Fatwapedia.com – Syariat kita yang mulia ini senantiasa menanamkan tauhid agar kita semuanya hanya bergantung kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaa. Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa Salaam sendiri telah mendidik para sahabatnya dengan keyakinan ini sejak dini, misalnya tatkala Beliau memberikan wejangan kepada Abdullah bin Abbas Rodhiyallahu ‘anhu yang pada waktu itu masih remaja :
إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ
“Jika engkau memohon (meminta), mohonlah kepada Allah” (HR. Tirmidzi, dikatakan hasan shahih oleh Imam Tirmidzi, dishahihkan oleh al-Albani dan Ahmad Syakir).
Bahkan dalam semua kebutuhan kita hendaknya memohonnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaa :
لِيَسْأَلْ أَحَدُكُمْ رَبَّهُ حَاجَتَهُ كُلَّهَا حَتَّى يَسْأَلَ شِسْعَ نَعْلِهِ إِذَا انْقَطَعَ
“Hendaknya salah seorang diantara kalian selalu memohon kebutuhannya kepada Rabnya hingga tali sandal yg putus pun ia akan memohon kepada-Nya” (HR. Tirmidzi, dan beliau mengatakan ini adalah hadits gharib, didhoifkan oleh al-Albani, yang benar hadits diatas adalah mursal).
Berdasarkan hal ini, diantara urusan yang kadang menimpa kita, seperti kehilangan barang, orang, hewan ternak dan semisalnya, maka hendaknya kita memohon juga kepada Allah Azza wa Jalla, agar barang-barang yang hilang tersebut, dikembalilkan lagi kepada kita, karena kita yakin bahwa Allah Subhanahu wa Ta’alaa Maha Berkuasa atas segala sesuatu, dan perkara mengembalikan barang adalah hal yang sangat mudah bagi-Nya.
Terdapat sebuah hadits yang marfu’ dari Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa Salaam yang mengajarkan doa ketika kehilangan. Al-Imam Sulaiman bin Ahmad ath-Thabaraniy (w. 360 H) meriwayatkan hadits tersebut dalam tiga kitab Mu’jamnya, yakni “al-Mu’jam ash-Shaghiir” (no. 660), “al-Mu’jam al-Ausath” (no. 4626) dan “al-Mu’jam al-Kabiir” (no. 13289) semuanya dari jalan :
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحِيمِ الْبَرْقِيُّ قَالَ: نَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ ابْنُ يَعْقُوبَ بْنِ أَبِي عَبَّادٍ الْمَكِّيُّ قَالَ: نَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلَانَ، عَنْ عُمَرَ بْنِ كَثِيرِ بْنِ أَفْلَحَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الضَّالَّةِ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: «اللَّهُمَّ رَادَّ الضَّالَّةِ، وَهَادِي الضَّلَالَةِ، أَنْتَ تَهْدِي مِنَ الضَّلَالَةِ، ارْدُدْ عَلَيَّ ضَالَّتِي بِعِزَّتِكَ وَسُلْطَانِكَ، فَإِنَّهَا مِنْ عَطَائِكَ وَفَضْلِكَ»
“Telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Muhammad bin Abdir Rakhiim al-Barqiy ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdur bin Ya’quub bin Abi ‘Abbaad al-Makkiy ia berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan bin ‘Uyyainah, dari Muhammad bin ‘Ajlaan, dari ‘Umar bin Katsiir bin Aflah, dari Ibnu Umar Rodhiyallahu ‘anhu dari Nabi Sholallahu ‘alaihi wa Salaam tentang kehilangan bahwa Beliau berdoa : “Ya Allah, Dzat yang mengembalikan barang yang hilang, Yang memberi petunjuk dari kesesatan, Engkaulah yang dapat memberi petunjuk dari kesesatan, oleh sebab itu, kembalikanlah kepadaku barangku yang hilang dengan Kekuatan dan Kekuasaan-Mu, karena itu semua adalah termasuk pemberian dan anugerah-Mu”.
Doa Kehilangan Barang atau Uang
اللَّهُمَّ رَادَّ الضَّالَّةِ، وَهَادِي الضَّلَالَةِ، أَنْتَ تَهْدِي مِنَ الضَّلَالَةِ، ارْدُدْ عَلَيَّ ضَالَّتِي بِعِزَّتِكَ وَسُلْطَانِكَ، فَإِنَّهَا مِنْ عَطَائِكَ وَفَضْلِكَ»
ALLAHUMMA RAADDAD DHALLATI, WA HADID DHALALATI, ANTA TAHDI MINADHDHALALATI, URDUD ‘ALAYYA DHOOLLATII, BI’IZZATIKA WA SULTHANIKA, FAINNAHAA MIN ‘ATHOOIKA WA FADHLIKA.
Artinya:
“Ya Allah, Dzat yang mengembalikan barang yang hilang, Yang memberi petunjuk dari kesesatan, Engkaulah yang dapat memberi petunjuk dari kesesatan, oleh sebab itu, kembalikanlah kepadaku barangku yang hilang dengan Kekuatan dan Kekuasaan-Mu, karena itu semua adalah termasuk pemberian dan anugerah-Mu”.
Takhrij hadits :
Imam Ali bin Abi Bakr al-Haitsamiy (w. 807 H) dalam kitabnya “Majma’u az-Zawaa`id wa Manba’u al-Fawaa`id” (X/133) menilai hadits diatas dengan mengatakan :
رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي الثَّلَاثَةِ، وَفِيهِ عَبْدُ الرَّحْمَنِ يَعْقُوبُ بْنُ أَبِي عَبَّادٍ الْمَكِّيُّ وَلَمْ أَعْرِفْهُ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ
“Ath-Thabaraniy meriwayatkannya dalam kitab Mu’jamnya yang tiga, didalam sanadnya ada perowi yang bernama Abdur Rakhman bin Ya’qub bin Abi ‘Abbaad al-Makkiy, aku (al-Haitsamiy) tidak mengenalnya. Adapun sisa perowi lainnya adalah para perowi tsiqoh”.
Dalam ilmu hadits perowi yang tidak dikenal disebut dengan perowi majhul dan ini menjadi sebab haditsnya dhoif alias tidak diterima, karena belum terkonfirmasi tingkat keberterimaan perowi tersebut.
Akan tetapi, al-Imam Abu Bakar bin Abi Syabah (w. 235 H) dalam kitabnya “al-Mushonaf” (VI/91) dan Imam Ahmad bin al-Husain al-Baihaqiy (w. 458 H) dalam kitabnya “ad-Da’waatu al-Kabiir” (no. 555 & 556) meriwayatkan juga dengan sanad yang bermuara kepada :
حَدَّثَنَا ابْنُ عَجْلَانَ، عَنْ عُمَرَ بْنِ كَثِيرِ بْنِ أَفْلَحَ، قَالَ: سُئِلَ ابْنُ عُمَرَ عَنِ الضَّالَّةِ، فَقَالَ: يَتَوَضَّأُ، وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ يَتَشَهَّدُ، ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُمَّ رَادَّ الضَّالَّةِ، هَادِيَ الضَّالَّةِ، تَهْدِي مِنَ الضَّلَالَةِ، رُدَّ عَلَيَّ ضَالَّتِي، بِعِزَّتِكَ وَسُلْطَانِكَ، فَإِنَّهَا مِنْ فَضْلِكَ وَعَطَائِكَ
“Telah menceritakan kepada kami dari Umar bin Katsir bin Aflah ia berkata, Ibnu Umar Rodhiyallahu ‘anhu pernah ditanya tentang kehilangan, maka beliau menjawab : “(hendaknya) ia berwudhu, lalu sholat dua rokaat, lalu bertasyahud, lalu berdoa : “Ya Allah, Dzat yang mengembalikan barang yang hilang, Yang memberi petunjuk dari kesesatan, Engkau yang dapat memberi petunjuk dari kesesatan, oleh sebab itu, kembalikanlah kepadaku barangku yang hilang dengan Kekuatan dan Kekuasaan-Mu, karena itu semua adalah termasuk anugerah dan pemberian-Mu”.
Jika kita mengacu kepada penilaian Imam al-Haitsaimi diatas tatkala menilai sanadnya Imam ath-Thabaraniy, maka sanad hadits yang mauquf ini shahih. Imam al-Baihaqi setelah meriwayatkan hadits ini, beliau berkata :
هَذَا مَوْقُوفٌ وَهُوَ حَسَنٌ
“Hadits ini mauquf dan statusnya hasan”.
Jika yang dimaksud dengan hasan diatas dalam pengertian bahasa yaitu bagus, maka berarti shahih, namun jika yang dimaksud adalah dalam pengertian status hadits sebagaimana yang sekarang dikenal, maka barangkali beliau memandang status perowi yang bernama Muhammad bin ‘Ajlaan, para ulama al-Jarh wa at-Ta’dil masih berbeda pendapat terhadapanya dan penilaian hasan untuknya adalah kompromi terbaik baginya, sebagaimana ini juga yang dilakukan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar dalam kitabnya “at-Taqriib”, yang menilainya sebagai perowi yang shoduq.
Berdasarkan keterangan diatas kita dapat mengamalkan hadits yang mauquf tersebut, karena berdoa meminta apapun kebutuhan kita adalah hal yang disyariatkan, hanya saja kami belum bisa memastikan apakah doa tersebut dapat dikatakan bersumber dari Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa Salaam, mengingat ada kemungkinan besar shohabi Jaliil Abdullah bin Umar Rodhiyallahu ‘anhu, membuat doa tersebut dari sisi pribadinya sendiri, sehingga ini masuk bab ijtihad ulama sahabat.
Yang menarik adalah dalam atsar Ibnu Umar Rodhiyallahu ‘anhu diatas, disebutkan perihal sholat dua rokaat ketika hendak memohon kepada Allah agar barang yang hilang dapat ditemukan kembali. Berdasarkan penelitian sederhana, saya menemukan salah seorang ulama Syafi’iyyah yang bernama al-‘Alamah Sa’id bin Ali Baaliy al-Hadhromiy (w. 1270 H) menyebutkan dalam kitabnya “Syarah al-Muqodimah al-Hadhromiyyah” (hal. 319) dalam pembahasan sholat Nafilah, beliau memasukkan sholat dua rokaat meminta dikembalikannya barang yang hilang, diantara sholat nafilah yang disyariatkan, berdalil dengan hadits diatas. Beliau menamakannya dengan “ركعتا رد الضالة”.
Berkaitan dengan sholat ketika mendapatkan hal yang tidak menyenangkan, Shahabi Jaliil Khudzaifah Rodhiyallahu ‘anhu meriwayatkan :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ، صَلَّى
“Bila kedatangan masalah, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengerjakan shalat” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan selainnya, dihasankan oleh al-Albani).
Oleh sebab itu, sebagian ulama tidak mempermasalahkan jika ada orang yang memiliki kebutuhan agar barangnya yang hilang dapat ditemukan untuk melakukan sholat ini.
Imam Abu Ali al-Qusyairiy (w. 334 H) dalam kitabnya “Tariikh ar-Riqqah” (hal. 100) menyebutkan sebuah testimoni dari seorang ulama hadits yang tsiqoh lagi sholih, yaitu Abul Muhaajir Saalim bin Abdillah (w. 161 H), dimana beliau pernah kehilangan kalung keluarganya, lalu beliau berdoa dengan doa diatas, kisahnya sebagai berikut :
قال فهر: أحسب أبا المهاجر قال: ذهبت لنا قلادةٌ؛ فدعا بها. قال: فخرج إلى باب الدار، فإذا غلامٌ يركض [بها] فقال: ألق القلادة؛ فرمى بها.
“Fahr berkata, aku merasa Abul Muhaajir pernah bercerita : “(suatu hari) kami kehilangan kalung, lalu ia pun berdoa dengan doa diatas, kemudian pada saat keluar dari pintu rumah, ia mendapati anak kecil sedang berlari-lari membawa kalung tersebut, maka Abul Muhaajir berkata kepadanya, “lemparkan kalungnya”, maka si anak kecil tadi pun memberikan kalungnya”.
Pembahasan ini sekaligus juga menutup pintu kesyrikan atau minimalnya dosa besar, tatkala kebiasaan sebagian kaum muslimin ketika kehilangan barang, mereka langsung menemui para dukun, padahal syariat kita telah mengajarkan sesuatu yang jauh lebih baik dan lebih berpahala, serta lebih selamat dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bish-Shawab.
Oleh: Ust. Abu Sa’id Neno Triyono