Fatwapedia.com – Islam selalu menawarkan solusi atas problema kehidupan yang kita hadapi tanpa menambah beban masalah maupun menyusahkan. Termasuk tatkala mengarungi bahtera rumah tangga yang tidak berlabuh pada arah yang semestinya, islam hadir dengan membawa solusi yang tepat. Nusyuz adalah masalah yang terkadang menjadi batu sandungan menuju keluarga samara. Apa itu nusyuz dan bagaimana solusi islam dalam mengatasi masalah ini? Simak penjelasan dalam artikel ini sampai tuntas, in syaa Allah anda akan ditemukan jawabannya disini.
Definisi Nusyuz
Kata an-nusyuz secara etimologi berasal dari kata dasar an-nasyzu yang berarti tempat yang tinggi. Sedangkan secara terminologi berarti kedurhakaan istri terhadap suaminya dalam hal-hal yang Allah Subhanahu wata’ala wajibkan dia untuk menaatinya. Jadi seolah-olah istri merasa lebih tinggi dan mulia daripada suami. [Al-Mishbah al-Munir (II/605), Mughni al-Muhtaj (III/259), dan al-Mughni (VII/46)]
Hukum Nusyuz
Nusyuz yang dilakukan istri hukumnya haram karena Allah Subhanahu wata’ala telah menyiapkan hukuman kepada istri yang melakukan nusyuz jika tidak juga berhenti melakukannya meski telah dinasihati. Hukuman tersebut tidak diberikan kecuali karena mengerjakan perbuatan yang diharamkan atau meninggalkan suatu kewajiban. [Tafsir al-Qurthubi pada surat an-Nisa’:34. Lihat referensi sebelumnya] Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Perempuan-perempuan yang kalian khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” [Surat an-Nisa’:34]
Langkah-Langkah Penanggulangan Nusyuz
Jika seorang istri menampakkan tanda-tanda nusyuz, seperti selalu merasa benci jika didekati suami, membuang muka dan bermuka masam kepadanya padahal sebelumnya selalu bersikap manis dan berwajah cerah, berkata-kata ketus saat berbicara dengannya padahal sebelumnya selalu berbicara dengan lembut, atau tak bergairah ketika diajak bermesraan dan bercinta, atau istri menampakkan sikap nusyuz secara terang-terangan seperti menolak jika diajak bercinta, keluar rumah tanpa izin suami, menolak safar bersama suami, atau sikap-sikap yang sejenis itu, maka dalam kondisi seperti itu suami disyariatkan untuk menanggulanginya dengan mengikuti langkah-langkah yang terdapat dalam ayat yang mulia di atas secara berurutan. Dia harus memulai dengan:
1. Memberi Nasihat
Hendaknya suami menasihati istrinya tersebut dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, mengingatkannya untuk menaati dan tidak menyelisihi suami sebagai kewajiban yang Allah Subhanahu wata’ala wajibkan kepadanya, memotivasinya dengan pahala dari Allah Subhanahu wata’ala agar menaati suami dan menjadi istri yang saleh, patuh, dan selalu menjaga diri saat suami tidak bersamanya, dan menakut-nakutinya dengan hukuman Allah Subhanahu wata’ala jika durhaka kepada suami. Kemudian jika istri tetap dengan kelakuan jeleknya, maka suami berhak melakukan hajr (pisah ranjang) hingga memukulnya. [Al-Badai‘ (II/334), Minah al-Jalil (II/176), Mughni al-Muhtaj (III/256), dan Kasyf al-Qana‘ (V/233)]
Di antara perempuan, ada yang dengan ucapan saja sudah bisa meluruskannya kembali dari pembangkangan dan penyimpangannya. Dia akan kembali patuh jika diberi nasihat, motivasi, dan ancaman. Jika dengan cara tersebut istri sudah kembali baik, maka suami tidak boleh melakukan hajr (pisah ranjang), apalagi sampai memukulnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ
“Kemudian jika mereka kembali menaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” [Surat an-Nisa’:34]
Namun, di antara perempuan, ada juga yang tidak mempan dengan sekadar ucapan maupun nasihat. Maka jika sudah begitu keadaannya, suami boleh menempuh langkah kedua, yaitu:
2. Pisah Ranjang (al-hajr fi al-madhaji‘)
Kata al-hajr secara etimologi berasal dari kata kerja hajara. Kalimat hajartuhu berartiqatha‘tuhu (aku memutusnya). Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
“Dan pisahlah mereka di tempat tidur.” [Surat an-Nisa’:34]
Artinya, pisahlah istri di tempat tidur hingga dia kembali patuh. Suami boleh mengancamnya akan menjauhi dirinya, tidak menggaulinya dan tidur bersamanya, karena barangkali dia termasuk perempuan yang tidak tahan dipisah, sehingga jika diancam seperti itu, dia akan berhenti. Tetapi jika tidak juga berhenti, maka suami harus melakukan ancamannya itu.
Ada banyak pendapat yang dikemukakan para ulama tentang tata cara al-hajr fi al-madhaji‘(pisah ranjang) ini. Salah satu pendapat mengatakan bahwa meninggalkan dengan tidak menyetubuhinya. Pendapat yang lain mengatakan bahkan sebaiknya suami tetap menyetubuhinya tetapi dengan tidak berbicara apapun kepadanya saat melakukannya, karena persetubuhan adalah hak bersama dan hukuman yang mendidik tidak boleh dengan yang mengandung bahaya. Pendapat yang lain lagi mengatakan agar tidak menyetubuhi istri saat dia sedang di puncak hasrat dan berahinya, bukan saat suami yang sedang bergairah, karena pisah ranjang itu untuk menghukum istri, bukan suami.
Pendapat yang benar adalah suami boleh melakukan memisah istri yang nusyuzdengan cara bagaimana pun yang dia mau yang sesuai dengan kondisi istri dan yang bisa membuat istri jera dan berhenti melakukan nusyuz. [Al-Badai‘ (II/334), Minah al-Jalil (II/176), Mughni al-Muhtaj (III/259)] Hanya saja, sepatutnya suami tidak melakukan pemisahan kepada istrinya kecuali di dalam rumah mereka saja. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang terdapat di dalam hadits Mu‘awiyah bin Haidah radhiallahu ‘anhu,
… وَلاَ تَحْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ
“… dan jangan meninggalkannya kecuali di dalam rumah.” [Hasan. Hadits Riwayat: Abu Daud (2142) dan Ibnu Majah (1850). Telah disebutkan sebelum ini]
Tujuannya agar hukuman memisah dirinya tersebut tidak terlihat di hadapan orang lain. Sebab, jika suami melakukan pemisahan terhadap istrinya di hadapan orang lain, maka itu akan jadi penghinaan bagi istri sehingga justru makin memperkeruh masalah dan membuat istri makin membangkang. Menjaga adab ini akan membantu mengembalikan ketenangan bahtera rumah tangga.
Namun, jika suami memandang bahwa dengan melakukan pemisahan di luar rumah akan membawa maslahat yang sesuai syariat, maka dia boleh melakukannya sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu meninggalkan para istrinya selama sebulan di luar rumah mereka.
Demikian pula, sepatutnya suami tidak memperlihatkan pemisahan tersebut di hadapan anak-anak mereka karena itu akan menimbulkan dampak yang buruk dan merusak bagi jiwa mereka.
Batas Waktu Pisah Ranjang
Mengenai rentang waktu minimal bagi suami melakukan pemsahan, ulama memiliki dua pendapat.
Pertama: Selama Sebulan Dan Suami Boleh Menambahnya Menjadi Empat Bulan.
Ini adalah pendapat Malikiyah. Sandaran mereka adalah perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam meng-ila’ para istrinya selama sebulan, dan bahwa masa melakukanila’ adalah hingga empat bulan sebagaimana akan dijelaskan nanti.
Kedua: Suami Boleh Melakukannya Selama Yang Dia Inginkan Hingga Istri Menyadari Kesalahannya.
Ini adalah pendapat jumhur ulama, yaitu Hanafiyah, Syafi‘iyah, dan Hanabilah. Dalil mereka adalah bahwa ayat tentang hajr (memisah istri) tersebut bersifat mutlak, tidak membatasinya dengan batas waktu tertentu. Kaidah asal menyatakan bahwa sesuatu yang mutlak tetap dalam kemutlakannya hingga ada dalil yang membatasinya.
Adapun mengiaskan hajr dengan ila’, maka itu pengiasan dua hal yang berbeda (qiyas ma‘a al-fariq) karena hajr dalam kasus nusyuz adalah hukuman yang mendidik untuk istri atas pembangkangannya, sedangkan ila’ bisa dilakukan meski tanpa ada pembangkangan istri. Karena itulah, tidak disyariatkan melakukan ila’ lebih dari empat bulan karena akan menzalimi istri. Di samping itu, ila’ adalah sejenis sumpah, tidak seperti hajr.
Jika seperti itu halnya, maka tidak benar membatasi kemutlakan ayat tadi dengan batasan waktu. Inilah pendapat yang paling rajih. Wallahu a‘lam.
Catatan tambahan: Menurut Kesepakatan Para Ulama, Boleh Melakukan HajrDengan Cara Tidak Mengajak Bicara Istri Yang Nusyuz. Namun, mereka berbeda pendapat dalam masalah batas waktunya. Jumhur ulama mengatakan tidak boleh mendiamkan istri yang nusyuz lebih dari tiga hari sekalipun dia tetap saja melakukannya. [Al-Badai‘ (II/334), Mawahib al-Jalil (IV/15), Mughni al-Muhtaj (II/259), dan al-Mughni (VII/46)] Mereka berdalil dengan keumuman hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ
“Seorang muslim tidak halal mendiamkan saudaranya (sesama muslim) lebih dari tiga hari.” [Shahih. Hadits Riwayat: Al-Bukhari dan Muslim]
Ada yang mengatakan bahwa “jika dalam tiga hari hajr lewat ucapan tidak memberi pengaruh apapun, maka lebih dari itu juga tidak akan berguna. Sebab, pengaruh hajrlewat ucapan lebih sedikit pengaruhnya bagi perempuan daripada meng-hajr-nya di tempat tidur”. [Ahkam al-Mu‘asyarah az-Zaujiyah (halaman 292)]
Sebagian Syafi‘iyah berpendapat bahwa suami boleh tidak mengajak bicara istri yang melakukan nusyuz lebih dari tiga hari jika suami bermaksud memberi pelajaran dan meluruskannya dari nusyuz. Mereka berdalil dengan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang melakukan hajr lebih dari tiga hari kepada tiga orang sahabat yang tidak ikut perang Tabuk. [Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari dan Muslim dalam kisah yang panjang]
Selanjutnya, jika istrinya ternyata adalah jenis perempuan yang tidak bisa diluruskan lewat nasihat dan hajr di tempat tidur karena akhlaknya yang buruk dan wataknya yang suka membangkang, maka suami mau tidak mau harus menempuh langkah yang ketiga, yaitu:
3. Memukul
Menurut kesepakatan para ulama, suami boleh memukul istri yang nusyuz jika tidak mempan dinasihati dan pisah di tempat tidur.
Akan tetapi, dalam hal memukul suami harus memperhatikan dan menjaga hal-hal berikut ini:
a. Pukulan Tersebut Jangan Sampai Menyakiti Tubuh, seperti pukulan yang sampai mematahkan tulang atau melukai daging selayaknya pukulan orang yang dendam kesumat. Sebab, Allah Subhanahu wata’ala membatasi perintah memukul istri dalam firman-Nya “dan pukullah mereka” dengan pukulan yang tidak menyakiti tubuh. [Surat an-Nisa’:34]
Dari ‘Amru bin al-Ahwash bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اِسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْراً، فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ، لَيْسَ تَمْلِكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئاً غَيْرَ ذَلِكَ، إِلاَّ أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ، فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرْهُنَّ فِي الْمَضاجَعِ، وَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْباً غَيْرَ مُبَرِّحٍ …
“Berwasiatlah kalian kepada para wanita (istri) dengan wasiat yang baik karena sejatinya mereka adalah seperti tawanan di sisi kalian. Kalian tidak memiliki sesuatu pun dari mereka selain itu, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Jika mereka melakukan itu, maka pisahlah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti.” [Hasan li ghairihi. Hadits Riwayat: at-Tirmidzi (1163) dan Ibnu Majah (1851)]
Tujuan yang diinginkan dari memukul di sini adalah untuk memberi pelajaran, bukan untuk merusak dan melukai, maka pukulan yang diinginkan adalah pukulan yang menyadarkan jiwa dan meluruskannya, bukan yang mematahkan tulang.
b. Tidak boleh melebihi sepuluh kali pukulan berdasarkan hadits yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يُجْلَدُ فَوْقَ عَشَرَةِ أَسْوَاطٍ إِلَّا فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللهِ
“Tidak boleh dicambuk lebih dari sepuluh kali cambukan kecuali dalam pelaksanaan hukum had Allah.” [Shahih. Hadits Riwayat: Al-Bukhari]
Ini adalah pendapat Hanabilah. [Al-Mughni (VII/46) dan Syarh Muntaha al-Iradat (III/106)]
c. Tidak boleh memukul wajah dan tidak boleh mengenai bagian-bagian tubuh yang vital. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadits Mu‘awiyah bin Haidah:
… وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ
“…jangan memukul wajahnya, jangan mencaci-makinya, dan jangan memisahnya kecuali di dalam rumah.”
Sebab, perbuatan tersebut mengandung unsur penghinaan dan pelecehan kepada istri, dan juga mengandung unsur melukai dan mencederai. Jika suami sampai melakukannya, maka dia telah melakukan tindak jinayat di mana istri boleh menuntut cerai dan qishash.
d. Hendaknya suami memiliki dugaan yang kuat bahwa istri akan jera dengan pukulan itu karena pukulan adalah salah satu sarana untuk melakukan perbaikan, sementara sarana tidak disyariatkan menggunakannya ketika ada dugaan kuat bahwa tujuan yang diharapkan tidak akan tercapai dengan sarana itu. Jika suami memiliki dugaan kuat bahwa istri tidak akan jera meski dipukul, maka dia tidak boleh memukulnya. [Minah al-Jalil (II/176) dan Mughni al-Muhtaj (III/260)]
e. Berhenti memukul istri jika dia sudah mau menaati suami. Ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala:
وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
“… dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” [Surat an-Nisa’:34]
Catatan Penting: Suami tidak boleh menjadikan sarana penyelesaian ini (memukul), yang Allah Subhanahu wata’ala syariatkan untuk beberapa kondisi (seperti saat nusyuz tetap terjadi setelah pemberian nasihat dan pemisahan), sebagai kebiasaan untuk memukul istri –baik karena dia melakukan nusyuzataupun tidak–. Itu tidak boleh dilakukan karena bertentangan dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berikut.
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata, “Aku sama sekali tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memukul seorang pun pelayannya, dan tidak pula memukul seorang perempuan pun. Beliau sama sekali tidak pernah memukul sesuatu pun dengan tangannya, kecuali saat berjihad di jalan Allah.” [Shahih. Hadits Riwayat: Muslim, at-Tirmidzi di dalam al-Syama’il (331), dan an-Nasa’i di dalamal-‘Isyrah (281), serta Ibnu Majah (1984)]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mencela sifat Abu Jahm yang suka memukul perempuan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Fathimah binti Qais dalam rangka menasihatinya tentang pernikahan,
أَمَّا أَبُو الْجَهْمِ فَضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ
“Adapun Abu Jahm, maka dia itu orang yang suka memukul perempuan.”
Dalam lafazh yang lain:
فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ
“Dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari punggungnya.” [Shahih. Hadits Riwayat: Muslim (1480), an-Nasa’i (3245), dan Abu Daud (2284)]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يَجْلِدُ أَحَدُكُمْ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ، ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِي آخِرِ الْيَوْمِ
“Janganlah salah seorang dari kalian mencambuk istrinya seperti dia mencambuk budaknya lalu dia menggaulinya di malam hari.” [Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari dan Muslim]
Di sana ada hadits yang diriwayatkan secara marfu‘ yang berbunyi:
لَا يُسْأَلُ الرَّجُلُ فِيمَا ضَرَبَ امْرَأَتَهُ
“Seorang suami tidaklah ditanya mengapa dia memukul istrinya.” [Dha‘if. Hadits Riwayat: Abu Daud (2147), Ibnu Majah (1986), dan Ahmad (I/20) dari Umar secaramarfu‘] namun Hadits ini dha‘if sehingga tidak boleh dipakai berargumen. Wallahu a’lam.
Demikian, penjelasan seputar pengertian nusyuz dan solusinya menurut islam. Semoga bermanfaat.