Fatwapedia.com – Termasuk bagian dari pembahasan thaharah adalah mandi. Sebagaimana wudhu sebagai alat berauci dan menjadi syarat sahnya shalat, maka mandi juga memiliki kedudukan yang sama sebagai alat berauci.
Definisi Al-Ghusl (mandi)
Yang dimaksud dengan al-ghusl dalam bahasa Arab adalah mandi.
Secara bahasa, mandi adalah mengalirkan air pada sesuatu,
Sedangkan menurut Syariat, mandi adalah mengalirkan air yang suci ke semua anggota badan dengan cara tertentu. [Kasyaf al-Qanna I1/158)]
Perkara Apa Saja yang Mewajibkan Mandi?
Hal-hal yang mewajibkan mandi menurut cara syar’i ada 7, yang mewajibkan mandi wajib antara lain adalah sebagai berikut;
Pertama, Keluarnya mani, baik dalam keadaan sadar atau tertidur.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Jika kalian junub maka mandilah”. (Al-Qur`an Surat: Al-Maidah: 6)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا
“Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati shalat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekadar melewatinya saja, sebelum kamu mandi”. (QS. An-Nisa: 43)
Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ
“Sesungguhnya air (mandi) karena keluarnya air (mani)”. [Hadits Riwayat: Muslim (343) dan Abu Daud (214)]
Maksudnya, adalah bahwa mandi dengan air wajib karena keluar mani.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu :
فَإِذَا فَضَخْتَ الْمَاءَ فَاغْتَسِلْ
“Jika engkau menumpahkan air (mani) maka mandilah.” [Hadits Riwayat: Abu Daud (206), An-Nasa’i (193), Ahmad (1/247) dan asalnya ada pada Shahihain (Al-Bukhari-Muslim)]
Dalam redaksi lain “Jika engkau membuang” dan ini tidak terjadi kecuali jika keluar dengan syahwat. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala :
خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ
“Dia diciptakan dari air (mani) yang terpancar” (QS. Ath-Thariq: 6)
Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha ia berkata:
جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ امْرَأَةُ أَبِي طَلْحَةَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ: إِنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَحْيِي مِنَ الحَقِّ، هَلْ عَلَى المَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا هِيَ احْتَلَمَتْ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «نَعَمْ إِذَا رَأَتِ المَاءَ»
“Bahwa Ummu Sulaim -istri Abu Thalhah- mendatangi Rasulullah untuk bertanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu menjelaskan kebenaran. Apakah seorang wanita wajib mandi jika ia bermimpi?” Rasulullah menjawab, “Ya, jika ia melihat ada air (mani).” [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (282) dan Muslim (313)]
Hadits diatas menunjukan bahwa keluarnya mani dengan syahwat dan memancar tidak menjadi syarat diwajibkannya mandi. Bila seseorang melihat ada mani di bajunya, maka wajib baginya mandi. Bila tidak ada, maka tidak diwajibkan baginya mandi meskipun ia bermimpi.
Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha ia berkata:
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرَّجُلِ يَجِدُ البَلَلَ وَلَا يَذْكُرُ احْتِلَامًا؟ قَالَ: «يَغْتَسِلُ»، وَعَنِ الرَّجُلِ يَرَى أَنَّهُ قَدْ احْتَلَمَ وَلَمْ يَجِدْ بَلَلًا؟ قَالَ: «لَا غُسْلَ عَلَيْهِ»
“Rasulullah ditanya tentang seseorang yang mendapati bajunya basah, namun ia tidak merasa bahwa dirinya telah bermimpi. Rasulullah menjawab: Ia wajib mandi. Dan (Rasulullah juga ditanya) tentang seseorang yang bermimpi, tapi celananya tidak basah. Rasulullah menjawab: ia tidak diwajibkan mandi.” [Hadits Riwayat: Tirmidzi (113) dan Abu Daud (233). Hadits shahih]
Catatan penting:
Hukum yang berkaitan dengan mandi wajib bagi wanita sama terhadap laki-laki.
Seseorang yang keluar maninya tanpa syahwat, baik karena sakit, udara dingin atau sejenisnya, maka diwajibkan mandi. Ini pendapat yang paling benar dari dua pendapat ulama tentang masalah ini, dan ini pendapat jumhur ulama, berbeda dengan pendapat Syafii dan Ibn Hazm.
Para ulama sepakat (Al-Majmu’ (1/139); Bidayah al-Mujtahid (1/58) dan as-Sail al-Jarar (1/104)) Bahwa jika seseorang mengeluarkan air mani dengan syahwat dan dalam keadaan sadar, atau karena bermimpi disertai dengan keluarnya mani, maka wajib bagi orang tersebut untuk mandi. Kecuali, suatu riwayat dari Ibrahim an-Nakh’i yang berpendapat bahwa tidak diwajibkan bagi wanita yang bermimpi untuk mandi. Menurut Imam Syaukani, riwayat tersebut bukanlah dari an-Nakh’I, karena jika pendapat itu benar, maka bertentangan dengan ijma’ umat Islam.
Kedua, Bertemunya dua jenis kelamin walaupun tidak mengeluarkan mani.
Jika ujung kelamin laki-laki telah masuk ke dalam kelamin wanita, maka keduanya wajib mandi, baik keduanya telah mengeluarkan mani maupun tidak.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ، ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ الغَسْلُ
“Jika seseorang telah berada diantara keempat anggota tubuh (maksudnya adalah kedua tangan dan kaki) isterinya, lalu menggaulinya, maka wajib baginya mandi (meskipun belum keluar mani)”. [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (291) dan Muslim (348), tambahannya dari riwayat Muslim]
Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata:
إِنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرَّجُلِ يُجَامِعُ أَهْلَهُ ثُمَّ يُكْسِلُ هَلْ عَلَيْهِمَا الْغُسْلُ؟ وَعَائِشَةُ جَالِسَةٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنِّي لَأَفْعَلُ ذَلِكَ، أَنَا وَهَذِهِ، ثُمَّ نَغْتَسِلُ
“Bahwa seorang shahabat bertanya kepada Rasulullah tentang suami yang menggauli istrinya namun tidak sampai mengeluarkan mani: Apakah keduanya diwajibkan mandi? Pada saat itu, Aisyah sedang duduk (disamping Rasulullah). Rasulullah kemudian menjawab: Sesungguhnya aku sendiri dan isteriku (Aisyah) pernah melakukan hal itu, kemudian kami mandi.” [Hadits Riwayat: Muslim (350)]
Imam an-Nawawi berkata bahwa tidak ada lagi perbedaan dalam masalah ini. Pada masa shahabat dan setelahnya, ada perbedaan bagi sebagian mereka. Namun, kemudian tercapai ijma’ atas permasalahan tersebut.
Penulis berkata: Bahwa perbedaan pendapat yang terjadi di masa Shahabat dalam masalah ini dikarenakan hadits dari Zaid bin Khalid:
Diriwayatkan dari Zaid bin Khalid bahwa ia bertanya kepada Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhum:
أَرَأَيْتَ إِذَا جَامَعَ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ فَلَمْ يُمْنِ؟ قَالَ: عُثْمَانُ: «يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ وَيَغْسِلُ ذَكَرَهُ» قَالَ عُثْمَانُ: سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلْتُ عَنْ ذَلِكَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ، وَالزُّبَيْرَ بْنَ العَوَّامِ، وَطَلْحَةَ بْنَ عُبَيْدِ اللَّهِ، وَأُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ – فَأَمَرُوهُ بِذَلِكَ
“Menurut engkau, apa yang harus dilakukan jika seseorang menggauli isterinya tetapi belum sampai mengeluarkan mani? Utsman menjawab: Ia harus berwudhu’ sebagaimana wudhu’ untuk shalat, serta mencuci kemaluannya. Lalu Utsman berkata: Aku mendengar hal itu dari Rasulullah , kemudian aku tanyakan lagi kepada Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan Ubay bin Ka’abradhiallahu ‘anhum. Seluruh mereka menyuruh dengan hal tersebut.” [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (292) dan Muslim (347)]
Daud Azh-zhahiri berpendapat bahwa tidak wajib mandi jika tidak keluar mani, berdasarkan hadits “Air itu disebabkan oleh air” [Hadits Riwayat: Muslim (343)] dan juga hadits dari Abu Said:
إِذَا أُعْجِلْتَ أَوْ قُحِطْتَ فَعَلَيْكَ الوُضُوءُ
“Apabila kamu tergesa-gesa atau belum keluar mani, maka wajib bagimu berwudhu’”. [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (180) dan Muslim (345)]
Namun, ada riwayat shahih yang akhirnya para Sahabat meninggalkan pendapat bahwa seseorang yang belum mengeluarkan mani ketika menggauli isterinya tidak wajib mandi. [Lihat atsar-nya di Jami’ Ahkam an-Nisa’ (1/89-90)]
Adapun pendapat Daud adz-Dzahiri, bertentangan dengan jumhur Shahabat, Fuqaha’ dari masa Tabiin dan setelahnya yang berpendapat bahwa hadits “air berasal dari air” ada di masa-masa awal Islam, kemudian di-naskh.
Imam Tirmidzi (1/185) berpendapat bahwa demikianlah riwayat dari para Shahabat, yang diantaranya adalah Ubay bin Ka’ab (Hadits dari Ubay shahih dengan jalannya, sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Abu Amir al-Atsary dalam kitab Syifa al-Ay bi Tahqiq Musnad asy-Syafii (100)) dan Rafi bin Hudaij. Dan jumhur ulama mengamalkan pendapat ini, dan jika seseorang menggauli isterinya maka wajib bagi keduanya mandi walau tidak mengeluarkan mani.
Catatan tambahan:
Para ulama sepakat bahwa jika kelamin laki-laki menyentuh kelamin wanita tanpa masuk kedalamnya, maka tidak diwajibkan mandi bagi keduanya. [Al-Mughni (1/204)] Riwayat dari Ibrahim an-Nakh’I bahwa ia ditanya tentang seseorang yang menggauli istrinya selain pada kelaminnya, lalu ia mengeluarkan mani. Ia pun menjawab bahwa laki-laki itu wajib mandi. Namun berbeda bagi wanita hanya diwajibkan mencuci apa yang mengenainya saja. [Hadits Riwayat: Abdurrazzaq (971). LIhat atsar seputar masalah tersebut dari salaf dalam Jami’ Ahkam an-Nisaa’ (1/95). Sanad shahih]
Jika seseorang menggauli isterinya, dan memasukkan kelaminnya selain ujungnya, lalu keluarlah mani ke dalam kelamin isterinya, sementara isterinya tidak mengeluarkan mani, maka tidak wajib bagi isterinya untuk mandi. Imam an-Nawawi berkata bahwa jika isteri memasukkan mani tersebut ke dalam kelaminnya atau ke dalam duburnya, lalu mani tersebut keluar, maka tidak wajib baginya untuk mandi. Ini pendapat yang benar yang telah ditetapkan oleh jumhur ulama. [Al-Majmu’ (2/151) dan al-Muhalla (2/7)]
Jika seseorang menggauli istrinya lalu isteri tersebut mandi, setelah itu keluar mani suami dari kelaminnya, maka tidak wajib baginya mandi. Lantas, wajibkah baginya berwudhu’? Ya, wajib ia berwudhu’, sebagaimana pendapat jumhur ulama. [Al-Majmu’ (2/151)] Sebab, mani tersebut meskipun suci, keluar dari salah satu dari dua jalan. Ibnu Hazm berkata bahwa isteri itu hanya diwajibkan berwudhu’ karena hadas miliknya, bukan selainnya, dan air mani yang keluar dari kelamin isteri tersebut bukanlah keluar darinya, juga bukan hadas miliknya, maka tidak wajib baginya mandi atau berwudhu’.[Al-Muhalla (2/6)]
Penulis berkata: Bahwa kaidah diwajibkannya wudhu’ karena salah satu dari dua pintu keluar adalah tidak bisa diterima, dan tempat keluarnya mani dari wanita berbeda dari tempat keluarnya air seni, sehingga benar pendapat Ibn Hazm. Kecuali, dikhawatirkan mani laki-laki bercampur dengan mani wanita, maka lebih baik bagi isteri berwudhu’. Wallahu A’lam.
Jika seseorang menggauli isterinya yang masih remaja -yang belum haid- atau laki-lakinya masih remaja dan belum baligh, maka tetap wajib bagi keduanya mandi, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad bahwa apakah Aisyah ketika digauli oleh Rasulullah tidak mandi? [Al-Mughni (1/206)]
Jika seorang suami mengajak isterinya jima’, maka tidak ada hal yang bisa menghalanginya untuk memenuhinya, meski tidak tersedia air untuk mandi. Syaikhul Islam berkata, “bahwa seorang isteri tidak bisa melarang suami dari menggaulinya. Setelah itu, jika tersedia air maka haruslah ia mandi, dan jika tidak ada maka bertayamum lalu melaksanakan shalat. [Fatawa Ibn Taimiyah (21/454)]
3-4. Haid dan Nifas
Haid dan Nifas termasuk sebab diwajibkannya mandi. Kewajiban mandi karena haid dan nifas baru bisa dilakukan setelah keduanya berhenti.
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah berkata kepada Fatimah binti jahsy:
فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ، فَدَعِي الصَّلَاةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ، فَاغْتَسِلِي وَصَلِّي
“Jika haid telah datang kepadamu, maka tinggalkanlah shalat. Dan jika telah usai haidmu, maka mandilah dan laksanakan shalat”. [Hadits Riwayat: Ibnu Majah (626), hadits shahih. Takhrij-nya akan dijelaskan dalam bab haid]
Para ulama sepakat bahwa hukum nifas dan haid adalah sama, dan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggunakan kata nifas untuk mengungkapkan haid, begitu pula sebaliknya. Adapun perincian tentang hukum haid dan nifas akan dijelaskan pada bab tersendiri.
5. Orang Kafir Yang Masuk Islam
Ada tiga pendapat ulama terkait hukum mandi bagi orang kafir yang masuk Islam:
Pertama: Ia wajib mandi secara mutlak. Ini pendapat Imam Malik, Ahmad, Abu Tsaur dan Ibnu Hazm. Dan ini pendapat yang dipilih oleh Ibn al-Mundzir dan al-Khitabi. Mereka berlandaskan dalil-dalil berikut:
Hadits Qais bin Ashim:
لما أَسْلَمَ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَغْتَسِلَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
“Bahwa ketika ia masuk Islam, Rasulullah memerintahkannya untuk mandi dengan air daun bidara”. Dan hukum asal dalam perintah adalah wajib. (Hadits Riwayat: Abu Daud (355), Tirmidzi (605), Nasai (1/109) dan lihat al-Misykat (542). Hadits shahih.)
Hadits Abu Hurairah tentang Utsamah bin Atsal yang masuk Islam, Rasulullah bersabda:
اذْهَبُوا بِهِ إِلَى حَائِطِ بَنِي فُلَانٍ، فَمُرُوهُ أَنْ يَغْتَسِلَ
“Pergilah kalian dengannya ke dinding bani Fulan, dan suruh ia mandi”. [Hadits Riwayat: Ahmad (2/304), Ibnu Khuzaimah (252). Asal Haditsnya dalam Al-Bukhari dan Muslim tanpa ada perintah untuk mandi. Lihat al-Irwa’ (128). Hadits shahih]
Kisah masuk Islamnya Usayid bin Hudhair, yang bertanya kepada Mush’ab bin Umair dan As’ad bin Zararah,
كَيْفَ تَصْنَعُونَ إذَا أَرَدْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا فِي هَذَا الدِّينِ؟ قَالَا لَهُ: تَغْتَسِلُ فَتَطَّهَّرُ وَتُطَهِّرُ ثَوْبَيْكَ، ثُمَّ تَشْهَدُ شَهَادَةَ الْحَقِّ، ثُمَّ تُصَلِّي
“Apa yang kalian lakukan bila hendak masuk Islam? Keduanya lalu menjawab: Mandilah sehingga kamu menjadi suci, dan sucikan pakaianmu, ucapkan kalimat Syahadat kemudian shalat…”. [Hadits Riwayat: ath-Thabari dalam Tarikh ath-Thabari (1/560) dan Ibnu Hisyam dalam ash-Shirah an-Nabawiyah (2/285). Sanad shahih]
Kedua: Orang kafir yang masuk Islam dianjurkan mandi, kecuali jika ia junub sebelum masuk Islam, maka ia wajib mandi. Ini adalah pendapat mazhab Syafii dan pendapat para ulama Hanafiyah. [Al-Majmu’ (1/174); al-Umm (1/38) dan Ibnu Abidin (1/167)]
Ketiga: Orang kafir yang masuk Islam tidak diwajibkan mandi sama sekali. Ini pendapat Abu Hanifah. [Al-Mabsuth dan Syarh Fath al-Qadir (1/59)]
Kedua pendapat tersebut menggunakan dalil berikut:
Firman Allah Subhanahu wata’ala :
قُل لِّلَّذِينَ كَفَرُوا إِن يَنتَهُوا يُغْفَرْ لَهُم مَّا قَدْ سَلَفَ
“Katakanlah kepada orang-orang kafir itu, jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang telah lalu” (QS. Al-Anfal: 37)
Hadits Amru bin ‘Ash radhiallahu ‘anhu
الْإِسْلَامَ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ
“Agama Islam itu menghapus apa yang sebelumnya” [Hadits Riwayat: Muslim (121)]
Ada kritik dalam menjadikan ayat dan hadits diatas sebagai dalil masalah ini. Maksud kedua dalil diatas adalah pengampunan dosa. Para ulama telah sepakat bahwa orang yang masuk Islam, jika ia memiliki hutang atau qhishash,maka hal-hal tersebut tidak terhapus karena ia telah masuk Islam. Dan karena diwajibkannya mandi bukanlah hukuman atau pembebanan atas kekafirannya, akan tetapi karena merupakan kelaziman atas salah satu syarat wajib shalat yang tidak bisa dilakukan dalam keadaan junub yang tidak hilang karena masuk Islam, maka wajiblah bagi orang kafir yang masuk Islam untuk mandi. [Al-Majmu’ (2/174)]
Banyak orang yang masuk Islam, mereka telah memiliki istri dan anak. Tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memerintahkan mereka mandi sebagai suatu ibadah yang wajib. Jika saja mandi tersebut wajib, pastilah Rasulullah akan memerintahkanya.
Pendapat ini juga perlu dicermati. Makna zahir dari dalil diatas adalah wajib karena telah disampaikan kepada sebagian Sahabat. Sedangkan anggapan bahwa tidak diwajibkan mandi bagi mereka yang belum sampai ilmu tersebut kepadanya adalah tidak benar. Sebab, pada dasarnya ia tidak mengetahui perintah tersebut, bukan karena sebaliknya yaitu bahwa mereka mengetahui hal tersebut tidak wajib. [Nail al-Authar (1/281)]
Sehingga, pendapat yang rajih adalah wajib secara mutlak mandi atas orang kafir -baik kafir murni atau murtad- yang masuk Islam. Salah satu hal yang menunjukkan bahwa mandi bagi orang kafir yang masuk Islam telah dikenal luas oleh para Sahabat, terdapat dalam kisah masuk Islamnya Ummu Abu Hurairah, bahwa ia mandi dan memakai pakaian rumahnya, [Hadits Riwayat: Muslim (2491) dan Ahmad (7911)] juga kisah masuk Islamnya Usayid bin Hudhair yang telah disebutkan sebelumnya. Wallahu A’lam.
6. Shalat Jum’at
Mandi untuk melaksanakan shalat Jumat adalah wajib hukumnya, siapa yang meninggalkannya maka ia berdosa. Ini pendapat yang paling benar dari dua pendapat ulama dalam masalah ini, dan ini pendapat Abu Hurairah, Ammar bin Yasir, Abu Said al-Khudri, Hasan, dan merupakan salah satu riwayat dari Malik, Ahmad dan Ibn Hazm. [Al-Muhalla (2/12) dan al-Aushath (4/43)] Pendapat tersebut berdasarkan atas:
Hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah bersabda:
الْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
“Mandi pada hari Jum’at adalah wajib atas setiap orang yang bermimpi (junub).” [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (879) dan Muslim (846)]
Hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah bersabda:
مَنْ جَاءَ مِنْكُمُ إِلَى يَوْم الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ
“Siapa diantara kalian yang mendatangi shalat Jumat, hendaklah ia mandi.” [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (2/6) dan Muslim (844)]
Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah bersabda:
حَقٌّ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يَغْتَسِلَ فِي كُلِّ سَبْعَةِ أَيَّامٍ يوما، يَغْسِلُ رَأْسَهُ وَجَسَدَهُ
“Menjadi kewajiban terhadap Allah bagi setiap muslim untuk mandi sekali dalam sepekan, mencuci kepala dan badannya”. [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (3/318) dan Muslim (849)]
Hadits Tsauban, bahwa Rasulullah bersabda:
حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَتَسَوَّكُ وَيَمَسُّ مِنْ طِيبٍ أَهْلِهِ إِنْ كَانَ
“Kewajiban bagi setiap muslim adalah mandi sebelum shalat jumat, bersiwak, , dan memakai parfum keluarganya jika ada”. [Hadits Riwayat: Ahmad (4/34). Lihat ash-Shahihah (1796)]
Hadits Hafshah, bahwa Rasulullah bersabda:
على كل مُحْتَلِمٍ رَوَاحً الجُمًعَةِ وعلى كل مَنْ راحَ الجمعةَ الغُسْل
“Setiap orang yang bermimpi (baligh) wajib shalat Jumat, dan setiap orang yang menghadiri shalat Jumat wajib mandi”[1]
Hadits Ibnu Umar ia berkata:
أمرنا بالاغتسال يوم الجمعة, وأن لا نتوضأ من موطأ
“Kami diperintahkan Rasullah mandi pada hari Jumat, dan tidak berwudhu’ setelah bersetubuh”.[2]
Para ulama berkata, Bahwa menganggap apa yang telah Rasulullah tegaskan sebagai hak Allah Subhanahu wata’ala dan wajib bagi setiap muslim dan orang yang telah baligh, sebagai hal yang tidak wajib dan bukan pula hak Allah dengan adanya dalil-dalil tersebut, adalah suatu hal yang mengerikan dan membuat bulu kuduk merinding![3]
Sedangkan Jumhur ulama, termasuk Ibn Masud dan Ibn Abbas berpendapat bahwa mandi shalat Jumat hukumnya mustahab, bukan wajib. Diantara dalil yang mereka gunakan adalah berikut:
Hadits Samrah bin Jundab radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ، وَمَنِ اغْتَسَلَ فَهُوَ أَفْضَلُ
“Siapa yang berwudhu’ pada hari Jumat, maka cukup baginya, dan siapa yang mandi maka itu lebih utama”.[4]
Ini hadits yang paling jelas mereka gunakan sebagai dalil. Namun hadits tersebut dalam pendapat yang rajih adalah dhaif.
Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , bahwa Raslulullah bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الوُضُوءَ، ثُمَّ أَتَى الجُمُعَةَ، فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ، غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
“Siapa yang berwudhu’, dengan sempurna, kemudian menghadiri shalat Jumat, ia mendengarkan dan tenang, maka diampuni dosanya diantara Jumat ini dan berikutnya ditambah tiga hari”[5].
Mereka berpendapat, bila hukum mandi shalat Jumat adalah wajib, tidak mungkin Rasulullah mencukupkannya -pada hadits tersebut- dengan hanya berwudhu’.
[1] Hadits Riwayat: Abu Daud (370), Nasai (3/89) dan Ahmad (3/65). Hadits Shahih
[2] Hadits Riwayat: Abu Bakar al-Marwazi dalam kitab al-Jum’ah wa Fadhluha. Sanadnya hasan.
[3] Semisalnya dalam al-Muhalla (2/12)
[4] Hadits Riwayat: Abu Daud (354), An-Nasa’i (3/94), Tirmidzi (497) dan lainnya. Hadits ini memiliki beberapa jalur yang penulis teliti dan komentari dalam kitab al-Lum’ah fi Adab wa Ahkam al-Jumu’ah. Dan Syeikh al-Albani menilai hadits ini hasan. Dhaif.
[5] Hadits Riwayat: Muslim (857), Tirmidzi (498) dan lainnya
Pendapat ini dijawab oleh al-Hafidz Ibn Hajar dalam al-Fath (2/422) bahwa tidak ada penafian mandi dalam hadits tersebut. Dalam hadits lain dalam kitab Shahih dengan kata ‘siapa yang mandi’. Sehingga, ada kemungkinan bahwa lafadz ‘berwudhu’’ yang disebutkan dalam hadits tersebut adalah bagi mereka yang telah mandi sebelum pergi shalat Jumat, lalu ia merasa perlu mengulangi wudhu’nya. [fathul bari (2/442)]
Penulis berkata: Mereka mempunyai dalil-dalil lain yang telah penulis teliti dan diskusikan satu-persatu dalam buku penulis al-Lum’ah fi Adab wa Ahkam al-Jumu’ah. Yang intinya, bahwa dalil-dalil yang digunakan para ulama yang mewajibkan mandi sebelum melaksanakan shalat Jumat lebih benar sanadnya, dan lebih kuat dalilnya, dan lebih selamat untuk diamalkan.Wallahu A’lam.
7. Kematian
Kematian termasuk salah satu sebab diwajibkannya mandi. Namun, kewajiban tersebut bukan atas orang yang meninggal melainkan atas orang-orang muslim disekitarnya. Penjelasan terperinci mengenai permasalahan ini akan dibahas dalam bab Jenazah.