Fatwapedia.com – Apakah anda pernah membaca kisah perjalanan hidup manusia yang satu ini? Para sejarawan telah banyak menuangkan tentang kisah hidupnya yang berlumuran darah kaum muslimin dari generasi sahabat hingga tabiin. Dialah Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi. Sebuah nama yang telah mengajarkan kita akan arti dan hakikat dari sebuah kebenaran dan konsekuensi para penggenggamnya.
Diantara deretan nama yang telah menjadi korban kekejaman Hajjaj adalah Said Bin Jubair radhiyallahu ‘anhu, Membaca kisah akhir hidup tabi’in agung ini membuat perasaan ana trenyuh, ta’jub karena dialog menjelang kematiannya yang jenius, sedih karena karena cara kematiannya yang mengharukan, salut dan segan karena keberanian dan keteguhannya dalam memegang kebenaran.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah telah berkata mengenai tokoh ini;
“Telah terbunuh Sa’id bin Jubair, dan tiada seorangpun di muka bumi ini melainkan ia membutuhkan ilmunya“.
Sebelum memasuki dialog di akhir kehidupan beliau yang mengharukan, ada baiknya kalau kita mengetahui latar belakang beliau dan penyebab timbulnya fitnah yang menyebabkan kematian ribuan orang termasuk beliau.
Badannya kekar, sempurna bentuk tubuhnya, lincah gerak-geriknya, cerdas otaknya, jenius akalnya, dan antusias terhadap kebajikan & menjauhi dosa. Pemuda dari Habsyi ini sadar betul bahwa ilmu adalah jalan yang bisa mengantarkan kepada Allah Ta’ala, dan takwa adalah jalan yang akan menuntun ke jannah. Oleh karena itu dijadikannya takwa di sisi kanannya dan ilmu di sisi kirinya.
Dengan kedua hal tersebut beliau mengarungi samudra kehidupan tanpa berleha-leha dan berpangku tangan. Sejak masih muda, beliau dikenal sebagai pemuda yang akrab dengan buku-buku (ilmu). Sahabat-sahabat senior radhiyallahu ‘anhum seperti Abu Sa’id al-Khudri, Adi bin Hatim ath-Thayy, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah ad-Dausi, Abdullah bin Umar, maupun ummul mukminin A’isyah adalah guru-guru beliau. Tapi Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu adalah guru utama beliau.
Dengan setia Sa’id bin Jubair radhiyallahu ‘anhu mengikuti Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, yang pada gilirannya ia menjadi seorang ‘alim yang dikenal. Selanjutnya, beliau mengembara dan berkeliling di negara-negara muslimin untuk mencari ilmu. Setelah merasa cukup, beliau memutuskan Kufah (Baghdad – Iraq) sebagai tempat tinggalnya dan kelak beliau menjadi guru dan imam di kota itu.
Kota Kufah waktu itu di bawah kepemimpinan gubernur Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi yang memegang kekuasaan dengan penuh kesombongan. Dia telah membunuh shahabat Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu, menumpas gerakkannya dan menyebarkan rasa takut di seluruh negeri kekuasaannya. Hingga para penduduk merasa ngeri dan takut akan kekejamannya.
Suatu ketika takdir Allah Ta’ala menghendaki terjadinya perselisihan antara Hajjaj dengan panglima perangnya, Abdurrahman bin Asy’ats. Perang argumen akhirnya berkembang menjadi fitnah besar (peperangan) yang menelan banyak korban, meninggalkan bekas luka yang dalam di hati kaum muslimin.
Bersamaan perang yang masih berkecamuk, banyak ahli dzimmah dari pedesaan yang memeluk Islam untuk melepaskan diri dari kewajiban membayar jizyah dan mereka berpindah ke kota-kota. Hal ini menyebabkan semakin menipisnya pendapatan negara. Kemudian Hajjaj memerintahkan untuk mengembalikan semuanya ke daerahnya masing-masing dengan paksa. Padahal diantara mereka banyak yang telah lama tinggal di kota. Sehingga banyak diantara mereka yang kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian. Para wanita, anak-anak dan orang tua banyak yang menangis dan minta tolong sambil berseru; “Wahai umat Muhammad…. Wahai umat Muhammad…”.
Kemudian keluarlah para ulama dan ahli fikih Bashrah untuk menolong dan mengusahakan agar perintah tersebut dibatalkan, namun hasilnya nihil. Kekecewaan para ulama itu dimanfaatkan oleh Abdurrahman bin Asy’ats untuk mendukung perjuangannya. Kemudian beberapa tokoh tabi’in dan pemuka Islam turun tangan, diantaranya termasuk Sa’id bin Jubair, Abdurrahman bin Laila, Imam As-Sya’bi, Abul Bukhtari dan lain-lain.
Mulanya kemenangan berpihak di pasukan Ibnu Asy’ats, tapi kemudian sedikit demi sedikit keseimbangan beralih. Sampai akhirnya kekuatan Ibnu Asy’ats dapat dihancurkan. Ibnu Asy’at melarikan diri dan pasukannya menyerah kepada Hajjaj. Setelah itu Hajjaj menyeru kepada pemberontak agar memperbaharui bai’atnya. Diantara mereka ada yang mentaati dan sebagian kecil menghilang, termasuk Sa’id bin Jubair radhiyallahu ‘anhu.
Orang-orang yang menyerah itu datang untuk berbai’at, namun dikejutkan oleh kejadian yang tidak terduga. Hajjaj berkata kepada mereka: “Apakah engkau mengaku kafir karena telah membatalkan bai’atmu kepada amirmu?”. Jika mereka menjawab “Ya”, maka diterima bai’atnya yang baru dan dibebaskan. Namun jika menjawab “Tidak”, maka akan dipenggal lehernya. Sebagian mereka yang lemah, tunduk dan terpaksa mengaku kafir demi keselamatan dirinya, sedangkan sebagian lagi tetap teguh pendirian, tetapi mereka harus membayar dengan lehernya.
Dalam kejadian itu ada orang tua dari suku Khat’am. Ketika terjadi huru-hara antara dua kubu, dia tidak berpihak kepada siapapun dan tinggal menjauh di belakang sungai Eufrat. Kemudian dia digiring menghadap Hajjaj, lalu terjadilah dialog.
Orang Tua: “Semenjak meletus pertempuran, aku mengasingkan diri ke tempat yang jauh sambil menunggu perang usai. Setelah anda menang dan perang usai, maka aku datang kemari untuk melakukan bai’at”.
Hajjaj: “Celakalah engkau!. Engkau tinggal diam menjadi penonton dan tidak ikut membantu pemimpinmu, sekarang apakah engkau mengaku bahwa dirimu telah kafir?!”.
Orang Tua: “Terkutuklah aku jika selama 80 tahun ini mengabdi kepada Allah Ta’ala, lalu mengaku sebagai kafir”.
Hajjaj: “Jika demikian aku akan membunuhmu”.
Orang Tua: “Jika engkau membunuhku…, demi Allah, yang tersisa dari usiaku selama ini hanyalah seperti waktu kesabaran seekor keledai yang kehausan. Pagi hari dia minum dan sorenya mati. Aku memang sudah menantikan kematian itu siang dan malam hari. Oleh karena itu, lakukanlah semaumu!”.
Akhirnya orang tua itupun dipenggal lehernya.
Kemudian giliran Hajjaj memanggil Kamil bin Ziyad An-Nukhai dihadapkan dan ditanya;
Hajjaj: “Apakah engkau mengakui dirimu telah kafir?”
Kamil: “Tidak. Demi Allah, aku tidak mengakuinya”.
Hajjaj: “Bila demikian, aku akan membunuhmu”.
Kamil: “Silahkan saja kalau engkau mau melakukannya. Kelak kita akan bertemu disisi Allah, dan setiap pembunuhan ada perhitungannya”.
Hajjaj: “Ketika itu, kesalahan berada di pihakmu”.
Kamil: “Benar, bila engkau yang menjadi hakimnya di hari kiamat itu”.
Hajjaj: “Bunuh dia!”.
Lalu beliaupun dibunuh. Innalillahi wa innaa ilaihi rooji’un.
Selanjutnya dihadapkan pula seorang (Fulan) yang sudah lama menjadi buronan Hajjaj, karena dianggap menghinanya.
Hajjaj: “Kurasa orang yang dihadapanku ini mustahil mengakui dirinya kafir”.
Fulan: “Janganlah tuan memojokkan aku dulu dan jangan berdusta pula tentang diriku. Sesungguhnya akulah orang yang paling kafir di muka bumi ini, lebih kafir daripada Fir’aun yang semena-mena itu”.
Pecundang loe…!!!
Akhirnya Hajjaj terpaksa membebaskannya, padahal ia sudah gatal untuk membunuhnya. Ketipu loe, Hajjaj…
Sa’id bin Jubair radhiyallahu ‘anhu merasa yakin kalau dirinya tertangkap, maka akan menghadapi dua pilihan seperti yang lain juga. Dua pilihan, yang paling manis dari keduanyapun begitu pahit. Oleh sebab itu, beliau memilih keluar dari Iraq, menyembunyikan diri dari masyarakat. Maka berkelilinglah beliau di bumi Allah dengan sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui oleh Hajjaj dan kaki tangannya, hingga akhirnya tinggal di sebuah desa di dekat Makkah. Selama sepuluh tahun beliau tinggal disana, waktu yang cukup lama untuk menghilangkan dendam dan kedengkian Hajjaj.
Akan tetapi ada perkembangan situasi yang tak terduga. Seorang amir baru didatangkan ke Makkah, yaitu Khalid bin Abdullah Al-Qasri yang juga berasal dari bani Umayah (masih mempunyai garis keturunan dengan Hajjaj). Para shahabat beliau merasa gelisah dan khawatir karena tahu kekejaman wali baru itu. Mereka menduga wali yang baru tersebut pasti akan menangkap beliau. Diantara mereka segera menemui beliau dan memintanya untuk pergi meninggalkan Makkah. Namun beliau menjawab; “Demi Allah, sudah lama aku bersembunyi, sampai malu rasanya kepada Allah Ta’ala. Aku memutuskan untuk tinggal disini, pasrah dengan kehendak Allah Ta’ala”.
Dugaan shahabat beliau tentang kekejaman Khalid ternyata tidak meleset. Begitu mengetahui tempat persembunyian Sa’id bin Jubair, dia langsung mengirimkan pasukannya untuk menangkap beliau lalu mengirimkannya kepada Hajjaj. Tentara Khalid mengepung rumah syeikh tersebut lalu menangkap dan mengikatnya di depan murid-murid dan para shahabatnya. Beliau menghadapi itu dengan tenang, beliau menoleh kepada para shahabatnya dan berkata;
“Saya merasa akan terbunuh di tangan penguasa yang zhalim itu. Sesungguhnya pada suatu malam aku pernah melakukan ibadah bersama dua orang teman, kami merasakan manisnya ibadah dan berdoa kepada Allah Ta’ala, lalu kami bertiga memohon syahadah (mati syahid). Kedua orang kawan tersebut sudah mendapatkannya, tinggal aku yang masih menunggu”.
Belum lagi beliau selesai bicara, seoran gadis kecil muncul dan demi melihat beliau diikat dan diseret oleh para prajurit, dia langsung merangkul Sa’id bin Jubair sambil menangis. Beliau menghiburnya dengan lembut dan berkata;
“Katakanlah kepada ibumu wahai puteriku, kita akan bertemu nanti di jannah, insyaAllah”.
Bocah itu pun lalu pergi.
Sampailah utusan yang membawa Sa’id bin Jubair, -seorang imam yang zahid, ‘abid dan berbakti itu di kota Wasit. Kemudian beliau dihadapkan kepada Hajjaj. Setelah beliau berada di hadapan Hajjaj, dengan pandangan penuh kebencian Hajjaj bertanya;
Hajjaj: “Siapa namamu?”
Sa’id: “Sa’id (bahagia) bin Jubair (perkasa)”.
Hajjaj: “Yang benar engkau adalah Syaqi (celaka) bin Kasir (lumpuh)”.
Sa’id: “Ibuku lebih mengetahui namaku daripada engkau”.
Hajjaj: “Bagaimana pendapatmu tentang Muhammad?”
Sa’id: “Apakah yang kau maksud adalah Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”
Hajjaj: “Benar”.
Sa’id: “Manusia utama diantara keturunan Adam ‘alaihissalam dan nabi yang terpilih. Yang terbaik diantara manusia yang hidup dan yang paling mulia di antara yang telah mati. Beliau telah mengemban risalah dan menyampaikan amanat, beliau telah menunaikan nasehat bagi Allah Ta’ala, kitab-Nya, bagi seluruh kaum muslimin secara umum dan khusus”.
Hajjaj: “Bagaimana pendapatmu tentang Abu Bakar?”
Sa’id: “Ash-shidiq khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau wafat dengan terpuji dan hidup dengan bahagia. Beliau mengambil tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa merubah ataupun mengganti sedikitpun darinya”.
Hajjaj: “Bagaimana pendapatmu tentang Umar?”
Sa’id: “Beliau adalah al-Faruq, dengannya Allah Ta’ala membedakan antara yang haq dan yang bathil. Beliau adalah manusia pilihan Allah dan rasul-Nya, beliau melaksanakan dan mengikuti jejak kedua pendahulunya, maka dia hidup terpuji dan mati sebagai syuhada”.
Hajjaj: “Bagaimana dengan Utsman?”
Sa’id: “Beliau yang membekali pasukan Usrah dan meringankan beban kaum muslimin dengan membeli sumur ‘Ruumah’ dan membeli rumah untuk dirinya di jannah. Beliau adalah menantu Rasulullah atas dua orang puteri beliau dan dinikahkan karena wahyu dari langit. Lalu beliau terbunuh di tangan orang zhalim”.
Hajjaj: “Bagaimana dengan Ali?”
Sa’id: “Beilau adalah putera paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pemda pertama yang memeluk Islam. Beliau adalah suami Fatimah Az-Zahra puteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ayah dari Hasan dan Husein yang merupakan dua pemimpin pemuda ahli jannah”.
Hajjaj: “Khalifah yang mana dari Bani Umayah yang paling kau sukai?”
Sa’id: “Yang paling diridhai Pencipta (Rabb) mereka”.
Hajjaj: “Manakah yang paling diridhai Rabb-nya?”.
Sa’id: “Ilmu tentang itu hanyalah diketahui oleh Yang Maha Mengetahui yang zhahir dan yang tersembunyi”.
Hajjaj: “Bagaimana pendapatmu tentang diriku?”.
Sa’id: “Engkau lebih tahu tentang dirimu sendiri”.
Hajjaj: “Aku ingin mendengarkan pendapatmu”.
Sa’id: “Itu akan menyakitkan dan menjengkelkanmu”.
Hajjaj: “Aku harus tahu dan mendengarnya darimu”.
Sa’id: “Yang kuketahui, engkau telah melanggar Kitabullah, engkau mengutamakan hal-hal yang kelihatan hebat padahal justru membawamu ke arah kehancuran dan menjerumuskanmu ke neraka”.
Hajjaj: “Kalau begitu, demi Allah aku akan membunuhmu”.
Sa’id: “Bila demikian, maka engkau merusak duniaku dan aku merusak akhiratmu”.
Hajjaj: “Pilihlah bagi dirimu cara-cara kematian yang kau sukai”.
Sa’id: “Pilihlah sendiri wahai Hajjaj. Demi Allah, untuk setiap cara yang kau lakukan, Allah akan membalasmu dengan cara yang setimpal di akhirat nanti”.
Hajjaj: “Tidakkah engkau menginginkan ampunanku?”.
Sa’id: “Ampunan itu hanyalah dari Allah Ta’ala, sedangkan engkau tak punya ampunan dan alasan lagi di hadapan-Nya”.
Memuncaklah kemarahan Hajjaj. Kepada algojonya diperintahkan;
Hajjaj: “Siapkan pedang dan alasnya”.
Sa’id tersenyum mendengarnya, sehingga bertanyalah Hajjaj,
Hajjaj: “Mengapa engkau tersenyum?”
Sa’id: “Aku takjub atas kecongkakanmu terhadap Allah Ta’ala dan kelapangan Allah terhadapmu”.
Hajjaj: “Bunuh dia sekarang!!”.
Sa’id: (menghadap kiblat sambil membaca firman Allah Ta’ala surat Al-An’am ayat 79, yang artinya);
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah“. (Al-An’am: 79).
Hajjaj: “Palingkan ia dari kiblat!”.
Sa’id: (membaca surat Al-Baqarah ayat 115);
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah“.
Hajjaj: “Sungkurkan dia ke tanah!”
Sa’id: (membaca surat Thaha ayat 55);
“Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain“.
Hajjaj: “Sembelihlah musuh Allah ini!. Aku belum pernah menjumpai orang yang suka berdalih dengan ayat-ayat Allah seperti dia”.
Sa’id: (mengangkat kedua tangannya sambil berdoa;) “Ya Allah…, janganlah lagi Engkau beri kesempatan ia melakukannya atas orang lain setelah aku”.
Tak lebih dari lima belas hari setelah wafatnya Sa’id bin Jubair radhiyallahu ‘anhu, mendadak Hajjaj terserang demam. Baca artikel lainnya dari www.fatwapedia.com, Kian hari suhu tubuhnya makin meningkat dan bertambah parah rasa sakitnya hingga keadaannya silih berganti antara pingsan dan siuman. Tidurnya tak nyenyak lagi, sebentar-sebentar terbangun dengan ketakutan dan menggigau; “Ini Sa’id bin Jubair hendak menerkamku!. Ini Sa’id bin Jubair berkata; “Mengapa engkau membunuhku?”. Dia menangis tersedu-sedu menyesali diri; “Apa yang telah aku perbuat atas Sa’id bin Jubair?. Kembalikan Sa’id bin Jubair kepadaku!”.
Kondisi itu terus berlangsung hingga dia meninggal. Setelah kematian Hajjaj, seorang kawannya pernah memimpikannya. Dalam mimpinya itu dia bertanya kepada Hajjaj; “Apa yang Allah Shubhanahu wa Ta’ala perbuat terhadapmu setelah membunuh orang-orang itu, wahai Hajjaj?”. Dia menjawab; “Aku disiksa dengan siksaan yang setimpal atas setiap orang tersebut, tapi untuk kematian Sa’id bin Jubair aku disiksa 70 kali lipat”.
Sumber: Shuwaru Min Hayati At-Tabi’in atau “Jejak Para Tabi’in”, -edisi Indonesianya-, hal. 185 – 197, Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya.