Definisi Tarawih dan Jumlah Rakaatnya Menurut Pendapat Mayoritas

Definisi Tarawih dan Jumlah Rakaatnya Menurut Pendapat Mayoritas

Fatwapedia.com – Salah satu kekhususan ibadah di bulan ramadhan adalah shalat tarawih. Shalat sunnah yang dikerjakan di malam hari setelah shalat isya. Namun tahukah anda mengapa shalat ini dinamakan tarawih? Berikut penjelasannya.

Tarowih, dalam bahasa Arab merupakan bentuk jama’ [plural] dari kata tarwiihah [تَرْوِيْحَةٌ ج تَرَاوِيْح].

Disebut tarowih, yang bermakna sebagai “istirahat”, dimana di masa sahabat tiap-tiap 4 rakaat diselingi dengan jeda/duduk istirahat. (Ibnul Mandzur, Lisaanul ‘Arab, 2/462)

Memang ada beberapa qaul soal jumlah rokaat shalat tarowih ini. 8, 20 atau 36 rokaat. Semua sepakat bahwa yang mesti jadi beban pikiran bersama adalah mereka yang meninggalkan tarowih, dan malah mengisinya dengan maksiat serta perbuatan sia-sia. Bukan mempersoalkan jumlah rakaat Tarowih.

Mayoritas ‘ulama salaf menetapkan bahwa shalat tarowih itu 20 raka’at, dengan 3 raka’at witir. Disebutkan pula salah satu qaul madzhab Maliki, bahwasanya shalat tarowih berjumlah 36 rakaat, dengan witir 3 rakaat [39 rakaat], sebagaimana yang biasa dikerjakan oleh penduduk Madinah. (Fathul Bari, 4/253; Al Mabsuth, 2/144)

Imam Ibnu Taimiyah berkomentar soal jumlah rakaat tarowih ini :

فَرَأَى كَثِيرٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ أَنَّ ذَلِكَ هُوَ السُّنَّةُ ؛ لِأَنَّهُ أَقَامَهُ بَيْن الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَلَمْ يُنْكِرْهُ مُنْكِرٌ . وَاسْتَحَبَّ آخَرُونَ : تِسْعَةً وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً ؛ بِنَاءً عَلَى أَنَّهُ عَمَلُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ الْقَدِيمِ . وَقَالَ طَائِفَةٌ : قَدْ ثَبَتَ فِيْ الصَّحِيْحِ عَنْ عَائِشَةَ : {{أن النبي لم يكن يزيد في رمضان و لا غيره على ثلاث عشرة ركعة}}. وَاضْطَرَبَ قَومٌ في هذا الأصل.. والصواب أن ذلك جميعه حسن.

“Kebanyakan ulama berpendapat bahwa itu [20 rakaat tarowih] adalah sunnah, karena itu ditegakkan di antara kaum Muhajirin dan Anshar dan tidak ada yang mengingkarinya. Sedangkan ulama lainnya menyunnahkan 39 rakaat, lantaran itu adalah perbuatan penduduk Madinah yang telah lampau. Berkata salah satu golongan : telah pasti dari hadits ‘Aisyah, bahwa Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam tidak pernah menambah jumlah rakaat shalat malamnya, baik di Ramadhan maupun selainnya, lebih dari 13 rakaat (HR. Muslim). Akhirnya, ummat berselisih paham karena urusan ini (perbuatan para sahabat seolah olah bertentangan dengan hadits shahih).. Yang betul, bahwa semua pendapat soal itu adalah baik”. (Majmu’ Al-Fatawa, 23/112)

Berjamaahnya shalat tarowih, dengan dipimpin satu imam di masjid sebulan penuh, belum pernah dikerjakan oleh Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam. Hal tersebut baru dikerjakan pada masa ‘Umar Ibnul Khaththab radhiyallaahu ‘anhu. Jamaah lelaki di imami oleh Ubay Ibn Ka’ab dan jamaah perempuan oleh Sulayman Ibn Abi Hatsmah (Imam Ar-Romli, Nihayatul Muhtaj, 2/127)

Istidlal mengapa yang shahih bagi jumlah rakaat shalat tarowih itu 20 rakaat, ialah :

1. Nama dari Tarowih itu sendiri.

Seandainya tarowih itu delapan rakaat [tanpa witir], maka akan hanya ada dua kali istirahat [tiap selesai empat rakaat berhenti istirahat]. Ini berarti, nama dari shalat itu bukan Tarowih, tapi Tarwihatayn. Karena nya, yang betul adalah keterangan bahwa shalat di malam Ramadhan itu adalah 20 rakaat, sesuai dengan Ijma’/Kesepakatan Sahabat dan ummat islam dari berbagai madzhab, masa ke masa. (lihat, Al-Bayaan Lima Yasghalul Adzhan,1/ 317-318.)

2. Hadits ‘Aisyah yang mengatakan,

مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة

“Bahwa Rasulullah tidak pernah menambah lebih dari sebelas rakaat shalat malam, baik pada bulan Ramadhan atau selainnya.” (HR. Al-Bukhari No. 2013, 3569, Muslim No. 738)

Hadits ini menerangkan kesunnahan shalat malam pada umumnya, dan bukan soal jumlah tarowih [dimana Tarowih hanya ada di bulan Ramadhan, dan tidak ada di bulan lain].

Yang dilakukan Umar dan Para Sahabat justeru menjelaskan samarnya hadits ‘Aisyah tersebut, dimana itu juga merupakan sunnah khulafaurrasyidin. Dan wajib bagi kita untuk mengikuti sunnah khulafaurrasyidin. Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam bersabda :

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْن المَهْدِيِّيْن عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَجِذ

“Hendaknya kalian berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah Para Khalifah yang lurus. Gigit lah oleh kalian dengan gigi geraham kalian”. (HR. Ahmad [3/126], At-Tirmidzi [5/44])

Menurut Syaikh Ali Jum’ah, seandainya mereka [yang berpandangan bahwa Tarowih tidak boleh lebih dari 11 rakaat] ingin mengikuti tekstual hadits dan mengatakan, “Saya hanya mengikuti sesuai Sunnah”; hendaknya mereka kerjakan sholat malam itu di rumah, dengan sempurna sebagaimana Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam lakukan [dengan durasi yang panjang].

Adapun berjamaah dan di imami satu Imam di Masjid [dalam pelaksanaan shalat Tarowih], itu tidak pernah dikerjakan Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam. (Al-Bayaan Lima Yasghalul Adzhan, 1/319)

Inilah pendapat yang rajih [terkuat] menurut kami, bahwa shalat Tarowih itu 23 rakaat. Mengingat, hadits soal Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam shalat di malam hari tidak lebih dari 11 rakaat (HR. Bukhari) pun, faktanya bertabrakan dengan hadits yang mengatakan Nabi shalat malam tidak lebih dari 13 rakaat (HR. Muslim). Hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah Shalat Witir, dan bukan Tarowih.

Ditambah, ada atsar dari sahabat Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam, yang menerangkan bahwa ucapan ‘Aisyah soal 11 rakaat itu adalah witir.

“Ketika itu Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhuma ditanya oleh Sa’id bin Hisyam (soal jumlah witir Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam), ia berkata,

أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ بِوِتْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَالَ عَائِشَةُ فَأْتِهَا فَاسْأَلْهَا

“Maukah engkau kutunjukan orang yang paling mengetahui dari antara penghuni bumi ini pada witir Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam?”. Sa’ad bertanya “ Siapakah ?” Ibnu Abbas menjawab, ‘Aisyah, maka datanglah padanya serta bertanyalah”. (Shahih Muslim, 1/298).

Yang ditanya adalah shalat witir, dan bukan soal shalat Tarowih.

Maka jawaban ‘Aisyah,

“…Tidaklah Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam menambah pada bulan Ramadhan, (juga) pada bulan yang lainnya, dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan engkau jangan bertanya tentang baik dan panjangnya, beliau shalat (lagi) empat rakaat, dan jangan (pula) engkau bertanya tentang baik dan panjangnya, kemudian beliau shalat tiga rakaat. Aisyah berkata, ‘Aku bertanya : “Wahai Rasulullah ! Apakah engkau tidur sebelum witir ?”. Beliau menjawab, ’Hai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, tapi hatiku tidak tidur.” (HR. Bukhari No. 2.013)

Jelaslah, bahwa yang terkuat adalah 23 rakaat, dan bukan 11 rakaat. 11 rakaat adalah jumlah witir, dan dalil Sunnah menunjukkan demikian. Wallaahu a’lam.

Al Ustadz Muhammad Rivaldy Abdullah

Leave a Comment