya setelah berakhir masa iddahnya meskipun ia masih menjadi isteri orang lain. Hal ini mengacu pada hadits dari Abu Sa’id bahwa Rasulullah saw. pernah mengutus pasukan negeri Authas. Lalu mereka berjumla dengan musunya, lantar mereka memeranginya.Mereka berhasil menaklukkan mereka dan menangkap sebagian di antara mereka sebagai tawanan. Sebagian dari kalangan sahabat Rasulullah saw merasa keberatan untuk mencampuri para tawanan wanita itu karena mereka berstatus isteri orang-orang musyrik.
d. Wanita yang dijatuhi talak tiga.
Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama sehingga ia kawin dengan orang lain dengan perkawinan yang sah. Allah berfirman:
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.(Al-Baqarah: 230)
e. Kawin dengan wanita pezina.
Tidak halal bagi seorang laki-laki menikahi wanita pezina, demikian juga tidak halal bagi seorang perempuan kawian dengan seorang laki-laki pezina, terkecuali masing-masing dari keduanya tampak jelas sudah melakukan taubat nashuha. Allah menegaskan:
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin. (An-Nuur: 3)
f. Menikahi perempuan kelima.
Hal ini diharamkan karena jumlah maksimal perempuan yang boleh dinikahi dalam waktu yang sama adalah empat orang.
g. Perempuan yang sedang berihram haji atau umrah. Ia boleh dinikahi setelah ibadah haji atau umrahnya selesai.
4. Perbedaan antara mahram mu’abbadah dan mahram mu’aqqatah.
Beda perempuan mahram selamanya dan mahram sementara secara hukum adalah:
a. Lelaki dan perempuan yang mahram selamanya boleh bepergian, berduaan (berkhalwat), boleh berboncengan dengannya: boleh melihat anggota badan selain pusar sampai lutut (laki-laki), boleh berjabat tangan, dst.
b. Lelaki dan perempuan yang mahram sementara hukumnya sama dengan perempuan non mahram: tidak boleh khalwat (berduaan), tidak boleh berjabat tangan, tidak boleh memandang kecuali ada keperluan, dll.