Fikroh.com – Beberapa orang menganggap bahwa ingkarul mungkar dalam bentuk demontrasi yang diatur oleh hukum suatu negri sebagai bentuk ketidaktaatan pada penguasa. Seketika saja pelakunya divonis khawarij, keluar dari manhaj salaf, bahkan ada yang berfatwa akan kehalalan darah mereka. Tumpahkan saja darahnya untuk mengurangi penduduk Jakarta, begitu katanya.
Demikianlah fatwa prematur yang mereka klaim sebagai representasi dari manhaj salaf itu. Fatwa tersebut sangat jelas dibangun atas kejahilan terhadap maqashid asy-Syari’ah dan di dominasi oleh hawa nafsu agar orang hanya mengikuti kelompoknya.
Atas dasar kejahilan ini, sebagian pengikut fatwa ini sampai berani membuat kedustaan. Katanya, “Orang-orang yang melakukan ingkarul mungkar lewat cara demontrasi diajar untuk menginjak-injak harga diri penguasa tanpa tabayyun”.
Bagai gayung bersambut, ucapan yang keluar dari lisan yang telah dirasuki syaithan ini pun disebarkan di media sosial. Akhirnya, kedustaan tak terbendung, tersebar luas di media sosial.
Bejat memang, hanya saja sebagian orang tertipu oleh slogan kembali pada al-Qur’an dan Sunnah yang mereka klaim. Sehingga, orang-orang yang kurang menganalisa dengan baik, berpikiran pendek, minim bahan bacaan, mengira apa yang mereka ucapkan sebagai kebenaran. Kenyataannya tidaklah demikian.
Hal itu karena, contoh ingkarul mungkar dilakukan dalam beberapa bentuk oleh para salaf. Tidak hanya dengan satu cara yang mereka klaim, yaitu menasehatinya secara diam-diam.
Tidak hanya itu, orang-orang yang keluar dari ketaatan terhadap penguasa pun tidak dihukumi dengan satu hukum, yaitu bahwa pelakunya divonis khawarij, tidak!
Para ulama mengklasifikasikan orang-orang yang keluar dari ketaatan terhadap penguasa terbagi dalam beberapa golongan. Diantara ulama ada yang membagi dalam dua golongan saja, yaitu khawarij dan bughot. Semua memiliki pengertian dan syarat-syarat masing-masing.
Namun, dari kedua golongan itu, orang-orang atau kelompok yang menyerukan amar makruf nahi mungkar, mengajak pada keadilan bukanlah bughot!!
Syaikh Amanullah Muhammad Shiddiq dalam kitabnya yang berjudul “Ahkamul Bughot Fi asy-Syaria’ati al-Islamiyah” ketika membahas perkara bughot berkata:
من دعا إلى أمر بمعروف أو نهي عن منكر أو إظهار القرآن والسنن والحكم بالعدل لا يعتبر بغيا
“Barangsiapa yang mengajak pada perkara makruf atau melarang kemungkaran, atau mengizharkan al-Qur’an dan Sunnah dan berhukum secara adil, maka tidak disebut sebagai bughot”. (Ahkamul Bughot Fi asy-Syari’ati al-Islamiyah: 45)
Itulah mengapa, tidak ada satupun ulama yang mengatakan kepada Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma cucu Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam sebagai bughot apalagi sampai dituduh khwarij.
Bahkan, peristiwa Karbala yang menyebabkan wafatnya beliau, para ulama bersepakat akan kesyahidan beliau. Inilah sebab Imam Ibnu al-Jauzi rahimahullah mengategorikan keluarnya Husain dari ketaatan imam saat itu (Yazid) sebagai Khuruj yang diperbolehkan.
Banyak contoh kasus para salaf yang mengingkari kemungkaran penguasa. Ada yang secara terang-terangan, ada yang sembunyi-sembunyi. Dr. Ibrahim bin Sholih bin Abdul Aziz al-Ajlan hafizhahullah dalam kitabnya “al-Muhadditsun Wa as-Siyasah (Ahli Hadits dan Perpolitikan” mengumpulkan sejumlah contoh berbagai cara ingkar al-mungkar yang dilakukan para salaf, hingga beliau berkata:
فهذه المواقف الكثيرة في الإنكار العلني السلطة لم تكن شيئا مستغربا أو مستنكرا ولم تعد من قبيل إثارة الفتنة . بل كانت تفهم أن دافعها الغيرة على الدين والقيام بالحق وهو الأمر المطلوب شرعا ولو لم يقوموا بذلك لكانوا محل تهمة عند الناس فالقول ببدعية الإنكار العلني أو أنها من منهج الخوارج مجانب لأفعال السلف السابقة وإلا لازم منه تبديع أئمة السلف ولم أقف على أحد من أهل التراجم نقدهم فضلا عن تبديعهم بل كانت مواقفهم تذكر في سياق الاحتفاء والمخاطرة بالنفس لأجل قول الحق
“Inilah beberapa contoh yang sangat banyak pada perkara ingkarul mungkar pada penguasa yang dilakukan secara terang-terangan. Ia bukanlah merupakan seusuatu yang asing atau sesuatu diingkari. Perbuatan ini pula tidak dianggap sebagai penyebab datangnya fitnah. Justru, dipahami bahwa motif dari hal ini adalah rasa ghirah terhadap agama dan menegakkan kebenaran. Ia merupakan perkara yang disyariatkan. Andainya mereka tidak melakukannya, niscaya mereka akan menjadi bahan fitnah pada manusia. Oelh karenanya, pernyataan bahwa ingkarul mungkar secara terang-terangan pada penguasa adalah perbuatan Bid’ah atau bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan khawarij, merupakan pernyataan yang jauh dari perkataan para salaf. Sebab, jika pernyataan bahwa ingkarul mungkar secara terang-terangan merupakan manhaj khawarij dan bukan merupakan pendapat para salaf, niscaya akan banyak imam-imam salaf yang divonis sebagai ahli Bid’ah. Namun saya tidak mendapatkan dari satu ahli tarajum (biografi) yang mengkritisi mereka, apalagi smpai memvonisnya sebagai ahli Bid’ah. Justru kedudukan mereka disebutkan dalam bentuk pemuliaan dan dianggap sebagai pahlawan yang rela mengambil resiko membahayakan diri sendiri demi menyuarakan kebenaran”. (al-Muhadditsun wa as-Siyasah: 80)
Beliau juga berkata,
فأفعال السلف في نقد السلطة من حيث الإعلان والإسرار والشدة واللين من مسائل الإجتهاد التي لا ينكر فيها
“Oleh karenanya, perbuatan-perbuatan para salaf yang mengkritik penguasa, secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi atau secara keras atau secara lembut merupakan perkara ijtihad dari mereka yang tidak diingkari”. (al-Muhadditsun wa as-Siyasah: 81)
Jika kita mengamati dengan baik, maka demonstrasi di Indonesia yang dilakukan oleh para ulama dan dua’at dalam upaya amar ma’ruf nahi mungkar dapat kita simpulkan bahwa perbuatan itu bukanlah perbuatan yang menyebabkan pelakunya dapat divonis sebagai bughot apalagi khawarij.
Hal ini karena beberapa hal:
- Demonstrasi damai di Indonesia di atur dalam hukum yang berdasar pada UU RI NO 9 Tahun 1998 tentang “Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum”. Negara Indonesia menjamin kebebasan menyampaikan pendapat. Bahkan sebagian penguasa meminta kepada rakyatnya untuk mendemo dirinya jika ia memiliki kekeliruan.
- Negara menganggap demonstrasi sebagi hak warga negara dan menjamin keamanan para demonstran yang berkeinginan menyalurkan pendapatnya melalui demonstrasi. Hal ini bisa dilihat dalam Bab V pasal 18 UU RI NO 9 Tahun 1998 yang berbunyi, “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun.
- Berdasarkan poin nomor 2, maka sangat jelas kebebasan yang diberikan oleh penguasa kepada rakyatnya dalam upaya mereka menyalurkan pendapatnya. Sehingga hal itu dapat digunakan untuk melakukan amar makruf nahi mungkar.
- Suatu gerakan yang dilakukan oleh banyak orang untuk menuntut keadilan juga pernah dilakukan di masa salaf. Sebagaimana kisah yang terjadi setelah Ali di baiat, maka Thalhah dan Zubair meminta izin kepada Ali untuk pergi ke Makkah. Ali mengizinkan mereka, lalu mereka berdua pergi dan bertemu dengan Aisyah di sana, sementara kabar tentang kematian Utsman telah sampai padanya. Mereka berkumpul di Mekkah dan berazam untuk menuntut hukum terhadap pembunuh Utsman. Ringkasnya, jumlah manusia yang keluar untuk menuntut pembunuh Utsman pada saat itu mncapai ribuan orang. Dari peristiwa ini pun para sahabat tidak digelari sebagai bughot ataupun khawarij.
- Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan Syaikh Zainuddin al-Fariqi rahimahullah bersama 500 orang pernah menuntut penghina Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam agar dijatuhkan hukuman padanya.
- Dari semua poin-poin ini menjadi jelas bahwa demonstrasi sama sekali tidak memiliki kaitan dengan pelanggaran terhadap manhaj salaf atau bentuk pembangkangan pada penguasa. Maka dari itu, para ulama muta’akhkhirin pun berbeda pendapat tentangnya, dan kebanyakannya di kembalikan pada maslahat dan mudharatnya.
Dari semua penjelasan ini, maka demonstrasi damai sebagai bentuk ingkar al-mungkar tidak menyelisihi manhaj salaf dan bukan merupakan bentuk ketidak taatan pada penguasa. Wallahu a’lam bishshowab.
Oleh: Abu Ukkasyah al-Munawy