Fatwapedia.com – Alloh menurunkan Al-Qur’an sebagai pedoman dan undang-undang bagi manusia dalam mengarungi lika-liku kehidupan. Namun untuk menjalankan ajaran-ajaran Al-Qur’an tidaklah akan berhasil kecuali dengan memahami dan menghayati Al-Qur’an terlebih dahulu serta berpedoman atas nasihat dan petunjuk yang tercakup di dalamnya. Yang demikian tidak akan tercapai tanpa penjelasan dan perincian hasil yang dikehendaki oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Itulah yang kami maksudkan dengan Ilmu Tafsir, khususnya pada masa kini dimana bakat retorika bahasa Arab telah rusak dan spesialisasi bidang ini telah lenyap binasa sampai keturunan-keturunan Arab sendini.
Tafsir adalah kunci untuk membuka gudang simpanan yang tertimbun dalam Al-Qur’an. Tanpa tafsir orang tidak akan bisa membuka gudang simpanan tersebut untuk mendapatkan mutiara dan permata yang ada di dalamnya, sekalipun orang-orang berulang kali mengucapkan lafazh Al-Qur’an dan membacanya di sepanjang pagi dan petang.
Pengertian Tafsir:
Secara bahasa kata “tafsir” merupakan mashdar dari kata :
فَسّرَ يُفَسِّرُ تَفْسِيْرًا
Wazan :
فَعَّلَ يُفَعِّلُ تَفْعِيْلًا
Tashrif bab Tsulatsi mazid fiih, dengan tambahan satu huruf yaitu memudha’afkan (menggandakan) huruf ‘ain fi’ilnya.
Secara makna, sama saja dengan bentuk Tsulatsi Mujarrod tanpa ada huruf tambahan tadh’if, yaitu :
فَسَرَ يَفْسِرُ / يَفْسُرُ فَسْرًا
Bisa dibaca dengan dua wazan, yaitu kasroh pada ‘ain fi’il mudharinya seperti ضَرَبَ atau dhammah pada ‘ain fi’il mudharinya seperti نَصَرَ.
Yaitu bermakna,
الكَشْفُ وَالْإِبَانَةُ
“Menyingkap dan menjelaskan”
Kedua fi’il di atas, antara dengan tambahan tadh’if (at-tafsir) dan dengan tidak ada tambahan tadh’if (al-fasr), maknanya sama-sama mut’adddi (membutuhkan objek), yaitu bermakna menyingkap dan menjelaskan. Jadi, tambahan tadh’if itu bukan untuk mendatangkan makna muta’addi, tetapi ia mendatangkan makna lain yaitu taktsir (membanyakkan). Artinya, al-fasr itu bermakna menyingkap dan menjelaskan cukup meskipun dengan sekali, tetapi at-tafsir bermakna menyingkap dan menjelaskan dengan banyak penyingkapan dan penjelasan. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hajib (570-646 H) dalam kitabnya Asy-Syafiyah,
وَفَعَّلَ لِلتَّكْثِيْرِ غَالِبًا
“Dan wazan “fa’’ala” untuk makna membanyakkan biasanya” (Al-Kafiyah wasy Syafiyah, hal 63).
Secara istilah, ada ragam redaksi yang dikemukakan oleh para ulama mengenai pengertian ilmu Tafsir ini.
Badruddin Az-Zarkasyi (745-794 H) dalam kitabnya Al-Burhan fii ‘Ulumil Qur’an berkata :
التَّفْسِيْرُ عِلْمٌ يُفْهَمُ بِهِ كِتَابُ اللهِ الْمُنَزَّلِ عَلَى نَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم وَبَيَانُ مَعَانِيْهِ وَاسْتِخْرَاجُ أَحْكَامِهِ وَحِكَمِهِ
“Tafsir yaitu ilmu yang dapat dipahami dengannya kitab Allah yang diturunkan kepada nabi-Nya Muhammad ﷺ, penjelasan makna-maknanya, dan menarik hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.” (A-Burhan fii ‘Ulumil Qur’an, Jilid 1, hal.104-105).
Abu Hayyan Al-Andalusi (745-754 H) dalam muqaddimah kitab tafsirnya Al-Bahrul Muhith menyebutkan :
التَّفْسِيْرُ عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ كَيْفِيَّةِ النُّطْقِ بِأَلْفَاظِ الْقُرْآنِ وَمَدْلُوْلَاتِهَا وَأَحْكَامِهَا الإِفْرَادِيَّةِ وَالتَّرْكِيْبِيَّةِ وَمَعَانِيْهَا الَّتِي تَحْمِلُ عَلَيْهَا حَالَةَ التَّرْكِيْبِ وَتَتِمَّاتٍ لِذَلِكَ
“Tafsir adalah ilmu yang dibahas di dalamnya tentang tatacara mengucapkan lafazh-lafazh Al-Qur’an dan petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik dari satu kata maupun dari susunan kalimat, dan makna-maknanya yang dikandung olehnya saat berupa susunan kalimat, dan berbagai penyempurna dari hal itu.”
Selanjutnya, Abu Hayyan menjelaskan definisi yang beliau kemukakan : “Perkataan kami “ilmu” adalah jenis yang mecakup seluruh ilmu.” Perkataan kami : “Yang dibahas di dalamnya tentang tatacara mengucapkan lafazh-lafazh Al-Qur’an” ini adalah ilmu Qiroat. Perkataan kami : “Petunjuk-petunjuknya” maksudnya petunjuk-petunjuk dari lafazh tersebut adalah ilmu Lughah (kosa kata dan matan bahasa) yang diperlukan dalam ilmu tafsir ini. Perkataan kami : “Hukum-hukumnya baik dari satu kata maupun dari susunan kalimat” adalah mencakup ilmu Tashrif, I’rob (Nahwu), ilmu Bayan dan Badi’ (ilmu Balaghah). “Makna-maknanya yang dikandung olehnya saat berupa susunan kalimat” adalah mencakup yang dikandung oleh firman-Nya yang tidak ditunjuki secara hakikatnya, tetapi secara majaz. Karena sesungguhnya suatu susunan kalimat terkadang secara zahirnya menuntut suatu makna, tetapi ada penghalang yang menghalanginya, maka dengan alasan itu ia perlu diarahkan kepada makna yang selain zahir, yaitu makna majaz. Dan perkataan kami : “Dan berbagai penyempurna dari hal itu” yaitu mencakup pengetahuan terhadap nasakh, asbabun nuzul, dan kisah yang dapat memperjelas sebagian yang disoroti oleh Al-Qur’an, dan semacamnya.” (Al-Bahrul Muhith, Jilid 1, hal.121).
Muhammad Abdul Azhim Az-Zurqani (w.1367 H) dalam kitabnya Al-‘Irfan fii Ulumil Qur’an menyebutkan :
التَّفْسِيْرُ فِي الْإِصْطِلَاحِ عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ أَحْوَالِ الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ، مِنْ حَيْثُ دِلَالَتُهُ عَلَى مُرَادِ اللهِ تَعَالَى، بِقَدْرِ الطَّاقَةِ الْبَشَرِيَّةِ
“Tafsir menurut istilah adalah ilmu yang dibahas di dalamnya tentang keadaan-keadaan Al-Qur’an Al-Karim dari segi petunjuknya terhadap maksud Allah subhanahu wa ta’ala dengan ukuran kemampuan manusia.” (Manahilul ‘Irfan fi Ulumil Qur’an, Jilid 2, hal. 6).
Syekh Muhammad Thahir bin ‘Asyur (1296-1393 H / 1879-1973 M) dalam muqaddimah tafsirnya At-Tahrir wat Tanwir menyebutkan :
وَالتَّفْسِيْرُ فِي الْإِصْطِلَاحِ نَقُوْلُ : اِسْمٌ لِلْعِلْمِ الْبَاحِثِ عَنْ بَيَانِ مَعَانِي أَلْفَاظِ الْقُرْآنِ وَمَا يُسْتَفَادُ مِنْهَا بِاخْتِصَارٍ أَوْ تَوَسُّعٍ
“Dan tafsir menurut istilah kita katakan : suatu nama untuk ilmu yang membahas tentang penjelasan makna-makna lafazh Al-Qur’an dan apa yang diambil faidahnya darinya baik secara ringkas maupun secara luas.” (At-Tahrir wat Tanwir, Jilid 1, hal. 11).
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu tafsir adalah ilmu yang membahas tentang memahami makna-makna dari lafazh-lafazh Al-Qur’an. Memahami makna-makna dari lafazh ayat Al-Qur’an itu konsekwensinya adalah menarik atau menyimpulkan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Baik berkenaan dengan hukum keyakinan (aqidah), amalan fisik (fiqih) maupun amalan hati (akhlaq). Dan segala hikmah yang bisa diambil darinya. Hikmah ini tentu sangat luas sekali, karena luasnya ilmu-ilmu yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Az-Zarkasyi. Atau seperti redaksi Ibnu Asyur yang lebih simpel yaitu segala faidah yang dapat diambil dari makna-makna tersebut.
Az-Zurqani menekankan bahwa petunjuk-petunjuk yang digali dari Al-Qur’an itu adalah dalam rangka menyingkap maksud yang diinginkan oleh Allah. Walaupun pada akhirnya, hasil yang didapatkan tidak akan melampaui usaha manusia, sehingga tidak menutup kemungkinan adanya kekurangtepatan atau perbedaan pendapat dari kalangan ulama dalam tafsir ayat yang memberi petunjuk secara zhanni. Sedangkan Ibnu Asyur menambahkan dalam definisi tentang bentuk kitab tafsir yang ditulis, yaitu ada yang ditulis secara ringkas dan ada pula yang ditulis secara meluas.
Adapun Abu Hayyan, dalam definisinya, beliau menyoroti bagaimana petunjuk-petunjuk makna itu dipahami dari lafazh-lafazh Al-Qur’an. Petunjuk makna itu bisa dipahami baik dari satu kata ataupun dari suatu susunan kalimat. Untuk memahami suatu kata, diperlukan ilmu Lughah, maksudnya ilmu tentang makna-makna kosa kata bahasa Arab, baik dari kitab-kitab mufrodat atau kamus, ataupun dari sya’ir-syair Arab. Dari satu kata ini juga diperlukan ilmu Tashrif untuk mengetahui hukum-hukum bentuk kata dan pola-polanya. Sedangkan dari suatu susunan kalimat, diperlukan ilmu I’rob (Nahwu) untuk memahami bagaimana suatu kalimat itu tersusun dengan benar, memahami setiap posisi kata dan fungsinya dalam suatu kalimat. Selain itu, diperlukan juga ilmu Balaghah, untuk menyingkap keteraturan dan keindahan pilihan kata dan susunan kalimat, dan keefektifan setiap pesan yang disampaikan untuk memberi petunjuk serta menyentuh hati dan dan setiap realitas manusia. Yang terkadang, petunjuk lafazh tersebut bisa dipahami secara zahirnya, ataupun di luar makna zahirnya, yaitu majaz. Abu Hayyan juga memasukkan ilmu Qiro’at ke dalam definisi ilmu tafsir. Hal ini tiada lain, karena pembahasan ilmu Qiro’at selalu dimunculkan dalam kitab-kitab tafsir yang bertujuan untuk mengukuhkan suatu pembacaan lafazh dan mengemukakan ragam redaksi lafazh. Dari redaksi lafazh itulah kemudian disingkap maknanya, yang adakalanya meskipun redaksinya berbeda tetapi tidak mengakibatkan perbedaan makna, dan adakalanya pula mendatangkan perbedaan makna, yang perbedaan itu satu sama lain saling melengkapi.
Maudhu (objek ilmu) :
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa objek dari ilmu tafsir adalah lafazh-lafazh Al-Qur’an dari segi makna-maknanya. Segi inilah yang membedakan dengan ilmu-ilmu Al-Qur’an lain seperti ilmu Tajwid dan Qiro’at, serta ilmu Rosm dan Dhabt. Meskipun objek ilmunya sama yaitu lafazh-lafazh Al-Qur’an, tetapi ilmu Tajwid dan Qiro’at membahas dari segi cara membacanya, sedangkan ilmu Rosm dan Dhabt membahas dari segi penulisannya.
Manfaatnya :
Apa manfaat dari mempelajari ilmu tafsir?
Tidak asing lagi, karena ilmu tafsir berperan penting dalam menyingkap makna, maksud dan faidah-faidah dari ayat-ayat Al-Qur’an, hal itu sangat membantu seseorang untuk dapat mentadaburi dan mengamalkan petunjuk-petunjuk dari Al-Qur’an.
Nisbat (hubungan dengan ilmu lain)
Hubungan ilmu tafsir dengan ilmu-ilmu lain dari ilmu-ilmu syar’i dan bahasa Arab, adalah hubungan umum-khusus dari segi tertentu (al-umum wal khusus al-wajhi). Artinya, ada pembahasan yang dibahas dalam ilmu tafsir, dibahas juga dalam ilmu lainnya, dan ada pula pembahasan yang merupakan kekhususan bagi ilmu tafsir yang tidak dibahas di dalam ilmu lain, dan ada kekhususan bagi ilmu lain yang tidak dibahas dalam ilmu tafsir. Misalnya antara tafsir dan syarah hadits. Banyak pembahasan-pembahasan dalam tafsir yang dibahas dalam ilmu syarah hadits, karena hadits itu sendiri secara umum merupakan penjelasan dari Al-Qur’an. Tetapi ada juga pembahasan yang secara khusus dibahas oleh Al-Qur’an yang tidak dibahas dalam hadits, dan sebaliknya. Begitu pula hubungannya dengan ilmu Nahwu misalnya. Ada pembahasan ilmu Nahwu yang dibahas di dalam Al-Qur’an khususnya ketika membahas i’rob dari ayat. Tetapi ada pembahasan tafsir yang tidak dibahas dalam ilmu Nahwu, dan sebaliknya ada pembahasan ilmu Nahwu yang tidak dibahas di dalam ilmu tafsir. Faidah mengetahui nisbat ini adalah agar ketika kita menemukan pembahasan tafsir yang kurang dipahami karena menguaraikan berdasarkan ilmu tertentu, maka untuk memahaminya lebih utuh kita mesti mempelajari ilmu tersebut.
Keutamaannya :
Apa keutamaan ilmu tafsir?
Keutamaan sebuah ilmu dilihat dari objek yang dibahas dalam ilmu tersebut. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa objek ilmu tafsir adalah lafazh-lafazh Al-Qur’an dari segi makna-maknanya. Maka, tidak diragukan lagi keutamaan Al-Qur’an itu sendiri sebagai Kalamullah. Terlebih kekhususannya dalam menyingkap makna-maknanya. Sehingga ilmu tafsir adalah ilmu yang dapat merealisasikan tujuan diturunkannya Al-Qur’an itu sendiri yang merupakan petunjuk bagi manusia. Bagaimana mungkin manusia dapat menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk tanpa memahami maknanya? Dan memahami makna ayat-ayat Al-Qur’an itu melalui ilmu tafsir.
Oleh : Muhammad Atim